Alasan MK Tolak Gugatan Rizal Ramli Terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil soal ambang batas pencalonan presiden yang diajukan Rizal Ramli, Senin (21/9/2020). (Foto: Tribunnews.com/ Danang Triatmojo)

IDTODAY NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima (niet ontvankelijke verklaard) gugatan dari mantan Menko Maritim, Rizal Ramli terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Lima dari sembilan hakim yang duduk dalam sidang pleno terbuka Kamis (14/1/2021), menolak gugatan Rizal terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seterusnya, amar putusan mengadili menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Ketua Mahkamah, Anwar Usman membacakan amar putusannya, Kamis (14/1/2021).

Dalam pertimbangannya, hakim menilai ambang batas presiden dalam pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon.

Menurut hakim, pemilih pada Pemilu legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.

Sebelumnya Rizal Ramli bersama rekannya Abdulrachim Kresno meminta kepada MK untuk menghapus syarat ambang batas capres atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen yang diatur di Pasal 222 UU Pemilu.

Dalam gugatan yang diajukannya pada awal September 2020 lalu, mereka menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden itu telah membatasi hak konstitusionalnya.

Sebab, faktanya kata dia, pemilihan presiden 2014 dan 2019 hanya memunculkan nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Namun menurut hakim, anggapan tersebut tak beralasan, sebab aturan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 8/2017 tak membatasi seseorang untuk mencalonkan diri.

“Sehingga hal demikian bukan persoalan norma, melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud,” kata hakim dalam pertimbangannya.

MK juga tak menerima gugatan tersebut karena menilai Rizal dan Abdulrachim tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Sehingga, MK tak mempertimbangkan pokok permohonan tersebut.

MK menyatakan Rizal tak memiliki kedudukan hukum lantaran tidak mampu membuktikan bahwa Pasal 222 UU Pemilu merugikannya secara konstitusional.

Dalam permohonannya Rizal mengaku pernah didekati beberapa parpol untuk maju di Pilpres 2009.

Namun beberapa parpol itu meminta Rizal membayar Rp 300 miliar imbas adanya aturan ambang batas presiden yang mengharuskan parpol berkoalisi dengan parpol lain.

Sehingga ia berharap MK menghapus syarat tersebut dan bisa maju di Pilpres 2024 tanpa politik uang.

Meski demikian, MK menyatakan Rizal tak menyertakan bukti omongannya pernah didekati beberapa parpol dan dimintai uang.

“Tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan mahkamah bahwa pemohon I pernah dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres. Terlebih pemohon I tidak menjelaskan parpol mana saja yang memberikan dukungan ke pemohon 1 dalam Pilpres 2009,” ucap Hakim MK, Arief Hidayat.

“Seandainya pemohon I memang benar didukung parpol atau gabungan parpol, dalam batas penalaran yang wajar pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada mahkamah, atau menyertakan parpol pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan pemohon I,” lanjut Arief.

Sementara itu Abdulrachim dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum lantaran argumen bahwa Pasal 222 UU Pemilu membatasi calon yang bertarung di Pilpres dianggap tidak beralasan.

Baca Juga  RUU Minol Dalam Tahap Mendengarkan Penjelasan Pengusul

Menurut MK, Pasal 222 UU Pemilu itu tidak membatasi berapa paslon yang bisa ikut Pilpres.

“Norma itu tidak membatasi jumlah paslon yang mengikuti Pilpres, permasalahan berapa paslon yang mengikuti syarat mengikuti Pilpres tidak ditentukan norma yang diajukan pemohon II. Sehingga bukanlah persoalan norma, melainkan implementasi atas norma yang dimaksud. Terlebih norma yang diajukan para pemohon tidak menghalangi pemohon bebas memberikan suaranya kepada paslon mana pun,” ucap Arief.

Beda Pendapat

Meski demikian, putusan hakim MK tersebut ternyata tidak bulat.

Terdapat 4 hakim MK yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).

Mereka adalah Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Keempat hakim MK itu tak setuju Abdulrachim dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum.

Hakim Saldi Isra menilai Abdulrachim telah memaparkan dampak Pasal 222 UU Pemilu telah membuat Pilpres 2014 dan 2019 hanya diikuti 2 paslon.

Sehingga pemilih dirugikan karena terbatasnya calon presiden dan wakil presiden.

“Fakta empiris akibat ambang batas penyelenggaran Pilpres 2014 dan 2019 hanya memunculkan 2 paslon dengan capres yang sama yaitu Jokowi dan Prabowo. Penerapan ambang batas dapat menjadi alat ampuh untuk menyingkirkan pesaing dan calon penantang di Pilpres,” ucap Saldi.

“Berdasarkan argumentasi tersebut di atas demi melindungi hak konstitusional warga negara, kami berpendapat tidak ada alasan yang mendasar untuk menyatakan pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum. Karena itu seharusnya MK memberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, dengan diberikannya kedudukan hukum bagi pemohon II, MK seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan pemohon II,” kata Saldi.

Baca Juga  NU Ajak Bareng Gugat Omnibus Law ke MK, Aksi Anarkistis Tak Berakhlak

Sebelumnya Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno, didampingi kuasa hukum Refly Harun melayangkan gugatan uji materi terhadap pasal 222 UU Nomor 7/2017 terkait ambang batas pencalonan presiden pada 4 September 2019.

Dalam gugatannya, mereka meminta MK menghapus syarat ambang batas yang telah membatasi hak seseorang mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden.

“Kita mengajukan judicial review ketentuan presidential treshold, kita menginginkan ketentuan PT itu 0 persen alias tidak ada. Agar kemudian pilpres ke depan itu pilpres yang lebih berkualitas dan juga fair kompetisi,” kata Refly di MK kala itu.

Rizal Ramli meminta aturan itu dihapus sehingga setiap parpol bisa mencalonkan setiap orang menjadi calon presiden.

Rizal menjelaskan alasannya mengajukan uji materi ini. Dia mengaku ingin seleksi kepemimpinan di Indonesia lebih kompetitif.

“Saya ingin seleksi kepemimpinan Indonesia kompetitif, yang paling baik nongol jadi pemimpin, dari presiden sampai ke bawah. Itu hanya kita bisa lakukan kalau threshold ambang batas kita hapuskan jadi nol,” kata Rizal Ramli waktu mendaftar.

Baca Juga: Kasus Tes Swab, Hari Ini Polisi Periksa Habib Rizieq, Menantu dan Dirut RS Ummi

Sumber: tribunnews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan