Agus melanjutkan, secara organisatoris, pasangan Bajo juga dianggap tidak memiliki basis massa yang kuat sampai ke barisan bawah. Tidak ada tokoh masyarakat di Solo yang terlihat berada dalam barisan pendukung Bajo.
Sementara relawan pendukung yang loyal sangat sulit diwujudkan dalam waktu yang relatif singkat. Kemudian, pasangan Bajo pun tidak mempunyai tingkat popularitas yang tinggi.
Bagjo-Supardjo pun dianggap tidak memiliki modal sosial, politik, dan ekonomi yang cukup kuat melawan pasangan Gibran-Teguh. Agus mengatakan, Bajo juga tidak termasuk calon yang representatif dari sebagian besar masyarakat Solo.
“Hadirnya calon perorangan itu menurut saya semacam aksesoris saja untuk mengantarkan Gibran menjadi calon kepala daerah dengan target di atas 80 itu,” ucap Agus.
Menurut Agus, meskipun dalam politik apapun tidak mutlak dan bisa berubah, tetapi PDIP sudah mengatur strategi dan memperhitungkan paslon perseorangan Bajo ini. Ia mengatakan, tantangan PDIP atau Gibran-Teguh bukan dari publik, melainkan persoalan internal partainya sendiri.
Sebab, ada permasalahan batalnya kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo, Achmad Purnomo, mendapatkan rekomendasi partai untuk maju menjadi bakal calon wali kota Solo. Pengurus PDIP di daerah lebih mendukung pasangan Purnomo-Teguh, tetapi elite PDIP lebih memilih merekomendasikan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran di Pilwakot Solo.
Agus menyebutkan, PDIP kini menguji soliditas internal partai dalam mendukung Gibran-Teguh, karena kemenangan sudah mereka yakini dapat diraih. Jika target 80 persen itu terpenuhi, maka PDIP dapat dikatakan solid, begitu pula sebaliknya.
“Pecahan serpihan-serpihan itu tetap ada, artinya enggak juga 100 persen orang PDIP pro juga pada Gibran,” lanjut Agus.
KPU Solo memutuskan bakal calon pasangan perseorangan Bagyo Wahyono-F.X. Supardjo (Bajo) lolos verifikasi faktual. Sehingga, pasangan Bajo berhak mendaftar sebagai peserta pilkada setempat, 4-6 September 2020.
Sumber: republika.co.id