Bamsoet Suarakan Amandemen Terbatas UUD ’45, NasDem Menolak!

Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP NasDem Atang Irawan (dok. istimewa)

IDTODAY NEWS – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR hari ini menyuarakan perubahan terbatas UUD 1945. Partai NasDem menilai amendemen UUD 1945 membuka peluang diubahnya pasal-pasal lainnya.

Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP NasDem Atang Irawan mengatakan jika perubahan amandemen dilakukan akan berpeluang membuka kotak pandora yang lain karena setiap pasal saling terkait. Dia menegaskan bahwa UUD 1945 tidak mengenal perubahan terbatas.

“Kita harus melihat bahwa mekanisme perubahan UUD 1945 dalam Pasal 37 itu menggunakan pola usul perubahan pasal-pasal, berbeda dengan sebelumnya bisa mengubah seluruh dokumen konstitusi, misalnya UUD 1945 diubah oleh konstitusi RIS, kemudian UUD Sementara, lantas kembali ke UUD 1945,” kata Atang dalam keterangan tertulis, Senin (16/8/2021).

“Artinya, memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya, tidak hanya satu pasal,” imbuhnya.

Bamsoet sendiri menyuarakan perihal perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diatur dalam UUD 1945. Untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR, diperlukan perubahan UUD.

Setidaknya ada dua pasal yang diusulkan untuk ditambahkan ayat, yakni Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat pada Pasal 3 bertujuan memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN serupa dengan GBHN. Penambahan satu ayat di Pasal 23 bertujuan mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN.

Atang, yang merupakan ahli hukum tata negara, mempertanyakan ketika nanti Pasal 3 disetujui dan diketok. Pertanyaannya, kepada siapa presiden melaporkan implementasi PPHN.

“Pertanyaan itu mungkin juga akan membuka kemungkinan adanya pasal lain. Atau yang kedua, bagaimana pelaporannya? Kepada siapa pelaporannya? Kepada MPR? Jika kepada MPR, maka apakah memakai skema Tatib MPR di sidang 16 Agustus, di sidang tahunan dengan melaporkan pertanggungjawaban kinerja?” tanya Atang.

Baca Juga  AHY Pasrah Bacawapres ke Anies Baswedan, Siapapun Asalkan Bawa Kans Kemenangan

Pertanyaan berikutnya, kalau kinerja presiden dan lembaga negara tidak sesuai dengan PPHN bagaimana? Atang menyebut tidak ada maknanya secara konstitusional jika kemudian tidak ada dampak terhadap presiden yang tidak menjalankan PPHN.

Berikutnya, ketika PPHN disahkan berarti MPR mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah PPHN. Maka pertanyaan berikutnya, berarti semua lembaga negara harus melaksanakannya.

“Kalau tidak melaksanakan bagaimana?” tanya Atang lagi.

Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan. Di mana dalam Pasal 7A UUD 1945 mengatur syarat pemakzulan. Salah satunya apabila presiden dan atau wakil presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres.

Sementara syarat presiden itu diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Di Pasal 169 huruf (o) disebutkan tentang syarat presiden yang salah satunya adalah setia kepada Pancasila dan UUD 45. Bahkan dalam Pasal 429 UU Pemilu, presiden bersumpah bahwa akan memegang teguh UUD.

Kemudian, lanjut Atang, kalau presiden tidak menjalankan PPHN, sementara PPHN diatur dalam UUD 1945. Pertanyaannya kemudian, apakah presiden dapat dianggap tidak setia kepada UUD 1945? Makanya, kalau ruang Pasal 3 yang diamendemen dibuka bakal membuka ruang-ruang lain.

Mantan staf ahli Badan Kehormatan DPD RI ini melihat ada dua potensi yang bisa terjadi. Satu, Pasal 7A itu soal proses pemakzulan dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika putusan MK terbukti, baru ke MPR. MPR akan bersidang jika itu skema dari DPR. Nah, sekarang kalau tidak menjalankan Pasal 3 itu, akan ada kemungkinan skema MPR langsung ke MK.

Kedua, akibat dari Pasal 7A akan berakibat pada Pasal 24C ayat (2) di UUD 1945 yang berbicara soal kewajiban MK memutus pendapat DPR. Jika Pasal 3 disahkan, berarti akan ada potensi MK memutus pendapat MPR.

Baca Juga  Gatot Nurmantyo Angkat Bicara Usai Bentrok di TMP Kalibata, Kehadirannya Dipersoalkan

Kalau semua lembaga negara harus melaksanakan PPHN, berarti MPR itu kedudukannya superior lagi. Apakah tidak berakibat pada semangat memurnikan sistem presidensial? Padahal Pasal 1 ayat (2) UUD menyebutkan jika kedaulatan terletak pada rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

“Demikian halnya jika UU APBN tidak sesuai dengan PPHN, apakah akan berakibat pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkait dengan kewenangan MK? Apakah akan ada tambahan mengenai kewenangan MK menguji UU? Karena produknya UU, tentunya bukan kewenangan MPR menyatakan UU APBN bertentangan dengan UUD atau PPHN.

Demikian halnya dengan DPD RI akan mengusulkan pasal-pasal penguatan eksistensi DPD RI. Paling tidak terhadap Pasal 20 tentang mencantumkan DPD dalam hal pembahasan dan persetujuan bersama RUU.

“Kalau sekarang kan tidak. Termasuk juga Pasal 22D terkait dengan kewenangan DPD,” tandas Atang.

Lebih lanjut dia menerangkan PPHN akan berakibat pula pada skema perencanaan pembangunan nasional dan daerah, yang tentunya akan berdampak pada kedudukan otonomi daerah dalam Pasal 18 UUD 1945, karena selama ini memakai sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2005.

Selama ini, kata Atang, polanya itu kalau di pusat ada RPJP, RPJM dan RKM. Di daerah juga dirumuskan dari bawah ke atas melalui musrenbang dari tingkat desa hingga kabupaten. Ketika PPHN disahkan, maka pembahasan mengenai proses pembangunan pun akan berubah dan makna demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi kabur dalam rangka perencanaan sistem pembangunan di daerah.

Atang menilai alangkah eloknya dalam situasi pandemi COVID-19 ini seluruh elemen bangsa memfokuskan pada penanganan dan penanggulangannya, agar rakyat semakin memiliki rasa aman dari ancaman COVID-19, sebagai wujud dari perlindungan negara terhadap rakyat (social defence) sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea ke-IV UUD 1945.

Baca Juga  Saran TB Hasanuddin: FPI jadi Parpol, Habib Rizieq sebagai Capres

“Apalagi dalam suasana HUT Kemerdekaan ke-76 RI, sebaiknya mari kita memerdekakan rakyat dari rasa tidak aman atas COVID-19 melalui semangat gotong royong guna membangkitkan solidaritas sosial. Kesimpulannya, amandemen pada Pasal 3 dikhawatirkan akan membuka kotak pandora,” sebutnya.

Karenanya, jebolan program doktoral Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran ini, mengusulkan agar sebaiknya dilakukan pengkajian mendalam dan penanganan secara komprehensif yang melibatkan segenap elemen dan tokoh-tokoh bangsa.

“Kalau NasDem berpandangan sepanjang itu kajian dan penelaahan sah-sah saja, karena memang dibuka ruang untuk perubahan di Pasal 37. Tapi sebaiknya dikaji secara komprehensif dengan membuka ruang dialog bersama serta membuat tim penelaahan yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Kalau sekarang kan hanya tim kajian MPR saja,” ungkap Atang.

Atang menuturkan, jika alasannya adalah SPPN kurang efektif, penyelenggaraan pembangunan pusat dan atau daerah dan provinsi serta kabupaten/kota hingga desa, atau PPHN lebih baik daripada SPPN, apakah tidak sebaiknya mengubah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional?

Dia sebetulnya menyadari penetapan pedoman pembangunan negara penting dilakukan. Tetapi, menurutnya, konstitusi tidak mengatur hal-hal yang penting, melainkan hal-hal yang pokok dan mendasar sebagai fundamental norm.

“Sementara hal-hal yang penting sebaiknya dengan aturan di bawah konstitusi, karena sifat penting biasanya rentan dengan dinamika perubahan. Jika segala sesuatu harus dicantumkan dalam UUD 1945 dan setiap ada hal yang penting akan diubah, maka konstitusi itu derajatnya menjadi rendah (unsupreme constitution). Jadi sudah seharusnya sebagai norma fundamental negara memiliki derajat tinggi (supreme constitution),” pungkas Atang.

Sumber: detik.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan