Bomi menduga KAMI dibentuk hanya untuk membangun bargaining position yang strategis untuk target Pilpres 2024. Tentu ada salah satu dari tokoh-tokohnya yang berambisi menjadi calon presiden atau calon wakil presiden (capres-cawapres).
Kalaupun tidak ada, sambung dia, setidaknya mereka bisa menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan oleh para kandidat. Artinya, target KAMI politik pragmatis.
“Saya skeptis dengan misi mereka ‘menyelamatkan Indonesia’. Justru para tokoh KAMI adalah orang-orang yang perlu diselamatka. Diselamatkan dari cara berpikir yang sinis dan pesimis terhadap pemerintah. Mereka perlu diselamatkan dari sikap skeptis yang cendrung absurd,” tuturnya.
Menurut dia, sejauh ini KAMI belum berpotensi menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Namun, dalam perjalanan waktu ke depan, KAMI bisa menjadi ancaman. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, sebagian kelompok pendukung KAMI adalah kelompok ideologis yang pada periode pemilu 2019, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017, memainkan politik identitas.
“Kalau KAMI ikut mengamplifikasi politik identitas maka gerakan mereka berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila,” ujar Boni.
Kedua, lanjut dia, KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah menangani wabah Covid-19. Gerekan mereka berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan.
Ketiga, jika KAMI ikut bermain dalam kampanye Pilkada serentak Desember 2020 yang di depan mata, maka ada kemungkinan kehadiran KAMI menjadi masalah tersendiri. Propaganda antipemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat local maupun nasional.
Menurut dia, jika KAMI mempunyai motivasi dan intensi yang baik untuk merawat demokrasi, sebaiknya KAMI memberkan evaluasi dan kritik secara komprehensif dalam bentuk kajian yang akademik dan memadai tentang kelemahan dan kekuatan pemerintah dan kebijakannya.