IDTODAY NEWS – Ekonom INDEF Dradjad H. Wibowo menyebut bahwa Rapat Paripurna DPR atas UU Cipta Kerja (Ciptaker) sebenarnya hanya mengesahkan kertas kosong. Ternyata Tim Perumus (Timmus) RUU Ciptaker belum menyelesaikan pekerjaannya, tapi Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) kok bisa membahasnya.
“Jika timmus belum selesai, lalu rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg memutuskan berdasarkan apa?” kata Dradjad dalam pesan watsapp-nya kepada republika.co.id, Sabtu (10/10).
Dradjad mengaku kaget mendengar pengakuan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dan anggota tim perumus RUU Cipta Kerja Ledia Hanifa Amaliah dyang mengakui Timmus RUU Ciptaker belum menyelesaikan tugasnya. Supratman mengaku telah menunjuk Ledia dan Andreas Eddy Susetyo menjadi Timmus RUU Ciptaker.
Ledia, dalam sebuah acara di televisi menjelaskan bahwa perumusan draf RUU Ciptaker mengalami kendala dalam keterbatasan tim terutama dalam penyisiran sinergi isi yang banyak itu. Pengecekan tetap dilakukan, kata dia, tetapi keterbatasan timmus dan banyaknya UU yang tercakup maka masih ada pelolosan.
Menurut Dradjad, Ledia dalam acara itu menyebut seharusnya memang dalam pembahasan tingkat I, minifraksi di Baleg DPR telah memegang draf RUU Cipta Kerja yang sudah bersih. Yang terjadi, hingga 7 Oktober 2020 pun Ledia belum memegang draf RUU Cipta Kerja yang telah bersih.
“Jika benar pengakuan mereka, hemat saya UU Cipta Kerja ini diproses dengan melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sesuai Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” papar Dradjad.
Dijelaskan Dradjad, Tatib DPR pasal 159 yang bunyinya:
(1) Tim perumus bertugas merumuskan materi rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf b dan huruf c sesuai dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD.
(2) Rapat tim perumus dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
(3) Tim perumus bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia kerja.
Karena timmus RUU Ciptaker belum menyelesaikan tugasnya, papar Dradjad, maka tidak ada draf hasil timmus yang dilaporkan kepada rapat Panja. Sebagai catatan, dengan draf awal RUU Cipta Kerja yang 1.000-an halaman, aneh juga jika timmus hanya dua orang, meski dibantu sekretariat Baleg.
Selanjutnya mari lihat Pasal 161 Tatib DPR yang bunyinya:
(1) Keanggotaan tim sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) huruf d paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota panitia kerja.
(2) Tim sinkronisasi bertugas menyelaraskan rumusan rancangan undang-undang dengan memperhatikan keputusan rapat kerja, rapat panitia kerja, dan hasil rumusan tim perumus dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD.
(3) Rapat tim sinkronisasi dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
(4) Rancangan undang-undang hasil tim sinkronisasi dilaporkan dalam rapat
panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.
Tanpa adanya draf hasil kerja tim perumus (timmus), menurut Dradjad, maka hal yang dilaporkan ke rapat panja, berarti tim sinkronisasi (timsin) belum bekerja. “Jika diklaim timsin sudah bekerja, lalu draf apa yang mereka selaraskan?” ungkapnya.
Lebih krusial lagi, lanjut Dradjad, tanpa hasil kerja timsin, panja memutuskan berdasarkan naskah apa? Ini karena berdasarkan Pasal 163, salah satu acara dalam pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat 1 adalah “c. Pembacaan naskah rancangan Undang-Undang”.
“Jadi wajib hukumnya ada naskah RUU yang dibacakan, dan itu adalah naskah hasil kerja timmus dan timsin,” paparnya.
Ketentuan Tatib di atas juga sama dengan bunyi Pasal 104, 106 dan 108 dari Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Jika melihat proses di atas, kata Dradjad, jelas bahwa Pembicaraan Tingkat I untuk RUU Cipta Kerja ini belum selesai. Jadi, bukan hanya soal typo seperti yang diklaim sebelumnya. “Ini soal Tatib DPR,” tegas Dradjad.
Jika Pembicaraan Tingkat I belum selesai tapi Pembicaraan Tingkat 2 (rapat paripurna) dipaksakan maka dokumen RUU-nya belum ada. “Tulisan abcd-nya belum ada yang sah di Tingkat 1. Dokumennya boleh tebal tapi tidak ada tulisannya, alias kertas kosong,” papar mantan anggota DPR dari Fraksi PAN itu.
Memang ada Pasal 151 ayat (2) Tatib DPR yang membolehkan mekanisme lain dalam Pembicaraan Tingkat I. Namun, kata Dradjad, selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja kemarin, mekanisme lain ini tidak pernah diputuskan oleh Baleg. “Yang dipakai adalah mekanisme standar dalam Tatib DPR,” kata Dradjad.
Rapat Paripurna DPR memang pengambil keputusan tertinggi di DPR. Tapi dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020 itu mengesahkan naskah RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong.
“Saya heran, kenapa teman-teman di DPR seceroboh ini dalam membahas RUU yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,” ungkap Dradjad.
Sumber: republika.co.id