“Pemerintah Jokowi Bermain Api. Untuk negara-negara ini (Indonesia dan juga Polandia) mungkin ada godaan untuk meringankan beban utang mata uang lokal mereka yang meningkat hanya dengan menggembungkannya,” ujar Daeng kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (14/9).
“Dalam konteks ini, program QE di Indonesia dan Polandia telah menimbulkan kekhawatiran bahwa bank sentral mungkin benar-benar memonetisasi utang negara di luar batas (defisit anggaran) yang sesuai,” sambungnya.
Masing-masing Bank Sentral Indonesia dan Polandia, dicatatan Daeng, memborong obligasi pemerintah yang nilainya cukup tinggi. Yakni, untuk Indonesia mencapai 6,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan sedangkan Polandia 4,6 persen dari PDB dari Maret hingga Agustus.
“Rasio tertinggi di antara 16 negara berkembang,” ungkapnya.
Sejak Indonesia mengumumkan program QE bulan Juli lalu, rupiah tercatat telah kehilangan lebih dari 2 persen nilainya terhadap dolar Amerika Serikat. Bahkan, sepanjang tahun ini rupiah mengalami pelemahan 6 persen terhadap dollar AS dan menjadi mata uang berkinerja terburuk di Asia.
Karena itu, Daeng menilai kebijakan yang diterapkan Indonesia ini bakal memperluas basis moneter yang berujung pada pelemahan mata uang yang lebih dalam dan membuat investor khawatir.
“Bank sentral Indonesia hingga saat ini merupakan satu-satunya bank yang juga melakukan pembelian langsung di pasar perdana, sebuah langkah yang biasanya dianggap ‘tabu’, meskipun pasar selama ini bersikap lunak,” terangnya.
Begitupun dengan kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral Polandia.
“Dan mengenai Polandia, ada kekhawatiran bahwa jika pembelian dilanjutkan pada kecepatan saat ini hingga akhir 2020, bank sentral akan membiayai secara kasar seluruh defisit fiskal tahun ini, yang diproyeksikan sekitar -8% dari PDB,” demikian Salamuddin Daeng.
Sumber: rmol.id