IDTODAY NEWS – Cara yang dipilih Indonesia untuk meringankan beban utang negara atau biasa disebut defisit anggaran untuk pengananganan pandemi Covid-19 adalah melalui program monetisasi utang atau pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Program ini merupakan hasil kesepakatan pemangku kebijakan fiskal, dalam hal ini pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan Bank Indonesia (BI) selaku pemangku kebijakan moneter di dalam negeri.

Melalui kebijakan tersebut, BI nantinya bakal membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah dengan turut menanggung beban utang yang sesuai dengan suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate.

Meski SBN yang akan dibeli seluruhnya oleh BI hanya yang berkaitan dengan belanja pemerintah untuk public goods atau belanja bagi masyarakat yang nilainya Rp 397 triliun dari total anggaran penanganan Covid-19 Rp 695,2 triliun, bukan berarti kebijakan ini luput dari kritikan.

Salah satu yang kurang sepakat dengan kebijakan tersebut adalah Pengamat Ekonomi Politik dari Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng.

Dia menilai Presiden Joko Widodo telah bermain api karena menggunakan QE sebagai cara menutupi defisit anggaran yang diperkirakan melebar menjadi Rp 1.093,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB gegara Pandemi Corona jenis baru itu.

Daeng menyebut, Program QE yang bukan hanya digunakan oleh Indonesia, tetapi juga Polandia dan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, bisa berujung kepada melemahnya nilai mata uang yang digunakan di negara tersebut.

Baca Juga  Dari Skala 1-10, PKS Beri Nilai Raport Jokowi-Ma’ruf 4

Karena, untuk melaksanakan program QE bank sentral mesti meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan membeli obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya. Meningkatkan suplai uang sama dengan meningkatkan suplai aset lainnya. Otomatis, biaya uang yang lebih rendah berarti suku bunga juga lebih rendah, dan bank dapat meminjamkan dengan persyaratan yang lebih mudah.

Bahkan, jika QE kehilangan efektivitasnya, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk lebih memperluas pasokan uang, dan juga dapat mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, jika aset yang dibeli terdiri dari obligasi pemerintah jangka panjang yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran defisit.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan