Lalu, bagaimana memberi jalan kepada para figur nonparpol ini agar mudah nyapres? Jawabannya adalah PT 20% harus diturunkan. Bahkan jika perlu dihapus sehingga angka PT menjadi 0%.

Pasal di UU pemilu yang mengatur PT 20%-25% ini sudah diuji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta agar ketentuan itu dihapus. Di sisi lain DPR juga sedang membahas kemungkinan menurunkan persentase syarat pencapresan tersebut melalui revisi UU Pemilu. Opsi yang berkembang di fraksi-fraksi DPR, PT kemungkinan turun menjadi 10%, 5%, atau 0%.

Namun, jika uji materi soal PT di MK dikabulkan, maka otomatis semua parpol berhak mengajukan capresnya. Ada dua skema pencalonan yang bisa muncul nantinya. Pertama, parpol yang berhak mengusung capres-cawapres adalah mereka yang saat ini memiliki kursi di DPR (hasil Pemilu 2019). Kedua, semua parpol yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta Pemilu 2024.

Lalu, parpol mana saja nanti yang berpeluang mengusung Susi atau figur nonparpol lainnya? Kemungkinan terbesarnya adalah parpol menengah, misalnya PAN, PKS, Hanura, PKB, PPP, atau parpol baru yang dinyatakan lolos jadi peserta Pemilu 2024.

Adapun parpol besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, termasuk Demokrat hampir pasti akan mengusung kadernya. PDIP kemungkinan akan mengusung Ganjar Pranowo atau Puan Maharani, Gerindra akan mengusung Prabowo Subianto, Golkar akan mengusung Airlangga Hartarto atau gabung mendukung calon PDIP, dan Demokrat akan mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Pilpres dengan banyak alternatif capres pemting didorong karena dinilai akan menguntungkan rakyat. Rakyat memiliki banyak pilihan dan bisa menyeleksi dan membandingkan visi misi serta program dari calon yang ada. Jadi rakyat tidak lagi terkesan “dipaksa” memilih calon dengan opsi pilihan yang sangat terbatas. Pada dua pilpres terakhir, yaitu 2014 dan 2019, kontestasi pilpres hanya menghadirkan dua pasangan capres-cawapres.

Baca Juga  Dituding Incar Presiden, KAMI Jawab Sindiran Megawati

Sisi buruk pilpres dengan hanya dua pasangan calon adalah terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat. Polarisasi ini bisa terus mengeras dan berpotensi memecah belah masyarakat karena dibumbui dengan isu politik identitas.

Menurut Suko Widodo, dalam upaya membangun kultur politik yang sehat, salah satu caranya adalah menghapus PT di pilpres agar terjadi kontestasi yang lebih fair. Akan muncul banyak capres sehingga ketegangan berkurang karena persaingan tidak terpusat pada dua kutub.

Baca Juga  Ungkit Cuitan Lama Fadjroel Rachman, Politisi Demokrat: Jauh Lebih ‘Sadis’ Ketimbang Poster BEM UI

“Mekanisme dan kultur politiknya yang dikembangkan. Karena kalau peluang maju capres dibatasi, maka kekuatan konflik justru menggumpal. Dampaknya akan merusak hubungan kemasyarakatan,” ujarnya.

Baca Juga: Kena Dobel, Hari Ini Polda Jabar ‘Garap’ Habib Rizieq di Polda Metro Jaya

Sumber: okezone.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan