Sosiolog Dick Pels, dikutip dari situs radio netherland wereldomroep.nl, mengatakan, wajah Belanda seakan berubah pasca terbunuhnya Van Gogh. Momen itu dimanfaatkan sejumlah kalangan, salah satunya yang terkenal adalah Geert Wilders, anggota parlemen Belanda. ”Sejak pembunuhan terjadi, banyak orang berpikir bahwa Islam adalah ancaman. Dan itu dimanfaatkan Wilders dengan baik,” papar Dick Pels.
Menurutnya, ada kesamaan antara Van Gogh dan Wilders. Keduanya sama-sama punya ketakutan terhadap Islamisasi budaya. Itulah yang membuatnya terus bersuara anti-Islam.
Beberapa tahun lalu, Wilders memantik kemarahan komunitas Muslim Belanda dengan rencana pemutaran film Fitna yang melecehkan Islam. Seolah belum puas, Wilders menggagas rancangan undang-undang tentang pembatasan hijab (burqa).
Dia mengusulkan agar setiap Muslimah yang ingin memakai jilbab harus meminta izin, dan membayar 1.000 euro per tahun untuk keistimewaan itu. ”Kami sudah jenuh dengan jilbab. Kami berbuat apa saja untuk mengurangi pemakaian jilbab. Kami sudah menyusun rancangan undang undang yang melarang burka,” katanya pada situs rnw.nl.
Argumen yang paling umum dari pernyataan sejumlah pengamat terkait rangkaian kejadian ini, urai artikel di situs opendemocracy.net, menandai belum kuatnya fondasi toleransi dan multikulturalisme dalam masyarakat.
”Sebagai konsekuensinya, Belanda dikhawatirkan akan menghadapi krisis identitas. Hal ini mengharuskan penelaahan kembali prinsip-prinsip esensial di masyarakat, agar mampu mengedepankan toleransi dalam posisi yang lebih kuat,” tulis artikel itu.
Sumber: republika