IDTODAY.CO – Pengamat politik Ubedilah Badrun menyebut gas rem kebijakan dalam menangani pandemi virus Covid-19 dianggap tidak tepat dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Hal itu dikarenakan, tingkat disiplin masyarakat Indonesia masih kurang.

Apalagi, sikap pemerintah yang kontradiksi atas kebijakan yang diambil membuat masyarakat semakin tidak disiplin mengikuti aturan pemerintah soal penanganan pandemi Covid-19.

“Gas rem itu kebijakan keliru sejak awal. Harusnya rem, rem totalitas. Itu kasus Jakarta waktu itu, rem Jakarta,” ujar Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun di acara diskusi virtual Obrolan Bareng Bang Ruslan bertajuk “PPKM Darurat: Macet Di Penyekatan” yang diselenggarakan Kantor Berita Politik RMOL (Group Pojoksatu), Selasa (6/7).

Ubedilah pun menyayangkan adanya pasien di Rumah Sakit meninggal dunia akibat kekurangan oksigen yang dibutuhkan.

Hal itu terjadi karena pemerintah tidak antisipatif atas lonjakan penyebaran Covid-19.

“Menurut saya, ini pertanggungjawabannya luar biasa loh pemimpin di saat seperti ini. Bayangkan hanya gara-gara tidak punya antisipasi ledakan Covid-19, sampai kekurangan gas (oksigen) dan meninggal,” kata Ubedilah.

Lagi-lagi kata Ubedilah, akibat kebijakan yang tidak tepat dalam penanganan Covid-19 membuat rakyat terus menjadi korban.

Baca Juga  Klaim Covid di DKI Melandai, Luhut: Jangan Tambahin Lagi Masalah!

“Kasihan rakyat. Jadi saya kira gas rem itu dalam negara yang sangat disiplin itu tepat, tetapi gas rem di tengah masyarakat yang tingkat disiplinnya rendah, itu berbahaya. Itu sejak awal kita ingatkan para akademisi,” terang Ubedilah.

Sehingga kata Ubedilah, pemerintahan Jokowi seharusnya juga memikirkan aspek sosiologis dalam mengambil kebijakan, bukan hanya menganalisa logika politik dan ekonomi.

Baca Juga  Abu Janda Sujud Syukur Sembuh dari Covid-19: Saya Terpapar, Saya Komorbid, Saya Selamat!

“Masyarakat kita ini sebenarnya budayanya seperti apa, tingkat disiplinnya seperti apa. Ya kalau gas rem ya pasti gak disiplin,” katanya.

“Dan itu saya kira, itu lah pentingnya mendengarkan kaum intelektual di dalam mengambil kebijakan, agar from knowledge policy itu terjadi,” kata Ubedilah.

Sumber: pojoksatu.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan