Lebih Murah, Biaya Turunkan Presiden di Tengah Jalan?

Aksi Demo di Istana Negara, Jalan Merdeka Barat, Rabu (24/7/2019).(Foto: CYNTHIA LOVA)

IDTODAY NEWS – Walau aturan konstitusional amat jelas, namun kehendak atau bahkan gerakan untuk menurunkan presiden yang memegang jabatan selalu hidup dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Mengapa ada fenomena seperti ini?

Perlu kita simak pendapat, pengalaman, pengamatan dari Presiden RI ke-6 (2004-20014) Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY). Mari kita buka kembali bukunya yang berjudul SBY-SELALU ADA PILIHAN. Buku tebal ini ditulis 2014.

Buku ini sampai sekarang adalah satu-satunya hasil langsung tulisan presiden RI ketika masih menjabat, walau menjelang masa jabatannya berakhir di periode kedua. SBY adalah satu-satunya (sekurang-kurangnya sampai 2020 ) dari tujuh presiden RI yang menuliskan sendiri sejumlah catatan tentang pengalamnnya menjadi presiden.

Menurut SBY, dalam sejarah Indonesia, beberapa pergantian presiden berlangsung tidak normal dan tidak reguler. Misalnya Bung Karno diturunkan setelah sidang istimewa MPR. Lihat halaman 171 sampai 177.

Suharto, katanya, terpaksa mundur karena tidak ada dukungan di parlemen, atau bahkan tidak ada dukungan dari para pembantunya. BJ Habibie, ujarnya lagi, memilih tidak mencalonkan lagi jadi presiden karena pertanggungjawabannya di MPR ditolak. Sementara, kata SBY, Gus Dur diberhentikan oleh MPR karena dinyatakan melakukan tindakan tidak konstitusional.

“Praktik dan preseden politik seperti inilah yang barangkali menginspirasi banyak kalangan yang memiliki pemikiran untuk menurunkan atau menjatuhkan seorang presiden di tengah jalan,” demikian pendapat SBY, lima tahun lalu.

Alasan lain mengapa beberapa pihak selalu ingin menurunkan presiden di tengah jalan, karena belum matangnya demokrasi dan etika politik di negeri ini.
“Sejumlah kelompok tampaknya tidak selalu sabar menunggu dan mempersiapkan diri untuk berkompetisi pada pemilihan umum berikutnya,” tuturnya.

Baca Juga  Said Didu Minta Maaf Soal Menag 'Gebuk' Islam, Pelapor: Berarti Dia Ngakuin Kesalahannya

“Barangkali itu dianggap terlalu lama. Sudah menunggu lima tahun, belum tentu pula akan menang. Dipikirnya lebih murah jika bisa menjatuhkan yang sedang menjabat dan kemudian ada peluang baru.”

“Memang sederhana jalan pemikiran pihak-pihak seperti itu. Sederhana, tapi salah. Tidak mendidik. Tetapi itu realitasnya, dan itu sungguh terjadi,” begitu kata Presiden ke-6 yang bisa selamat dari realitas politik seperti itu.

Aksi kecil di masa Jokowi

Apakah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo masih hidup budaya atau keinginan spontan menurunkan kepala pemerintahan/negara di tengah jalan? Mungkin masih ada walau gerakan ‘kecil’.

Atau mungkin masih ada rasa waswas atau kekhawatiran dalam diri penguasa atau pejabat tentang budaya mencegat presiden di tengah jalan dalam masa jabatannya. Saya mencatat beberapa kali suara lirih atau gerakan ‘kecil’ untuk menurunkan presiden di tengah jalan.

Hari Jumat, 14 September 2019 lalu, puluhan orang yang membawa spanduk di Jalan Merdeka Barat, tidak jauh dari depan Istana Merdeka, Jakarta, menyerukan turunya presiden dari jabatannya.

Salah seorang peserta aksi unjuk rasa mengatakan mereka dari kelompok mahasiswa perguruan tinggi di Provinsi Banten. Dia mengatakan nama kelompok mereka adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Para pengunjuk rasa ini melakukan aksi akrobat motor dan orasi-orasi diselinggi nyanyian-nyanyian dengan kalimat ini, “Turun, turun, turunkan Jokowi.”

Dari orasi-orasi yang disampaikan silih berganti dari peserta unjuk rasa ini, terdengar alasan vokal mereka ingin menurunkan Jokowi di tengah jalan. Antara lain mereka ingin Jokowi turun, karena masalah impor bahan makanan dan melambungnya nilai dollar Amerika Serikat.

Beberapa hari kemudian, yakni hari Senin 23 September 2019, di Makassar, Sulawesi Selatan, muncul aksi unjuk rasa serupa kelompok mahasiswa di Jalan Urip Sumoharjo. Dalam beberapa spanduk yang mereka bawa bertuliskan “Turunkan Jokowi”.

Beberapa hari kemudian, yakni hari Senin 23 September 2019, di Makassar, Sulawesi Selatan, muncul aksi unjuk rasa serupa kelompok mahasiswa di Jalan Urip Sumoharjo. Dalam beberapa spanduk yang mereka bawa bertuliskan “Turunkan Jokowi”.

Belum begitu lama Jokowi memerintah, pada Rabu, 1 April 2015, di depan Gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, muncul pula aksi dari kelompok orang yang menamakan diri Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK).

Mereka membawa poster bertuliskan “Jokowi boneka imperialis”. Juga ada spanduk bertuliskan tuntutan Jokowi mundur. Dalam orasi diteriakkan alasan tuntutan mereka mengapa Jokowi harus mundur, yakni naik turunya harga BBM dan tidak stabilnya harga sembako atau sembilan bahan pokok.

Dalam sambutan-sambutan pada suatu acara peresmian rumah susun sederhana sewa atau rusunawa di sebuah pondok pesantren di Kediri, Jawa Timur, Sabtu, 15 Frebuari 2020 (di masa pemerintahan Jokowi) muncul suasana becanda tentang “mitos angker atau wingit” kota Kediri bagi presiden di Indonesia.

Baca Juga  Benny K Harman: Mempertahankan Aturan Pemilu Lama Adalah Indikator Rezim Otoriter Yang Didukung Cukong

Dikatakan, dulu tahun 1999, Gus Dur berhenti dari jabatannya sebagai presiden di tengah jalan setelah berkunjung ke Kediri. Dari acara di pondok pesantren yang dihadiri tiga petugas tinggi istana kepresidenan itu, muncul berita Presiden Jokowi diminta untuk tidak datang ke kota itu bila tidak ingin berhenti di tengah jalan pemerintahannya.

Kisah canda atau gurauan bernuansa mitos ini sebuah indikasi samar-samar tentang adanya kekawatiran atau kerisauan atas masih hidupnya budaya “mencegat” pemegang kekuasaan di tengah jalan.

SBY bisa selamat dan sukses menyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden. Begitu pula prediksi kuat mengatakan Jokowi akan selamat dan sukses.

Mau mencegat di tengah jalan di masa kini? Walau harganya murah. Tapi sekali lagi ingat kata SBY.

“Memang sederhana jalan pemikiran pihak-pihak seperti itu. Sederhana, tapi salah. Tidak mendidik. Tetapi itu realitasnya.”

Tulisan ini sebuah refleksi akhir tahun 2020 dan pesan tahun baru 2021: Belajarlah rajin baca buku.

Ada pesan lain: Mari berjuang bersama atasi virus corona dengan damai walau pun lebih dari dua minggu.

Baca Juga: KPK Dalami Setoran Rp 1.800 Per Ekor Benih Benur Lobster ke Edhy Prabowo

Sumber: kompas.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan