Mengembalikan UU Cipta Kerja dalam Diskursus Publik

Massa BEM SI mulai berdatangan ke Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat untuk berunjuk rasa mencabut omnibus law, Jumat, 16 Oktober 2020. TEMPO/Wintang Warastri

IDTODAY NEWS – Rangcangan undang-undang Cipta Kerja telah disetujui bersama DPR dan Pemerintah pada 5 Oktober 2020. Respons publik begitu keras menolak beleid ini. Apalagi, drama mengenai jumlah halaman UU Cipta Kerja yang beragam menambah kegemasan publik atas keberadaan UU ini.

Saat ini, secara prosedural UU Cipta Kerja tengah menanti pengesahan oleh Presiden dan pengundangan melalui Kementerian Hukum dan HAM yang selanjutnya berlaku dan mengikat semua pihak. Diprediksi, proses administratif ini tidak membutuhkan waktu lama berhubung sejak awal Presiden menginginkan kehadiran UU ini.

Presiden dan berbagai kalangan menyerukan kepada publik yang tidak puas dengan proses dan materi UU Cipta Kerja ini agar menempuh jalur konstitusional yakni melalui mekanisme judicial review, yakni berupa pengujian undang-undang melalui lembaga peradilan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski, jika ditilik persoalan krusial UU Cipta Kerja ini tak lain mengenai buntunya komunikasi antara warga negara dengan negara. Tudingan pemerintah terhadap pemrotes karena terpapar informsi bohong (hoaks) sebagai pemicu protes para penolak undang-undang tak lain disebabkan tak tuntasnya udar gagasan terhadap substansi atas undang-undang ini.

Kebutuhan mendesak saat ini tak lain berupa ketersediaan mekanisme kontrol terhadap norma (legal norm control mechanism) dalam UU Cipta Kerja yang memberi ruang lahirnya percakapan antara warga negara dan negara dalam ruang konstitusional.

Satu-satunya ruang yang dapat ditempuh tak lain melalui mekanisme legislative review. Mekanisme ini relatif moderat untuk mengatasi kebuntuan dalam persoalan yang ditimbulkan dari UU Cipta Kerja ini.

Diskursus publik

Sejumlah kritik yang muncul dalam UU Cipta Kerja ini baik dari sudut pandang prosedur maupun materiil, tak lain dipicu karena minimnya perdebatan publik saat perencanaan dan pembahasan RUU Cipta Kerja ini.

Oleh karena itu, negara berkewajiban mengembalikan ruang warga negara di ruang publik melalui diskursus yang berdimensi dua arah.

Untuk mengembalikan ruang tersebut, pilihan yang tersedia melalui mekanisme konstitusional yakni melalui legislative review di parlemen.

Konkretnya, UU Cipta Kerja yang tak lama lagi akan diundangkan ini, diajukan usulan perubahan sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, pembahasan hingga persetujuan.

Ujung pangkal komplikasi masalah UU Cipta Kerja yang mendapat respons kritis dari publik tak lain soal tersumbatnya diskursus publik, yang sepanjang perencanaan, pembahasan dan persetujuan bersama DPR dan Presiden lalu, proses deliberasi tidak dilakukan secara paripurna oleh parlemen dan pemerintah.

Daulat rakyat dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja ini terdistorsi melalui kesepakatan formal oleh anggota parlemen dan presiden.

Padahal, dalam pandangan Habermas, daulat rakyat yang bersumber dari ajaran klasik seperti gagasan volente generale menurut JJ Roesseau itu dikonkretkan melalui prosedur komunikasi tak bersubjek dan anonim yang diwujudkan melalui perayaan diskursus secara bebas dan fair. Ujungnya berupa penyebaran hak-hak komunikasi dan hak-hak partisipasi (F. Budi Hardiman, 2009).

Sayangnya, daulat rakyat yang diwujudkan melalui ruang komunikasi dan partisipasi publik sepanjang perencanaan, pembahasan dan persetujuan RUU Cipta Kerja tak secara maksimal muncul.

Justru yang terjadi paska-persetujuan bersama DPR dan Presiden, ruang komunikasi dan partisipasi bertebaran di ruang publik yang diwujudkan melalui protes ke publik.

Di poin inilah, mengembalikan RUU Cipta Kerja ke dalam diskursus publik memiliki urgensi yang tak bisa ditawar. Percakapan warga negara dengan negara harus difasilitasi melalui forum formal pembahasan UU Cipta Kerja yang berada di parlemen.

Di titik inilah, pengujian UU Cipta Kerja melalui forum legislatif memiliki basis filosofis sekaligus yuridis dalam bentuk legislative review.

Secara teknis, UU Cipta Kerja yang diundangkan langsung diajukan draft perubahan di DPR untuk dilakukan upaya legislative review.

Aspirasi yang muncul dari warga negara atas keberadaan UU ini menjadi basis etik, politis sekaligus yuridis bagi DPR dan Presiden untuk melakukan langkah konstitusional ini.

Hal ini juga diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengajuan rancangan undang-undangan dapat dilakukan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) bila memenuhi dua kondisi yakni mengatasi keadaan luar biasa dan keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU. Perubahan UU Cipta Kerja dapat dikategorikan memiliki urgensi nasional.

Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan UU Cipta Kerja dalam ruang diskursus publik di mana suara, aspirasi sekaligus kritik warga negara diakomodasi di ruang Parlemen yang notabene merupakan rumah rakyat.

Langkah ini jauh lebih menemukan konteksnya daripada mendorong pengujian UU Cipta Kerja melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Kendati upaya tersebut konstiusional, namun hakikatnya menghilangkan percakapan warga negara dengan negara khususnya dalam perumusan norma-norma dalam undang-undang (UU).

Terlebih dengan posisi MK yang berperan sebagai negative legislator, tak banyak memberi ruang yang cukup bagi warga negara untuk menyampaikan gagasannya.

Proses judicial review di MK hanya akan melahirkan kontestasi argumentasi antara negara dan warga negara dengan menempatkan UU Cipta Kerja sebagai obyek pengujian terhadap undang-undang dasar (UUD).

Upaya ini secara simplistis hanya menyisakan putusan mahkamah yakni mengabulkan dan menolak. Padahal, yang disoal warga negara adalah mengenai partisipasi dan komunikasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja sehingga mengakibatkan lahirnya norma hukum yang dinilai mengabaikan aspirasi publik.

Tantangan demokrasi

Gelombang protes publik terhadap proses pembentukan dan substansi materi UU Cipta Kerja jika dicermati lebih jauh sebagai ujian atas praktik demokrasi di Indonesia.

Padahal, pemerintahan sejak era reformasi ini hakikatnya telah memiliki instrumen demokratik sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance).

Namun, protes atas UU Cipta Kerja ini menjadi realitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh negara. Butuh sikap legawa negara untuk mendengar argumentasi, aspirasi bahkan kritik dari publik baik dari dimensi prosedur penyusunan maupun materi UU Cipta Kerja.

Langkah ini jauh produktif daripada bersilang kata mengenai tudingan informasi bohong yang menjadi basis pemrotes atas UU Cipta Kerja ini.

Semestinya, perencanaan, pembahasan dan persetujuan UU Cipta Kerja antara DPR dan Presiden menjadi momentum untuk pelembagaan sistem demokrasi yang ajek di Indonesia.

Salah satu prinsip penting dalam praktik demokrasi, sebagaimana disebut Robert A. Dahl (2001), terdapatnya partisipasi yang aktif dari publik sebelum pengambilan kebijakan. Sayangnya, persoalan partisipasi ini menjadi masalah yang banyak yang digugat oleh publik.

Lebih dari itu, dalam praktik negara hukum, penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) menjadi panduan etik dalam pengelolaan negara. Seperti asas proporsionalitas (principle of proportionality), asas kebijaksanaan (sapientia), asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) dan lain-lain.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut, tidak hanya berlaku bagi penyelenggara administrasi negara sebagai pemandu dalam pengambilan kebijakan publik, namun AAUPB juga dapat berguna bagi law maker dalam merumuskan norma penyusunan peraturan perundang-undangan (SF Marbun, 2001).

Mengembalikan UU Cipta Kerja dalam diskursus publik sebagai upaya konkret untuk melembagakan demokrasi yang telah diperjuangkan bersama-sama pada 22 tahun silam.

Lebih dari itu, langkah ini juga ingin memastikan lembaga-lembaga negara, khususnya pembentuk undang-undang, dikembalikan pada jalur yang tepat sesuai dengan amanat konstitusi.

Sumber: kompas.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan