PERAYAAN kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini seharusnya menjadi salah satu moment mengenang kembali perjuangan para pahlawan dan masyarakat Indonesia masa lalu dalam upaya melepaskan negeri ini dari tangan para penjajah. Selanjutnya sebagai “model” bagi generasi muda hari ini yang identitasnya telah banyak digerus oleh zaman. Olehnya itu, pada kesempatan ini kita akan kembali mengenang salah satu pelopor gerakan pemuda untuk merebut kembali kemerdekaan khususnya di tanah Maros Sulawesi Selatan.

Literatur sejarah menyebutkan bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Bersamaan dengan itu generasi pejuang terus hadir seiring dengan silih bergantinya waktu. Walaupun angka ini masih diperselisihkan oleh para ahli sejarah, tapi minimal ini memberikan gambaran kepada kita betapa lama dan sulitnya masa-masa yang dilalui masyarakat bangsa ini di era penjajahan.

Perang merebut kemerdekaan dan melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan tidak pernah berhenti. Sebagaimana semboyan para pejuang kemerdekaan “mati satu tumbuh seribu”.

Gugur sebagai seorang pejuang adalah salah satu makna kata “jihad” yang dipahami dalam Islam. Bagi seorang muslim, meninggal sebagai seorang yang bebas (baca: merdeka) jauh lebih berharga daripada hidup sebagai pecundang yang terjajah.

Perlawanan merebut kemerdekaan Indonesia terus berkecamuk., Tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Bangsa Indonesia yang bertanah air berkeinginan kuat untuk hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan.

Baca Juga  Difitnah, KAMI Terus Melangkah

Tekad mereka hanya satu, merebut kemerdekaan yang ditempuh dengan jalan menolak dan menentang penjajahan.

Rentetan peristiwa setelah Proklamasi Kemerdekaan memberikan warna tersendiri dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan.

Pascaproklamasi, daerah ini masih terlibat dalam perang yang tidak berkesudahan karena upaya Belanda yang ingin kembali berkuasa dilawan secara terbuka oleh para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan.

Hampir di seluruh daerah terjadi pembentukan organisasi kelaskaran. Para bangsawan dan para pemuda pejuang saling bergandengan tangan menyusun kekuatan untuk membangun perlawanan meski memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya.

Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah Belanda adalah daerah Maros yang memang berbatasan langsung dengan kota Makassar.

Meskipun kemerdekaan telah dikumandangkan dengan resmi pada 17 Agustus 1945, namum tentara Belanda belum sepenuhnya meninggalkan wilayah Indonesia termasuk di Maros. Ketidakinginan penjajah meninggalkan Maros menyulut perlawanan dari pemuda dan masyarakat.

Kota Maros memiliki sederat nama pejuang yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah merebut kemerdekaan. Salah satu di antara mereka adalah seorang pemuda pemberani yaitu Fathul Mu’in Dg. Maggading. Namanya tercatat indah dalam sejarah perjuangan Maros.

Di masa mudanya, selain sebagai aktivis Muhammadiyah mengikuti jejak ayahnya H. Ba Alwi, Fathul Mu’in muda adalah seorang yang sangat aktif sebagai pejuang kemerdekaan.

Baca Juga  Demokrasi Dan Kegagalan Rezim Jokowi

Sumbangsih besarnya adalah di bulan Januari 1946 ketika sebuah peristiwa heroik terjadi. Para pemuda yang dipimpin oleh Fathul Mu’in Dg. Maggading menurunkan bendera Belanda di depan rumah Controleur. Bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru itu dirobek bagian birunya oleh Dg. Maggading. Bendera yang menyisakan warna merah dan putih itu kemudian dipertontonkan kepada masyarakat di depan kantor Karaeng Turikale.

Peristiwa ini memiliki makna yang sangat dalam bahwa masyarakat Maros adalah masyarakat pejuang yang siap berkorban untuk melepaskan bangsa dan negara ini dari segala bentuk penjajahan. Karena peristiwa heroik inilah pemerintah Kota Maros mengabadikan bulan Januari sebagai salah satu momentum penting hari lahirnya Kabupaten Maros yaitu 4 Januari 1471.

Keterlibatannya dalam perjuangan merebut kemerdekan diapresiasi oleh pemerintah dengan penganugrahan pangkat militer Mayor kepada Fathul Mu’in Dg. Maggading. Bagi Fathul Mu’in, penyematan gelar dan pangkat ini bukanlah hal penting karena perjuangannya tidak didasari ambisi mengejar jabatan dan pangkat.

Semuanya didasari oleh motivasi iman dan Islam bahwa setiap muslim tidak boleh hidup sebagai seorang budak yang terjajah tapi ia harus bangkit merdeka (baca: bebas) melaksanakan perintah syariat.

Inilah semangat dari semboyan “Al-Islam A’la wa La Yu’la Alaihi“ (Islam itu tinggi dan tidak ada yang bisa mengalahkan ketinggiannya). Dengan adanya semangat seperti ini, maka tidak pantas seorang muslim hidup terhina dalam penjajahan.

Baca Juga  Perbedaan Antara Kerajaan Qatar dan Republik Qotor

Perjuangannya semata karena tuntunan agama Islam yang ia yakini sebagai bagian dari ibadah. Ibadah tidak membutuhkan pamrih dari manusia.

Ini terbukti karena dalam perjalan kehidupan K.H. Fathul Mu’in Dg. Maggading pascakemerdekan tidak pernah mengambil gaji veteran sepeserpun. Padahal sebagai veteran pejuang kemerdekaan bergelar mayor penghargaan pemerintah itu sangat layak diterimanya.

Terkait K.H. Fathul Mu’in yang menolak untuk menerima gaji veterannya, dibenarkan oleh Ayyadah, salah seorang anak perempuan K.H. Fathul Mu’in. Ia menceritakan bahwa ia pernah bertanya mengapa ayahnya tidak pernah mengambil gajinya sebagai seorang veteran kemerdekaan?

Ayahnya dengan penuh kesederhanaan menjawab, “Cukuplah Allah yang membalas semuanya.”

Persitiwa heroik inilah yang membuatnya begitu dihormati dan disegani masyarakat secara umum dan elit pemerintah kota Makassar secara khusus.

Terlebih ketika ia memimpin organisasi Muhammadiyah Makassar, baik sebagai ketua cabang maupun ketika menjadi pimpinan daerah Muhammadiyah. Elit pemerintah kota Makassar mengenal baik sosok seorang K.H. Fathul Mu’in Dg. Maggading dan jasa-jasanya kepada negara ini. Sehingga dalam berinteraksi dengannya, elit pemerintah juga memiliki keseganan tersendiri.*Syandri Syaban, Lc. M.Ag. Alumni International Islamic University Islamabad Pakistan. Dosen STIBA Makassar

Syandri Syaban, Lc. M.Ag
Alumni International Islamic University Islamabad Pakistan. Dosen STIBA Makassar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan