Nasib Pilu Pengungsi Gempa Maneje, Terpaksa Bongkar dan Pindah Tenda Gegara Pemilik Tanah Marah

Kondisi tenda pengungsian korban gempa Sulbar. (Foto: TRIBUN-TIMUR.COM/HASAN BASRI)

IDTODAY NEWS – Nasib pilu dirasakan pengungsi gempa Majene.

Mereka harus bongkar tenda karena pemilik tanah marah, alasannya sang pemilik tanah tak rela tanamannya rusak dan mati.

Gempa bumi yang melanda sejumlah daerah di Sulawesi Barat dengan magnitudo 6,2, Jumat (15/1/2021) dini hari menyisakan duka.

Banyak masyarakat yang harus mengungsi karena rumahnya hancur.

Tak cukup di situ, beberapa kisah pilu diungkap pengungsi.

Melansir TribunTimur.com, seorang pengungsi korban gempa di Majene terpaksa membongkar paksa tendanya.

Hal tersebut terpaksa ia lakukan karena diusir oleh pemilik tanah tempat ia mendirikan tenda.

Pemilik tanah marah lokasi tanahnya ditempati para pengungsi.

Alasannya karena pemilik tanah tak rela tanaman miliknya akan rusak atau mati.

Pengungsi yang mengalami ini adalah Idris warga Kecamatan Somba, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar).

Hal ini terungkap setelah viral di media sosial dan menjadi perbicangan waganet.


Pemilik akun mengunggah foto pengungsi yang sedang membongkar tenda.

“Yang sabar keluargaku di Somba. Terpaksa todri pindah karena nausir yang punya tanah. Padahal untuk sementaraji ditempati kasian. Napasalama tau puang Lina ahera, ” tulis pemilik akun media sosial yang tak disebutkan namanya.

Sementara Idris, seorang pengungsi di Kecamatan Somba, Majene membenarkan kejadian itu.

“Tidak diusir pak, hanya marah yang punya tanah karena tanamannya yang punya tanah ada disitu, ” Kata Idris seperti diwartakan TribunTimur.com.

Tenda yang sudah terpasang pun langsung dibongkar oleh Idris bersama keluarga nya.

Kemudian mencari lokasi tidak jauh dari tempat itu.

Idris dan keluarga tinggal di posko pengungsian bersama dengan lima kepala keluarga.

Idris menyampaikan selama tinggal di posko baru mendapat bantuan berupa mie instan.

Ia berharap ada bantuan lain berupa beras, air bersih untuk kebutuhan mereka selama di pengungsian.

Saat ini jumlah pengungsi akibat gempa bumi 6,2 SR mengguncang wilayah Majene sebanyak 27.850 orang di 25 titik pengungsian.

Bantuan tenda, air bersih hingga kebutuhan bayi di posko pengungsian masih belum merata.

Adapun korban jiwa sebanyak 11 orang. Luka berat 64 orang, 215 orang luka sedang, 275 orang luka ringan

Sedangkan warga yang dilaporkan hilang sebanyak tiga orang di Dusung Aholeang.

Mereka diduga tertimbun bangunan dan longsor.

Pengakuan Pengungsi Lainnya

Jeritan pengungsi Majene, mengaku bantuan hanya diberikan untuk tenda besar, kekurangan air bersih dan susu bayi.

Tiga hari sejak gempa berkekuatan magnitudo 6,2 mengguncang Majene, warga masih mengungsi di tenda-tenda darurat yang didirikan.

Baca Juga  Cerita Kusmiyati Utang Rp 200 Juta agar Anak Jadi PNS, Uang Dibawa Kabur, Nyicil Rp 5,3 Per Bulan

Sebagian warga memilih untuk mengungsi di posko yang disediakan pemerintah.

Namun ada juga yang mendirikan di dekat rumah mereka.

Ramli (50), warga Desa Kayuangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene adalah salah satu pengungsi yang mendirikan tenda di dekat rumahnya.

Ramli menuturkan, warga yang memilih mengungsi di dekat rumah jarang tersentuh bantuan.

Sebagian besar warga yang mendapat bantuan merupakan pengungsi di posko-posko resmi.

Padahal, sebagian warga tidak mengungsi di posko resmi karena menjaga barang-barangnya di rumahnya.

“Kekurangan air bersih. Kalau bantuan ada juga mi sama beras. Tapi jarang, banyak bantuan yang di tenda-tenda besar,” kata Ramli saat diwawancara Kompas.com, Sabtu (16/1/2020) sore.

Penerangan di Desa Ramli bahkan masih belum stabil, pasalnya listrik masih padam.

Lilin dan minyak tanah untuk lampu pelita juga tidak ada, membuat warga menggunakan senter atau ponsel yang sudah diisi dayang di tempat lain.

Di desa yang lebih terpencil, ada juga warga yang masih belum menerima bantuan.

Mereka berada di Desa Salutahungab, area pegunungan di Kecamatan Malunda.

Padahal rumah mereka banyak yang rata dengan tanah.

“Jadi ada yang bilang kenapa cuma dibawa di sini saja bukan ke Lombong,” kata Ramli.

Senada dengan Ramli, Nurul Zaskia (22), warga Desa Mekkatta juga masih mengaku kesulitan mendapatkan air bersih.

Baca Juga  25 Relawan Uji Vaksin Sinovac di Bandung Positif Covid-19

Selain itu peralatan dan perlengkapan untuk bayi seperti susu dan popok juga sangat kurang.

Padahal, Zaskia punya 8 keluarga yang masih balita ikut mengungsi. Jarak rumah Zaskia dengan lokasi posko induk pengungsian cukup jauh.

“Perlengkapan bayi seperti popok, susu sangat kurang. Padahal ada anak bayi yang baru berusia 20 hari tinggal di dalam (lokasi pengungsian),” ujar Zaskia.

Sementara itu Abdul Khair (31), warga Desa Tubo Tengah, Kecamatan Sendana harus pergi ke posko induk di Kecamatan Malunda untuk mendapatkan susu untuk anaknya.

Khair mengaku, masih banyak lokasi pengungsian di Desa Tubo Tengah yang belum terjamah. Beruntung dia memiliki kerabat yang mengungsi di posko induk di Kecamatan Malunda.

Keluarganya itu lah yang langsung mengambil susu untuk anaknya begitu bantuan tiba. Khair lalu dihubungi keluarganya itu untuk mengambil susu anaknya yang baru berusia 6 bulan.

“Tidak ada susu. Masih kurang bantuan. Kalau air minum sudah dapat. Kalau untuk mandi cukup air sumur,” kata Khair yang mendirikan tenda di halaman rumahnya.

Baca Juga: Ahmad Muzani Minta Anggota Fraksi Gerindra Sisihkan Gaji Untuk Bantu Korban Bencana

Sumber: tribunnews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan