Pelajar dalam Sengatan SKCK Pasca-aksi Demo Tolak Omnibus Law

Anak di bawah umur mengikuti aksi tolak UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Aksi menolak UU Cipta Kerja yang awalnya hanya banyak digelar kaum buruh dalam perkembangannya juga diikuti berbagai elemen masyarakat, dari mahasiswa, pelajar, hingga anak-anak di bawah umur. (Foto: ANTARA /MUHAMMAD ADIMAJA)

IDTODAY NEWS – Usia anak-anak (pelajar) pada dasarnya didominasi oleh fase ingin tahu (curiosity). Soal tahu atau tidak. Pada usia-usia demikian, rasa penasaran dan ingin mencoba lebih “menggerayangi” pola pikir anak-anak.

Maka, pendekatannya lebih ke arah pembinaan dan pendidikan, bukan mengancam atau menghakimi mereka dengan nalar hukum. Hemat saya, inilah salah satu metode yang mungkin bisa didekati ketika berhadapan dengan kasus para pelajar yang ditangkap karena ikut dalam aksi demonstrasi tolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) kemarin.

Nasib pelajar yang ikut dalam massa demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) dibredel sanksi. Salah satu hukuman yang diberikan pihak kepolisian terkait pelajar yang ikut berdemo adalah menolak menerbitkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).

Selain menolak menerbitkan SKCK, sanksi yang diberikan kepada para pelajar adalah di-drop out dari sekolah. Sanksi ini diyakini bakal memberikan efek jera bagi para pelajar agar tak lagi ikut-ikutan dalam aksi demonstrasi di kemudian hari.

Potret realitas ini mengingatkan saya pada kasus penangakapan 10 orang anak di bawah umur di areal Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jawa Barat pada 2009 silam.

Kesepuluh anak ini ditangkap dan sempat mengalami situasi jeruji hanya gara-gara bermain judi koin. Nasib anak-anak ini pun mulai dilabeli. Mereka bahkan sempat diancam untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Ancaman yang sama juga diperlihatkan pihak kepolisian bagi para pelajar yang ikut berdemo menolak UU Cipta Kerja. Dalam peringatannya, pihak kepolisian akan menolak menerbitkan SKCK bagi para pelajar yang terlibat dalam aksi demo menentang UU Cipta Kerja.

Baca Juga  PPP: Revisi UU Pemilu Bukan untuk Anies Nyapres dan Gibran Maju Pilkada DKI

SKCK merupakan salah satu bagian dari dokumen persyaratan dalam berbagai urusan instansi-kepemerintahan. Bahkan ketika hendak melamar sebuah pekerjaan, SKCK sangat dibutuhkan oleh pihak perusahaan.

Surat ini penting mengingat track record seseorang selalu menjadi salah syarat bagaiamana seseorang, kelompok atau sebuah institusi menilai kita. SKCK tidak lain adalah sertifikat masa depan. Bagaimana jika ditangguhkan pihak kepolisian?

Menurut Komisioner KPAI Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi, Jasra Putra, tindakan kepolisian menolak menerbitkan SKCK bagi para pelajar justru menghambat masa depan anak.

Ketika anak-anak diberi stigma dengan menolak menerbitkan lencana kelakukan baik dari sebuah institusi legal bernama kepolisian, hal ini justru membuat anak merasa tak bebas. Tindakan ini, juga sangat menghambat semangat anak-anak menggapai cita-cita di kemudian hari.

SKCK itu dianggap KPAI sebagai stigma yang ditempelkan kepada anak-anak sejak dini. Bahayanya, anak-anak mudah dilabeli dalam hidup pergaulan bersama. Ia merasa dirajam labeling dan menjadi minder ketika hendak masuk dalam sebuah perkumpulan atau bergabung dalam sebuah institusi pendidikan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur agar stigmatisasi dihindari dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

Jika UU berbicara demikian, seharusnya kepolisian menerbitkan surat peringatan atau teguran dengan level tertentu bagi para pelajar yang ikut bergabung dalam demo kemarin.

Jika memang pelajar terbukti melakukan pelanggaran ketika berdemo, pihak kepolisian bisa memberikan surat berupa teguran atau peringatan. Hal ini, hemat saya, mampu memberikan efek jera untuk anak. Ketika mereka menerima teguran dan peringatan dalam bentuk surat, ruang gerak mereka pun pelan-pelan akan dibenahi.

Anak-anak akan mengingat dan menimba pelajaran tertentu jika peringatan berupa surat diberikan. Cara ini sejatinya lebih baik dan mendidik ketimbang “mengancam” masa depan anak dengan menolak menerbitkan SKCK.

Apa yang terlewatkan dalam tindakan menolak menerbitkan SKCK adalah soal dimensi pendidikan dari sebuah kebijakan. Unsur pendidikan dalam hal ini hilang karena anak-anak langsung disekap dengan sebuah ancaman berbentuk hukum.

Bagaimana mungkin orientasi efek jera diupayakan melalui sebuah ancaman berbau hukum diterapkan untuk anak-anak? Penting diingat di sini bahwa strategi pendekatan dan pembinaan harus memperhitungkan level kedudukan seseorang dalam lingkungan sosial.

Jika masih anak-anak, pendekatan yang dipakai pasti berbeda daripada mereka yang secara usia sudah dikategorikan sebagai pelanggar hukum. Perbedaan ini menentukan cara dan arah kebijakan kita dalam mendidik dan menata hidup bersama.

Untuk kategori anak, cara yang dipakai seharusnya lebih pada pendekatan, mentoring, dan pembinaan. Tiga hal ini menjadi tahapan penting terutama dalam menumbuhkan sense of regulation dalam hidup anak-anak. Jika seorang anak didekati, rasa percaya dirinya semakin diasah.

Baca Juga  Nurdin Abdullah, Teladan Gubernur Lain Ademkan Pendemo Omnibus Law

Jika dirangkul, anak-anak merasa diperhatikan, dan jika dibina dengan cara yang baik, anak-anak pasti mau berubah. Hemat saya, inilah tahapan-tahapan pendekatan yang boleh diupayakan dalam mendulang efek jera berhadapan dengan anak-anak.

Bagi anak-anak, institusi kepolisian adalah bagian dari rumah pendidikan. Di dalam keluarga, seorang anak memang mengalami masa formasi sebuah pendidikan (karakter, kongnitif, psiko-motorik). Akan tetapi, terkadang tidak semua institusi keluarga mampu mendidik anaknya dengan cara yang baik.

Begitu juga dengan institusi pendidikan formal (sekolah). Tak semua guru mampu mengarahkan dan membuat transformasi dalam diri seorang anak.

Maka, kepolisian dalam hal ini bisa menjadi lembaga terakhir (the final institution) yang mampu mendidik dan membina seorang anak menjadi pribadi yang humanis di lingkungan sosial.

Jika kepolisian membuat pendekatan yang transformatif, tentu cara-cara yang dibuat bisa diterapkan di lingkungan institusi lainnya, seperti sekolah maupun keluarga.

Terhadap anak-anak (di bawah umur), kalkulasinya mungkin bukan efek jera seperti halnya pelaku kriminal atau pelanggar hukum lainnya. Orientasinya justru lebih pada pendidikan dan pembinaan.

Prospek utamanya tak lain soal mengarahkan anak-anak agar memahami dengan baik (sense of understanding) tindakan dan perilakunya dalam hidup bersama.

Pada usia-usia demikian (masa kanak-kanan dan masa anak-anak), problem yang dihadapai seputar tegangan antara tahu dan tidak. Mereka pun bergulat dalam lingkaran ingin tahu (curiosity).

Sumber: kompasiana.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan