IDTODAY NEWS – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengancam akan mencopot kepala daerah yang dianggap membiarkan kerumunan massa. Ancaman Mendagri menimbulkan polemik, karena kepala daerah dipilih secara demokratis oleh rakyat lewat mekanisme Pilkada.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan Mendagri bukan pihak yang tanpa kesalahan pula dalam urusan terjadinya kerumunan massa. Mendagri adalah salah satu pihak yang mengesahkan berlangsungnya Pilkada 2020. Dan sejauh ini rangkaian Pilkada yang berlangsung di banyak daerah sudah berulang kali menyebabkan kerumunan massa.

“Jika Anies kena (pelanggaran protokol kesehatan) maka Mendagri juga kena karena dia juga melanggar soal kekarantinaan kesehatan,” kata Feri.

Feri mendasari pandangannya di atas dengan mencermati pasal 93 UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Feri menyebut Tito sendiri juga tidak lepas dari kesalahan membuat kerumunan massa.

“Karena pasal itu juga bisa dikenakan kepada Mendagri sendiri yang ikut melanggar UU 6/2018 karena merestui Pilkada di tengah pandemik membuat orang berkumpul,” ujar Tito.

Namun Feri menilai Tito dan Anies sama-sama tidak akan bisa diganjar hukuman sepanjang tidak menimbulkan darurat kesehatan. Hal ini sesuai bunyi pasal 93 itu sendiri “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.”

Baca Juga  Politisi PDIP Kritik Jokowi Tak Terapkan Lockdown: Presiden Tidak Patuh Konstitusi

“Anies tidak bisa dijerat begitu juga Mendagri. Pasal 93 itu juga harus memastikan akibat yaitu timbulnya darurat kesehatan di mana penyakit itu meluas akibat pelanggaran,” ucap Feri.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengingatkan, Mendagri tak bisa langsung memberhentikan kepala daerah yang melanggar ketentuan Pasal 78 UU tentang Pemerintahan Daerah. Pemberhentian yang diusulkan kepada Presiden atau Mendagri harus berdasarkan putusan final Mahkamah Agung.

“Pencopotan kepala daerah baik gubernur, bupati, wali kota, itu tidak seperti dulu yang bisa dicopot saja langsung oleh Mendagri,” ujar Bivitri saat dihubungi Republika, Kamis (19/11).

Ia menjelaskan, kepala daerah saat ini dipilih langsung oleh rakyat, sehingga proses pencopotannya pun harus melalui wakil rakyat sesuai ketentuan Pasal 80 UU Pemerintahan Daerah. Pengenaan sanksi pemberhentian kepala daerah sangat bergantung pada konstelasi politik antara eksekutif dan legislatif di daerah.

Baca Juga  Politisi Demokrat Sebut Aksi Blusukan Jokowi Berbahaya, Ini Alasannya

“Misalnya DKI Jakarta, berarti harus ada hitungan politiknya, apakah DPRD-nya akan menyetujui atau tidak kalau ada sanksi terhadap Anies Baswedan,” kata Bivitri.

Pemberhentian kepala daerah pun tak cukup hanya dengan pendapat politik yang diputuskan melalui rapat paripurna DPRD. Putusan DPRD kemudian harus melalui proses hukum di Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini.

Apabila Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah yang bersangkutan terbukti melanggar, barulah pimpinan DPRD menyampaikan usulan pemberhentian kepada Mendagri untuk bupati/wali kota atau presiden untuk gubernur. Putusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar pencopotan kepala daerah.

Menurut Bivitri, Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 hanya bersifat mengingatkan kepala daerah atas adanya sanksi pemberhentian. Jika kepala daerah dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan pandemi, maka proses pemberian sanksinya mengikuti aturan UU Pemerintahan Daerah.

“Yang kemudian mengikat Undang-Undang Pemerintahan Daerahnya, karena memang kalau dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengikat itu undang-undang, instruksi itu administrasi negara dari menteri ke bawahannya,” tutur Bivitri.

Bivitri menambahkan, berdasarkan kasus terdahulu, dengan alasan apapun, kepala daerah dapat diberhentikan dengan pengenaan Pasal 78, termasuk apabila mereka dianggap melanggar protokol kesehatan yang sudah diatur sejumlah peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, bergantung pada keputusan DPRD untuk membawa perkara tersebut ke Mahkamah Agung atau tidak.

“Memang bisa saja untuk alasan apapun tergantung dari keputusan DPRD-nya dulu. Harus ada analisis politiknya dulu,” ucap Bivitri.

Selain itu, dalam Pasal 81 UU Pemerintahan Daerah, apabila DPRD tidak melakukan hal di atas, pemerintah pusat dapat memberhentikan kepala daerah. Pemerintah pusat terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah untuk menemukan bukti-bukti atas pelanggaran yang dilakukan.

Hasil pemeriksaan lalu disampaikan kepada Mahkamah Agung. Apabila Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah terbukti melakukan pelanggaran, pemerintah pusat memberhentikan kepala daerah.

Sumber: republika.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan