Prof Jimly Asshiddiqie Ungkap Cara Ampuh Melawan Omnibus Law Beradu di MK

Anggota DPD Prof Jimly Asshiddiqie,(Foto: jawa pos)

RUU Ciptaker telah disetujui DPR menjadi UU, maka demokrasi kuantitatif sudah membuat keputusan final. Artinya secara materil, UU itu sudah selesai.

Itu disampaikan anggota DPD RI, Prof Jimly Asshiddiqie. Dia mendukung langkah serikat buruh yang berencana mengajukan judicial review UU Cipta Kerja atau Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, kata dia, UU dengan konsep omnibus law itu tinggal mengikuti formalitas administrasi untuk disahkan oleh pemerintah. Bila dalam 30 hari tidak diteken oleh Presiden Joko Widodo, dia otomatis jadi UU.

“Secara materil, sudah tidak bisa diapa-apakan. Sudah disahkan, dan tidak ada lagi yang bisa mengelak, karena Presiden sendiri sebagai pribadi, itu punya obsesi dan sudah berkali-kali dipidatokan, sudah berkali-kali dirapatkan. Jadi, ini maunya Presiden sendiri,” ucap Prof Jimly saat berbincang dengan jpnn.com, Sabtu (10/10).

Obsesi untuk melahirkan UU Ciptaker ini menurut Prof Jimly, dilakukan presiden dengan menggerakkan semua partai koalisi, beserta para ketua umumnya. Terutama, dalam proses legislasi di parlemen.

“Sehingga ini betul-betul menjadi kehendak, pilihan sikap mutlak dari pemerintah, dan penguasa politik sekarang. Baik yang ada di eksekutif maupun legislatif,” jelas Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) ini.

Baca Juga  Prabowo Blak-blakan Alasan Tak Lagi Lantang Bersuara

Sebelumnya pada Jumat sore (9/10), Presiden Jokowi menegaskan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja sangat penting untuk menciptakan iklim ekonomi yang baik bagi negara.

Namun menurut Prof Jimly Asshiddiqie, tanpa argumentasi presiden itu pun, rakyat harus memahami bahwa lahirnya UU Cipta Kerja memang kehendak pribadi Presiden ketujuh RI tersebut.

Apalagi, ide mengenai omnibus law ini sudah dipidatokan Presiden Jokowi secara resmi di depan forum MPR/DPR pada 16 Agustus 2020, bahkan waktu pelantikan 20 Oktober 2020. Selain itu, gagasan ini sudah dirapatkan berkali-kali di sidang kabinet terbatas.

“Jadi, jangan lagi ada lagi yang menganggap, oh ini bukan presiden, oh ini maunya menteri anu, menteri ini, tidak. Ini sudah kehendak kolektif kepemimpinan sekarang, dan ini sudah diputus secara materil, sudah selesai,” tegas tokoh asal Sumatera Selatan ini.

Karena itu, mantan ketua pertama MK RI ini tekanan politik seperti demonstrasi sebanyak apa pun untuk membatalkan omnibus law Cipta Kerja, itu sudah tidak akan efektif. Justru, bisa-bisa mereka akan dimusuhi penguasa.

Baca Juga  KPK Ungkap Belum Ada Jadwal Pemeriksaan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin

“Pasti dimusuhi. Sekarang semua kata-kata yang ini kan, o ini hoaks, ini fitnah, malah nanti yang menyebarkan berita tentang RUU ini malah ditangkapi. Itu akan dilakukan, karena ini sudah kehendak kolektif, dan harus dipaksakan, tidak bisa tidak. Jadi ini tidak lagi main-main. Ini orientasinya sudah menang-kalah,’ tutur mantan ketua DKPP ini.

Hal tersebut menurut Prof Jimly, sudah menjadi risiko politik dan demokrasi kuantitatif. Sehingga, sebanyak-banyaknya aksi unjuk rasa untuk menolak omnibus law Cipta Kerja, itu hanya akan menimbulkan masalah saja.

“Masalahnya itu kalau emosi tidak terkendali, nanti bakar ban, bakar mobil, bakar stasiun. Jadinya melanggar hukum. Itu tidak terhindarkan. Orang kalau sudah kumpul, apalagi di tengah covid, bagaimana memastikan sosial distancing, itu saja sudah dilanggar,” jelas Jimly Asshiddiqie.

Untuk itu dia menilai jalan terbaik yang bisa dilakukan buruh maupun elemen masyarakat lainnya hanya satu, tempuh jalur hukum ke MK. Di sana mereka bisa adu rasionalitas dan argumentasi.

Baca Juga  Massa Buruh Meluber di Dekat Istana, Polisi: Selamat Datang, Bantu Kami

“Apakah pasti terkabul? Belum tentu juga. Tapi itu jauh lebih sehat, lebih melembaga dalam menyalurkan kegiatan bernegara,” kata Prof Jimly.

Mengajukan judicial review ke MK dinilai paling baik karena kondisinya sudah hitam putih, dan cara pandang Presiden Jokowi dan pejabat pemerintahan sudah satu soal RUU Ciptaker dan telah diputus resmi sebagai keputusan demokrasi di DPR.

“Selebihnya, tidak ada mekanisme untuk membuat keputusan yang berbeda dengan itu, kecuali di MK. Jadi anjuran saya, manfaatkan saja yang di MK sambil mengurangi emosi, lalu menurunkan tensi. Sambil merenungkan sikap batin masing-masing kepada pemerintah ini,” tuturnya.

Prof Jimly juga menyarankan agar penolak omnibus law Ciptaker yang jengkel dengan pemerintah, jangan memaksakan diri dalam kondisi sekarang ini.

“Kalau memang sudah mutung, tidak lagi mau memberi dukungan karena sudah pahit, sudah merasa dikhianati, ya siapkan untuk 2024. Begitu sistem demokrasinya. Jadi, jangan memaksakan diri sekarang. Sekarang ini sudah, lakukan usaha maksimal melalui peradilan yang beradab. Itulah yang di MK,” pungkasnya.

Sumber: fajar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan