IDTODAY NEWS – Undang Undang Kejaksaan 16/2004 saat ini tengah diharmonisasi oleh Badan Legislasi DPR RI dan akan menjadi UU Kejaksaan yang baru.

Dalam draf Rancangan Undang Undang RUU Kejaksaan tersebut termaktub 41 pasal yang dianggap menjadi super body bagi aparat penegak hukum.

Pakar hukum Prof Romli Atmasasmita mengatakan, tidak sependapat adanya perubahan UU Kejaksaan. Alasannya pembahasan perubahan itu bersamaan saat bangsa Indonesia berada di tengah situasi pandemi Covid-19 ini.

“Karena masih banyak kasus bermasalah yang sangat melecehkan RI sebagai Negara Hukum,” ujar Prof Romli kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/9).

Alasan kedua, kata Prof Romli, perubahaan UU Kejaksaan mengadopsi struktur organisasi kekuasaan kehakiman yang dianut dalam sistem hukum common law. Di mana polisi sebagai pembantu jaksa dan jaksa sebagai hulp-magistraat.

“Berbeda secara fundamental dengan sistem KUHAP yang menganut mixed system,” ucapnya.

Adapun alasan ketiga perihal ketidaksepakatnya dengan UU Kejaksaan ini, adalah pengamatan Prof Romli terhadap kinerja kejaksaan yang diketahui Jaksa Agung sendiri diambil dari partai politik atau afiliasi parpol tidak dari jaksa karir.

Baca Juga  Ketua DPD RI: Hasil Amandemen UUD Terbukti Telah Meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi

“Maka, politisasi gakkum (penegakan hukum) lebih besar potensinya daripada kepolisian yang dalam sejarah kepolisian hanya dari karir polri aktif yang relatif rentan politisasi,” imbuhnya.

Alasan ke empat, menurut hasil pengamatan Prof Romli selama 19 tahun sejak UU KUHAP 1981 tidak terjadi konflik kewenangan antara pihak kejaksaan dan kepolisian.

Dijelaskan Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran ini, hal itu disebabkan adanya Kuhap dan PP tahun 1983 telah mengatur mekanisme kewenangan kedua institusi itu secara baik.

Baca Juga  Prasetyo Edi Bungkam saat Tiba di KPK, Anies Baswedan Pilih Hadapi Wartawan

“Alasan kelima, perubahan UU Kejaksaan telah memberikan mandat kepada jaksa untuk menyidik tindak pidana selain tipikor, tppu dan pelanggaran HAM termasuk pelanggaran UU Administratif lain yang berdasarkan KUHAP telah secara tegas dinyatakan Penyidik adalah Polri dan PPNS,” tegasnya.

“Jaksa ditetapkan sebagai pemegang tunggal penuntutan/dominus litis plus penyidikan atas tindak pidana tertentu saja,” tandasnya.

Sumber: rmol.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan