Refly Harun: Akan Dahsyat Kalau Gatot dan Anies Dipersatukan sebagai Simbol Perlawanan…

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo bersamalaman dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.(Foto: Instagram)

IDTODAY NEWS – Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai akan dahsyat jika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dipersatukan sebagai simbol perlawanan dari rezim saat ini.

Menurut Refly yang mengulas berita SINDOnews berjudul ‘Gatot Nurmantyo Berpotensi Ambil Alih Peran Prabowo di Politik’, ada ceruk kosong yang ditinggalkan Prabowo Subianto yang kini merapat ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. “Ceruk kosong yang ditinggalkan Prabowo, sejauh ini Anies Baswedan yang mengisi. Banyak sekali pendukung Prabowo yang kecewa kemudian menjagokan Anies Baswedan yang dianggap sekarang sebagai simbol perlawanan the establishment rezim Jokowi,” kata Refly dalam channel YouTube Refly Harun, Minggu (4/10/2020).

Baca Juga  Dikritik! Program Kampus Mengajar Kemendikbud Dinilai Tiru Gagasan Anies

Refly mengatakan, posisi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tidak jelas. Begitu pula Gubernur Jawa Tengah Ganjar Prabowo yang dianggap sebagai putra mahkota dari incumbent, dari arus yang saat ini berkuasa.

Di sisi lain, lanjut Refly, akhir-akhir ini, sejak Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dideklarasikan dan ada pengadangan di mana-mana, nama Gatot Nurmantyo yang merupakan Presidium KAMI melonjak, naik terus, dan ada kemungkinan diperhitungkan dalam perhelatan 2024.

“Apalagi dia adalah purnawirawan TNI dan pangkat jenderal, dan kedudukan tertinggi sebagai panglima TNI. Tentu ini memberikan keuntungan tersediri. Ya tentu akan dahsyat kalau Gatot dan Anies dipersatukan misalnya sebagai simbol perlawanan dari rezim. Tapi persoalannya, siapa yang mau menjadi nomor dua, karena dalam benak psikologis mereka, mereka harus menjadi the number one, menjadi nomor satu,” ujarnya.

Baca Juga  Ketua ProDEM Jawab Megawati: Milenial Belum Pernah Jual Aset Negara, Ampuni Koruptor dan Ambil Alih Presiden

Hal ini, menurutnya, sama dengan apa yang terjadi pada 2009. Ketika itu, Prabowo harus bernegosiasi dengan Megawati Soekarnoputri pada 2009 dan akhirnya Prabowo memilih menjadi calon wakil presiden. “Itu bisa terjadi karena keduanya kepepet, keduanya tidak bisa maju kalau mereka tidak bersatu. Akhirnya Prabowo mengalah, Megawati maju,” katanya.

Sumber: sindonews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan