IDTODAY NEWS – Begitu besar jasa Islam terhadap Barat, terutama dalam dasar dan prinsip toleransi. Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Bahkan sampai-sampai Tim Wallace-Murphy dalam bukunya What Islam Did for Us mencatat, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Prestasi Rasulullah SAW membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti Umar bin Khattab yang pada 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Yerusalem.
Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khattab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Yerusalem. Hal ini belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.
Karen Armstrong mencatat, “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Yerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud.
Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Yerusalem memeluk Islam (Karen Arsmtrong, A History of Yerusalem: One City, Three Faiths, London: Harper Collins Publishers, 1997, hal. 228).
Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Yerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent, 1520–1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina.
Pada 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup dalam buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri) (Karen Armstrong, A History of Yerusalem, hal. 325–326).
Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus.
Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya persekusi anti-Semitik di Eropa, yang membuat kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota (Karen Armstrong, A History of Yerusalem, hal. 326–327).
Sumber: republika.co.id