Satu Pasal di Naskah UU Cipta Kerja Dihapus, Pakar Hukum: Memalukan

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) menyapa anggota DPR setelah memberikan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Pimpinan DPR saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.(ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A)

IDTODAY NEWS – Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pemerintah dan DPR telah melanggar undang-undang dengan menghapus salah satu pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020.

“Menghapus pasal (setelah UU disahkan di rapat paripurna) tidak boleh. Ini sudah sangat telanjang kesalahan formalnya. Ini memalukan,” kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (23/10/2020).

Feri menegaskan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas mengatur bahwa perubahan UU setelah pengesahan pada rapat paripurna hanya boleh dilakukan sebatas memperbaiki kesalahan pengetikan.

Karena itu, Feri menyesalkan pemerintah dan DPR justru melakukan perubahan substansi berupa penghapusan pasal.

Sebelumya, perubahan substansi juga terjadi saat UU itu masih berada di DPR.

“Jadi ini semakin menambah rentetan permasalahan formalitas. UU ini cacat secara formil,” kata Feri Amsari.

Baca Juga  PKS Bikin Tim Khusus Ungkap Cacat Formal UU Ciptaker, “Kami Mau Buktikan Ucapan Mahfud MD”

Feri juga menilai alasan pemerintah dan DPR yang melakukan penghapusan pasal itu sesuai kesepakatan rapat panitia kerja tidak masuk akal.

Ia menegaskan, harusnya semua kesepakatan di tingkat panja itu sudah dimasukkan seluruhnya ke naskah UU Cipta Kerja yang dibawa ke rapat paripurna pengesahan.

Dengan begitu, pasca-rapat paripurna, tak ada lagi perubahan substansi dalam naskah yang telah disetujui bersama.

“Ketika DPR menyerahkan draf ke pemerintah, maka dianggap draf itulah yang disetujui bersama. Ternyata sampai ke Presiden diubah lagi. Nah ini yang tidak benar,” kata dia.

Adapun, diketahui bahwa pasal yang dihapus adalah ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Baca Juga  Gugatan Luhut akan Disumbang ke Papua, Pigai Naik Pitam: Merendahkan!

Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang diserahkan DPR ke Istana, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.

Namun pasal itu tidak ada dalam UU Cipta Kerja terbaru versi 1.187 halaman yang diserahkan pemerintah ke ormas MUI, NU dan Muhammadiyah.

Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono menyebut pasal tersebut dihapus sesuai dengan kesepakatan dalam rapat panitia kerja antara DPR dan pemerintah.

“Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing,” kata Dini saat dihubungi, Jumat (23/10/2020).

Dini mengakui sesudah UU disahkan dalam rapat paripurna, tak boleh lagi ada perubahan substansi.

Baca Juga  Kamis-Jumat Besok DPR WFH, Seluruh Gedung Disterilisasi

Namun, Dini menegaskan penghapusan pasal itu bukan berarti mengubah substansi dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober lalu.

“Yang tidak boleh diubah itu substansi. Dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo, dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR,” kata dia.

Sedangkan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menjelaskan, ketentuan pengubahan Pasal 46 tersebut itu telah diklarifikasi Sekretariat Negara (Setneg) ke Baleg.

Sebab, memang tidak ada kesepakatan untuk mengubah Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.

“Kebetulan Setneg yang temukan, jadi itu seharusnya memang dihapus,” kata Supratman.

Sumber: kompas.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan