Setahun Jokowi-Ma’ruf: Pelemahan KPK hingga Vonis Ringan bagi Penyerang Novel

Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menabur bunga di sekitar keranda hitam dan bendera kuning, di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi tersebut sebagai wujud rasa berduka terhadap pihak-pihak yang diduga telah melemahkan KPK dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta revisi UU KPK.(Foto: ANTARA /SIGID KURNIAWAN)

IDTODAY NEWS – Pemberantasan korupsi dinilai menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi Pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin yang telah berusia satu tahun. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan 54,4 persen responden dan 10,2 persen responden mengaku tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Mar’ruf.

Survei yang sama menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) jadi salah satu persoalan bidang penegakan hukum yang paling mendesak diselesaikan dengan angka 41,4 persen.

Dalam tahun pertama Jokowi-Ma’ruf, kekhawatiran publik akan melemahnya KPK imbas revisi UU KPK menjadi nyata bila melihat lesunya kinerja penindakan KPK. Pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dilantik Jokowi pada 20 Desember 2019 pun justru lebih menimbulkan kontroversi ketimbang unjuk gigi memberantas korupsi.

Kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan juga berakhir antiklimaks setelah dua penyerangnya divonis ringan dan auktor intelektualis penyerangan Novel tak terungkap.

Revisi UU KPK terbukti melemahkan KPK

Pelemahan KPK imbas revisi Undang-Undang KPK yang dikhawatirkan publik dinilai telah menjadi kenyataan. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zaenur Rohman mengatakan, melemahnya KPK tercermin dari tidak adanya kasus kakap yang kini ditangani lembaga antirasuah itu.

“KPK lumpuh itu dibuktikan dengan tidak ada satu pun kasus strategis atau kasus kakap yang ditangani KPK, dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini KPK lumpuh,” kata Zaenur, Selasa (20/10/2020).

Selain minimnya kasus kakap yang ditangani, kegiatan penindakan KPK melalui operasi tangkap tangan juga lesu.

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, KPK tercatat hanya menggelar tiga kali operasi tangkap tangan yakni saat menangkap Bupati Sidoarjo Saiful Illah pada Selasa (7/1/2020), Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Rabu (8/1/2020), dan Bupati Kutai Timur Ismunandar pada Kamis (2/7/2020).

OTT terhadap Wahyu pun bukannya tanpa cela karena sampai saat ini KPK masih memburu eks caleg PDI-P Harun Masiku yang lolos dari pengejaran. Misteri keberadaan Harun juga sempat membuat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendapat sorotan.

Baca Juga  Rocky Gerung: Nafas Pertama Di 2021 Adalah Menghirup Potensi Kekerasan Di Masyarakat

Sebab, Kementerian Hukum dan HAM tidak mendeteksi kedatangan Harun di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa (7/1/2020), satu hari sebelum OTT dilaksanakan.

Penyidik KPK Novel Baswedan mengakui revisi UU KPK tersebut menghambat kinerja penindakan KPK. Sebab, kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan kini harus seizin Dewan Pengawas KPK.

Menurut Novel, diperlukannya izin itu membuat kerja para penyidik menjadi lebih panjang dan menyebabkan bukti-bukti tak bisa didapatkan secara cepat. Padahal, dalam bekerja, KPK harus merespons dengan segera. Jika tidak, muncul potensi hilangnya barang bukti.

“Dengan adanya proses yang harus ada izin, tidak diberikan ruang untuk melakukan tindakan terlebih dahulu sekalipun untuk hal yang mendesak contohnya setelah OTT atau tindakan-tindakan yang perlu mendesak ketika mencari tersangka yang melarikan diri. Ini menjadi hambatan,” ujar Novel saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/9/2020).

KPK mencatat telah membuka 43 perkara penyidikan perkara baru dan menetapkan 53 tersangka sepanjang semester 1 2020.

Pada kurun waktu yang sama, KPK juga telah menyetor Rp 100 miliar ke kas negara sebagai bagian dari pemulihan aset atau asset recovery.

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kinerja KPK pada semester I 2020 justru terjun bebas dibanding tahun-tahun sebelumnya.

ICW mencatat hanya ada 6 kasus yang ditangani KPK pada semester I 2020. Sedangkan, pada 2019, ada 28 kasus yang ditangani KPK dalam separuh tahun pertama.

Kontroversi pimpinan KPK

Sejak dilantik pada 20 Desember 2019, pimpinan KPK periode 2019-2023 kerap kali menimbulkan kontroversi ketimbang unjuk gigi dalam memberantas korupsi. Salah satu kontroversi yang menuai perhatian publik adalah kasus Ketua KPK Firli Bahuri yang menggunakan helikopter mewah dalam perjalanan pribadinya di Sumatera Selatan.

Baca Juga  Sandiaga Uno Masuk Tim Pemenangan Mantu Jokowi, Bobby Nasution

Perbuatan Firli tersebut dinilai tidak sejalan dengan nilai sederhana yang selama ini digembar-gemborkan oleh KPK. Pada akhirnya, Firli pun dinyatakan melanggar etik oleh Dewan Pengawas KPK dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, putusan Dewan Pengawas KPK tersebut mesti menjadi pelajaran bagi Firli untuk lebih serius bekerja sebagai Ketua KPK.

“Apapun hikmah dari putusan ini tadi mestinya Pak Firli akan lebih bersemangat, terlecut dan merasa terjewer untuk bekerja lebih demi pemberantasan korupsi ke depan,” kata Boyamin, Kamis (24/9/2020).

Namun, belum satu bulan berlalu sejak putusan Firli diketok, pimpinan KPK kembali menuai kontroversi setelah terungkapnya rencana pemberian mobil dinas bagi pimpinan, Dewan Pengawas, dan pejabat struktural KPK.

Rencana tersebut dinilai tidak menunjukkan empati kepada masyarakat Indonesia yang sedang sulit akibat pandemi Covid-19.

“Sebagai Pimpinan lembaga anti korupsi, semestinya mereka memahami dan peka bahwa Indonesia sedang dilanda wabah Covid-19 yang telah memporak porandakan ekonomi masyarakat,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Kamis (15/10/2020).

Pemberian mobil dinas KPK juga dinilai akan mubazir karena selama ini pimpinan dan Dewan Pengawas KPK telah mendapatkan tunjangan transportasi yang jumlahnya tidak sedikit.

Pada akhirnya, KPK pun memutuskan meninjau kembali rencana pengadaan mobil dinas tersebut setelah menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk para mantan pimpinan KPK.

“Kami sungguh-sungguh mendengar segala masukan masyarakat dan karenanya kami memutuskan untuk meninjau kembali proses pembahasan anggaran untuk pengadaan mobil dinas jabatan tersebut,” kata Sekjen KPK Cahya Harefa dalam konferensi pers, Jumat (16/10/2020).

Antiklimaks kasus Novel

Penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan juga turut mewarnai satu tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Polri menangkap dua tersangka penyerangan Novel yang merupakan dua polisi aktif, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, Kamis (26/12/2020).

Baca Juga  Novel Baswedan Blak-blakan Mau Mundur dari KPK, Asal...

Penangkapan dua tersangka itu seolah memberi harapan karena kasus penyerangan Novel tidak menemukan titik terang meski sudah berlalu hampir 3 tahun saat itu.

Namun, bukannya mendapat titik terang, proses hukum terhadap kedua tersangka justru dihiasi beragam kejanggalan ketika sudah memasuki persidangan.

Kejanggalan tersebut antara lain bantuan hukum dari Polri untuk kedua terdakwa, tidak dihadirkannya saksi kunci, hingga sikap jaksa penuntut umum yang dinilai tidak berusaha membuktikan bahwa penyerangan dilakukan secara sistematis. Kejanggalan-kejanggalan itu mencapai puncaknya ketika JPU hanya menuntut ringan kedua terdakwa, yakni satu tahun hukuman penjara.

Selain tuntutan yang ringan, JPU kasus Novel juga disorot karena menyebut perbuatan kedua terdakwa yang menyebabkan kebutaan pada mata Novel merupakan ketidaksengajaan.

“Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi,” kata jaksa dalam sidang tuntutan, Kamis (11/6/2020).

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghukum Rahmat dan Ronny masing-masing 2 tahun dan 1,5 tahun penjara.

Novel menyatakan hasil persidangan tersebut merupakan bukti negara tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.

“Saya tidak ingin katakan bahwa ini adalah kemenangan para penjahat dan koruptor. Tapi saya khawatir akhir persidangan ini adalah cerminan yang nyata bahwa negara benar-benar tidak berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi,” kata Novel, Kamis (16/7/2020)

Tim Advokasi Novel pun mendesak Presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen guna mengungkap auktor intelektualis di balik penyerangan Novel.

Sumber: kompas.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan