IDTODAY NEWS – Moeldoko melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, melayangkan somasi terakhir kepada ICW terkait polemik ‘promosi Ivermectin’ dan ekspor beras. Moeldoko meminta ICW dalam waktu 5×24 jam meminta maaf dan mencabut pernyataannya.

Dalam surat somasi Otto ke ICW, Moeldoko meminta peneliti ICW meminta maaf dan mencabut pernyataannya dalam rentang waktu 5×24 jam atau lima hari. Jika Egi tidak mencabut pernyataannya, Otto mengatakan bisa saja pihaknya atau Moeldoko sendiri yang akan melaporkan hal tersebut ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik.

“Kami berunding dengan Pak Moeldoko, Pak Moeldoko mengatakan, sudah, namanya orang salah, siapa tahu dia masih mau berubah. Kita berikan lagi kesempatan sekali lagi kepada dia, kesempatan terakhir. Jadi tadi saya kirim surat kepada Saudara Egi surat teguran yang ketiga dan yang terakhir,” kata Otto dalam konferensi pers virtual, Jumat (20/8).

Otto mengaku mendapatkan bukti-bukti ICW berniat melakukan pencemaran nama baik. Otto mengatakan, dalam sebuah diskusi bersama ICW, ICW sempat mengatakan terdapat misinformasi dalam polemik promosi Ivermectin, akan tetapi Otto menilai ICW telah mengakui adanya kesalahan tetapi tidak justru meminta maaf.

“Jadi dengan tegas kami sudah dapat bukti-bukti kuat bahwa memang apa yang mereka lakukan itu baik dari siaran persnya maupun dari konferensi persnya, diskusi publiknya jelas-jelas kami menemukan mens rea, yaitu niat dari mereka untuk melakukan pencemaran nama baik terhadap Pak Moeldoko, terbukti lagi mereka mengakui adanya misinformasi yang menurut saya bukan misinformasi, itu namanya disinformasi sebenarnya. Tapi katakanlah dia pakai istilah misinformasi berarti kan dia sudah salah, mengaku salah, tapi tidak mau mencabut dan tidak mau minta maaf,” kata Otto.

Selain itu, Otto mempertanyakan kepada ICW terkait sumber data dan klaim hasil penelitian terkait polemik promosi Ivermectin itu. Sebab, menurut Otto, jika berdasarkan penelitian, harus ada metodologinya dan ada pihak yang diwawancarai. Namun, menurutnya, tidak ada pihak yang diwawancarai. Karena itu, Otto menilai ICW hanya membuat analisis berdasarkan sumber dari media.

Otto mengatakan nantinya pihaknya akan melaporkan Egi dengan ancaman Pasal 27 dan Pasal 45 UU ITE apabila dalam rentang waktu lima hari itu tidak dilakukan permintaan maaf.

Baca Juga  RUU Cipta Kerja Akan Lindungi Usaha Masyarakat Di Sekitar Hutan

Soal Surat Balasan ICW

Otto juga mengungkapkan sebenarnya Koordinator ICW Topan Husodo telah menjawab surat somasi yang dilayangkan, akan tetapi menurut Otto, dalam surat itu tidak disampaikan Topan apakah sebagai kuasa hukum dari Egi. Sementara itu, menurutnya, perbuatan pidana tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Karena itu, Otto tetap meminta Egi meminta maaf.

“ICW kan bukan badan hukum yang saya lihat, saya lihat koordinator, bukan direktur, bukan badan hukum. Oleh karena itu, yang kami laporkan pasti adalah Saudara Egi, satu lagi Miftah, saya lupa namanya. Perbuatan pidana dilakukan oleh Egi, perbuatan pidana tidak bisa ditransfer, dipindahkan kepada orang lain. Siapa yang berbuat, dia yang harus kena,” tegas Otto.

Diketahui, pihak Moeldoko sebelum melayangkan somasi terakhir sudah mengirimkan surat somasi kedua kepada ICW dengan waktu 3×24 jam. ICW diminta membuktikan tuduhan dan meminta maaf atau mencabut pernyataan tentang temuan terkait promosi Ivermectin serta bisnis ekspor beras. Jika tidak, Moeldoko akan melaporkan ICW ke polisi.

Penjelasan ICW

Pengacara ICW, Muhammad Isnur, awalnya menjelaskan tentang pentingnya posisi ICW dalam konteks pengawasan roda pemerintahan. Hal ini penting karena beberapa waktu lalu, kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, sempat mempersoalkan hal tersebut.

Baca Juga  Banyak Pengalaman, Moeldoko Dinilai Layak Gantikan Jokowi Jadi Presiden

“Pemantauan terhadap kinerja pejabat publik dalam bingkai penelitian merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan banyak kesepakatan internasional. Jadi, bagi ICW, pendapat kuasa hukum Moeldoko jelas keliru dan menunjukkan ketidakpahaman terhadap nilai-nilai demokrasi,” kata Isnur melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (8/8).

Isnur menegaskan kajian ICW seperti halnya terkait Ivermectin bukan pertama kali dilakukan. Menurutnya, sejak ICW berdiri, penelitian, khususnya terkait korupsi politik, memang menjadi mandat berdirinya lembaga ini.

“Salah satu metode yang sering digunakan adalah pemetaan relasi politik antara pejabat publik dan pebisnis. Atas dasar pemetaan itu nantinya ditemukan konflik kepentingan yang biasanya berujung pada praktik korupsi. Maka dari itu, setiap ICW mengeluarkan kajian, salah satu desakannya juga menyasar kepada pejabat publik agar melakukan klarifikasi,” ucapnya.

“Kajian polemik Ivermectin sebagaimana yang dirisaukan oleh Moeldoko juga bukan produk satu-satunya ICW selama masa pandemi COVID-19,” tambahnya.

Sumber: detik.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan