Kategori
Politik

Aksi Mahasiswa: Aku Benci DPR, Aku Cinta Anya, Lengserkan Jokowi!

IDTODAY NEWS – Massa aksi dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang melakukan demo menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di Area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (20/10/2020), terus berdatangan.

Mereka datang dengan atribut yang menarik. Atribut itu terutama poster-poster yang kritis tapi sekaligus lucu.

Berdasarkan pantauan Suara.com di lokasi sekitar pukul 15.00 WIB, massa terus berdatangan ke area Patung Kuda. Mereka datang dengan berbagai atribut yang menarik.

Atribut tersebut mulai dari alamamater poster hingga spanduk-spanduk bertulis nada penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Salah satu yang menarik perhatian adalah satu poster yang dibawa massa.

Dalam poster itu dituliskan kalimat bahwa massa membenci para anggota DPR lantaran telah mengesahkan UU Omnibus Law Ciptaker.

Namun di lain sisi, kalimat suka cita disematkan kepada salah satu influencer ternama Anya Geraldine.

“AKU BENCI DPR! AKU CINTA ANYA. #lengserkanjokowi #6tahunJokowi,” tulis poster dibawa oleh mahasiswa.

Sementara massa terus menyemut di area Patung Kuda. Massa buruh juga sudah tampak berkumpul menyampaikan aspirasinya. Orasi demi orasi terus digemingkan oleh massa demonstrasi.

Adapun sebelumnya, Koordinator Aliansi BEM SI, Remy Hastian menyatakan ribuan mahasiswa ini datang dari seluruh Indonesia dan menuntut Presiden Jokowi untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan (Perppu).

“Aksi akan dilaksanakan pada Selasa, 20 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB dengan estimasi massa aksi sebanyak 5.000 mahasiswa dari seluruh Indonesia,” kata Remy, Senin (19/10/2020).

Mahasiswa juga menyayangkan sikap pemerintah yang menutup mata dan justru menantang masyarakat ke dalam pengadilan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

BEM SI mengecam tindakan pemerintah yang berusaha mengintervensi gerakan dan suara rakyat yang menolak UU Cipta Kerja.

“Juga mengecam berbagai tindakan represif aparatur negara terhadap seluruh massa aksi,” tegasnya.

Adapun terkait aksi hari ini, Remy mengimbau seluruh massa aksi untuk membekali diri dengan masker, face shield, hand sanitizer, dan obat-obatan pribadi mengingat demonstrasi akan dilakukan saat pandemi covid-19.

Sumber: suara.com

Kategori
Politik

Pelajar dalam Sengatan SKCK Pasca-aksi Demo Tolak Omnibus Law

IDTODAY NEWS – Usia anak-anak (pelajar) pada dasarnya didominasi oleh fase ingin tahu (curiosity). Soal tahu atau tidak. Pada usia-usia demikian, rasa penasaran dan ingin mencoba lebih “menggerayangi” pola pikir anak-anak.

Maka, pendekatannya lebih ke arah pembinaan dan pendidikan, bukan mengancam atau menghakimi mereka dengan nalar hukum. Hemat saya, inilah salah satu metode yang mungkin bisa didekati ketika berhadapan dengan kasus para pelajar yang ditangkap karena ikut dalam aksi demonstrasi tolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) kemarin.

Nasib pelajar yang ikut dalam massa demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) dibredel sanksi. Salah satu hukuman yang diberikan pihak kepolisian terkait pelajar yang ikut berdemo adalah menolak menerbitkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).

Selain menolak menerbitkan SKCK, sanksi yang diberikan kepada para pelajar adalah di-drop out dari sekolah. Sanksi ini diyakini bakal memberikan efek jera bagi para pelajar agar tak lagi ikut-ikutan dalam aksi demonstrasi di kemudian hari.

Potret realitas ini mengingatkan saya pada kasus penangakapan 10 orang anak di bawah umur di areal Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jawa Barat pada 2009 silam.

Kesepuluh anak ini ditangkap dan sempat mengalami situasi jeruji hanya gara-gara bermain judi koin. Nasib anak-anak ini pun mulai dilabeli. Mereka bahkan sempat diancam untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Ancaman yang sama juga diperlihatkan pihak kepolisian bagi para pelajar yang ikut berdemo menolak UU Cipta Kerja. Dalam peringatannya, pihak kepolisian akan menolak menerbitkan SKCK bagi para pelajar yang terlibat dalam aksi demo menentang UU Cipta Kerja.

SKCK merupakan salah satu bagian dari dokumen persyaratan dalam berbagai urusan instansi-kepemerintahan. Bahkan ketika hendak melamar sebuah pekerjaan, SKCK sangat dibutuhkan oleh pihak perusahaan.

Surat ini penting mengingat track record seseorang selalu menjadi salah syarat bagaiamana seseorang, kelompok atau sebuah institusi menilai kita. SKCK tidak lain adalah sertifikat masa depan. Bagaimana jika ditangguhkan pihak kepolisian?

Menurut Komisioner KPAI Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi, Jasra Putra, tindakan kepolisian menolak menerbitkan SKCK bagi para pelajar justru menghambat masa depan anak.

Ketika anak-anak diberi stigma dengan menolak menerbitkan lencana kelakukan baik dari sebuah institusi legal bernama kepolisian, hal ini justru membuat anak merasa tak bebas. Tindakan ini, juga sangat menghambat semangat anak-anak menggapai cita-cita di kemudian hari.

SKCK itu dianggap KPAI sebagai stigma yang ditempelkan kepada anak-anak sejak dini. Bahayanya, anak-anak mudah dilabeli dalam hidup pergaulan bersama. Ia merasa dirajam labeling dan menjadi minder ketika hendak masuk dalam sebuah perkumpulan atau bergabung dalam sebuah institusi pendidikan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur agar stigmatisasi dihindari dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

Jika UU berbicara demikian, seharusnya kepolisian menerbitkan surat peringatan atau teguran dengan level tertentu bagi para pelajar yang ikut bergabung dalam demo kemarin.

Jika memang pelajar terbukti melakukan pelanggaran ketika berdemo, pihak kepolisian bisa memberikan surat berupa teguran atau peringatan. Hal ini, hemat saya, mampu memberikan efek jera untuk anak. Ketika mereka menerima teguran dan peringatan dalam bentuk surat, ruang gerak mereka pun pelan-pelan akan dibenahi.

Anak-anak akan mengingat dan menimba pelajaran tertentu jika peringatan berupa surat diberikan. Cara ini sejatinya lebih baik dan mendidik ketimbang “mengancam” masa depan anak dengan menolak menerbitkan SKCK.

Apa yang terlewatkan dalam tindakan menolak menerbitkan SKCK adalah soal dimensi pendidikan dari sebuah kebijakan. Unsur pendidikan dalam hal ini hilang karena anak-anak langsung disekap dengan sebuah ancaman berbentuk hukum.

Bagaimana mungkin orientasi efek jera diupayakan melalui sebuah ancaman berbau hukum diterapkan untuk anak-anak? Penting diingat di sini bahwa strategi pendekatan dan pembinaan harus memperhitungkan level kedudukan seseorang dalam lingkungan sosial.

Jika masih anak-anak, pendekatan yang dipakai pasti berbeda daripada mereka yang secara usia sudah dikategorikan sebagai pelanggar hukum. Perbedaan ini menentukan cara dan arah kebijakan kita dalam mendidik dan menata hidup bersama.

Untuk kategori anak, cara yang dipakai seharusnya lebih pada pendekatan, mentoring, dan pembinaan. Tiga hal ini menjadi tahapan penting terutama dalam menumbuhkan sense of regulation dalam hidup anak-anak. Jika seorang anak didekati, rasa percaya dirinya semakin diasah.

Jika dirangkul, anak-anak merasa diperhatikan, dan jika dibina dengan cara yang baik, anak-anak pasti mau berubah. Hemat saya, inilah tahapan-tahapan pendekatan yang boleh diupayakan dalam mendulang efek jera berhadapan dengan anak-anak.

Bagi anak-anak, institusi kepolisian adalah bagian dari rumah pendidikan. Di dalam keluarga, seorang anak memang mengalami masa formasi sebuah pendidikan (karakter, kongnitif, psiko-motorik). Akan tetapi, terkadang tidak semua institusi keluarga mampu mendidik anaknya dengan cara yang baik.

Begitu juga dengan institusi pendidikan formal (sekolah). Tak semua guru mampu mengarahkan dan membuat transformasi dalam diri seorang anak.

Maka, kepolisian dalam hal ini bisa menjadi lembaga terakhir (the final institution) yang mampu mendidik dan membina seorang anak menjadi pribadi yang humanis di lingkungan sosial.

Jika kepolisian membuat pendekatan yang transformatif, tentu cara-cara yang dibuat bisa diterapkan di lingkungan institusi lainnya, seperti sekolah maupun keluarga.

Terhadap anak-anak (di bawah umur), kalkulasinya mungkin bukan efek jera seperti halnya pelaku kriminal atau pelanggar hukum lainnya. Orientasinya justru lebih pada pendidikan dan pembinaan.

Prospek utamanya tak lain soal mengarahkan anak-anak agar memahami dengan baik (sense of understanding) tindakan dan perilakunya dalam hidup bersama.

Pada usia-usia demikian (masa kanak-kanan dan masa anak-anak), problem yang dihadapai seputar tegangan antara tahu dan tidak. Mereka pun bergulat dalam lingkaran ingin tahu (curiosity).

Sumber: kompasiana.com

Kategori
Politik

Nurdin Abdullah, Teladan Gubernur Lain Ademkan Pendemo Omnibus Law

IDTODAY NEWS – Sejatinya saya tak terlalu tertarik membahas kisruh Omnibus Law akhir-akhir ini. Pada hemat saya, sejumlah demonstrasi menentang UU Cipta Kerja ini secara kualitas dipertanyakan karena tiga hal:

Pertama, mengapa memaksakan terciptanya kerumunan massa di tengah pandemi? Sejumlah pengamat kesehatan sudah mewanti-wanti, demonstrasi Cipta Kerja bisa jadi klaster baru “Cipta Covid-19”.

Kedua, terjadi sengkarut pemahaman soal pasal-pasal mana yang memang sungguh perlu digugat dan mana yang sejatinya perlu diapresiasi. Konon, draf UU Cipta Kerja pun ada beragam. Entah draf mana yang sempat dibaca para pendemo. Sempatkah para inisiator dan peserta demo menyimak draf UU yang kompleks ini?

Ketiga, nyatanya terjadi perusakan dan bentrokan fisik antara pendemo dengan aparat keamanan di sejumlah daerah. Beberapa kalangan bahkan menduga, sejumlah demonstrasi telah disusupi oknum tak bertanggung jawab.

Poin ketiga ini menandakan, kurangnya dialog intelektual antara DPR, pemerintah, perwakilan buruh dan nelayan, mahasiswa, dan aneka pemangku kepentingan lainnya.

Jika masih bisa dirundingkan, mengapa harus turun ke jalan? Jika belum paham substansi persoalan, mengapa nekat buat kerumunan dan meneriakkan tuntutan dan tuduhan asal-asalan?

Kontroversi UU Kejar Tayang

UU “Sapu Jagat” yang bertujuan, antara lain, mempermudah investasi ini memang sarat kontroversi. Banyak kalangan mengomentari, draf UU Cipta Kerja ini ibarat sinetron kejar tayang di tengah pandemi.

Konon pembahasan UU ini bahkan sampai dilakukan di hotel. Sangat wajar bila kalangan perwakilan buruh, nelayan dan juga kelompok masyarakat sipil, termasuk mahasiswa- meradang.

Nurdin Abdullah Orator Teladan

Terus terang, saya baru mencari tahu siapa sosok Nurdin Abdullah, sang Gubernur Sulawesi Selatan, setelah saya terpesona oleh caranya menenangkan massa pendemo Omnibus Law.

Ia tak gentar “menghadapi” pendemo Omnibus Law yang memadati Kantor Gubernur Sulsel, Senin (12/10/2020). Ia naik ke atas mobil untuk menanggapi aspirasi rakyatnya. Kata-kata sang gubernur tertata rapi dengan logika yang mudah dipahami rakyat biasa.

Memang benar, telanjur terjadi juga perusakan fasilitas publik oleh pendemo Omnibus Law di Sulawesi Selatan. Akan tetapi, berkat pesona pidato Nurdin Abdullah, kerusakan lebih luas dapat dicegah.

Bedah Omnibus Law secara Bernas

Saya yang tak terlalu paham detail Omnibus Law jadi tahu pokok-pokok UU Cipta Kerja ini setelah menyimak penjelasan Gubernur Nurdin Abdullah.

Prof. Dr. Ir. H. M. Nurdin Abdullah, M.Agr. membedah pokok-pokok kontroversi Omnibus Law dengan bernas.

Berikut transkrip garis besar orasi Nurdin Abdullah pada pendemo Omnibus Law di Kantor Gubernur Sulsel, Senin (12/10/2020):

“Kalian semua ini adalah agen perubahan untuk Indonesia. Saya bagian dari dunia pendidikan. Kebetulan diamanatkan jadi gubernur.

Saya percaya, banyak yang belum tahu isi Omnibus Law. Termasuk saya. Karena ini baru. Jadi ada versi macam-macam yang beredar.

Kalian pasti butuh lapangan kerja. Mengapa Indonesia terus jadi negara pengimpor bahan baku industri? Karena nggak ada (investor) yang mau masuk Indonesia? Karena birokrasi yang mahal dan panjang!

Siapa yang mau investasi ke sini (Indonesia)? Tidak ada kepastian. Maka, ini yang baiknya dulu. Selama ini ada 79 UU, 2.444 pasal yang menyusahkan investasi. Ini yang harus Anda pahami.

Memang ada pasal yang memang perlu kita usulkan untuk direvisi. (Tapi) sari-sarinya yang bagus (dari Omnibus Law) harus kita ambil.

Pertama, tidak ada cuti hilang. Pesangon malah dikuatkan. Yang tadinya perdata kalau tidak dibayarkan, sekarang pesangon pidana kalau tidak dibayarkan. Sekarang kita buat UMKM itu tidak ada lagi izin-berizin. Terus … nelayan kita. Tadinya ada sepuluh izin. Sekarang di Omnibus Law ini tinggal satu. KKP saja.

Jadi tolong kita sebagai orang intelektual, kita dengar, baca baik-baik. […] Saya akan kumpulkan tokoh-tokoh pendidik, masyarakat, dan serikat buruh. Kita akan duduk bersama membedah Omnibus Law ini. Kita lihat apa yang merugikan rakyat, itu akan kita usulkan untuk kita perbaiki,” jelasnya.

Massa bertepuk tangan mendengar penjelasan Nurdin.

“Jadi mohon, mari membaca Omnibus Law ini agar kita bisa memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan ke depan! Saya kira tidak ada sebuah negara pun yang ingin masyarakatnya sengsara.

Tetapi yakinlah bahwa ini akan menguntungkan adik-adik mahasiswa. Contoh, di masa pandemi, ada 6,9 juta pengangguran. Ada 3,5 juta yang dirumahkan. Angkatan kerja kita 3 juta tiap tahun. Ini membutuhkan lapangan kerja.

Jadi, saya akan bersama-sama adik mahasiswa untuk mengawal ini. Bapak Presiden (Jokowi) telah menyampaikan pada kami dalam ratas kemarin, “Silakan gubernur seluruh Indonesia memasukkan (koreksi) pasal-pasal yang merugikan”.

Massa kembali bertepuk tangan.

“Dalam minggu ini, saya akan menyampaikan usulan dari Sulawesi Selatan untuk perbaikan. Kita semua, adik-adik mahasiswa, punya semangat yang sama. Ingin Indonesia semakin maju ke depan,” pungkas politikus berusia 56 tahun itu.

Sosok Cerdas yang Bikin Adem Pendemo

Gubernur Nurdin Abdullah seorang gubernur cerdas dengan latar pendidikan berkualitas. Sebelum jadi gubernur, ia adalah Bupati Kabupaten Bantaeng dua periode.

Pada 15 Agustus 2016, Nurdin menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama dari presiden Joko Widodo sebagai apresiasi atas perannya dalam pembangunan masyarakat.

Di Indonesia tercinta, Nurdin Abdullah menjadi bupati pertama yang bergelar profesor. Ia adalah alumnus S1 Fakultas Pertanian dan Kehutanan di Universitas Hasanuddin (1986), S2 Master of Agriculture (1991) dan S3 Doctor of Agriculture (1994) di Universitas Kyushu Jepang.

Ada dua keunggulan pidato Nurdin Abdullah:

Pertama, pidato yang merangkul pendengar

Nurdin memuji para mahasiwa,”Kalian adalah agen perubahan Indonesia.” Alih-alih mencela demo, sang gubernur memuji peran positif mahasiswa. Nurdin juga berkali-kali menggunakan kata ganti inklusif “kita”. Dampaknya, pendengar merasa dilibatkan.

Kedua, pidato berbasis data

Secara gemilang Nurdin menyajikan data-data jumlah pengangguran dan hambatan investasi pada para pendemo. Tampak jelas bahwa Nurdin sangat menguasai data-data sebagai basis orasi politiknya yang edukatif.

Wasana Kata

Pada hemat saya, Nurdin Abdullah dapat menjadi teladan gubernur dan politikus lain dalam membuat adem para pendemo (Omnibus Law). Tentu saya tidak bermaksud mengecilkan kemampuan para gubernur dan politikus lain.

Yang patut kita apresiasi dari Nurdin Abdullah adalah bahwa ia menunjukkan tiga kualitas sekaligus: pertama, keberaniannya menerima aspirasi rakyat secara langsung; kedua, kelihaiannya merangkul masyarakat; dan ketiga: penguasaan topik yang istimewa.

Terus terang, tiga kualitas ini tidak selalu tersua dalam diri sejumlah politikus negeri kita tercinta. Tak semua gubernur dan kepala daerah punya nyali serta kecerdasan intelektual dan emosional yang memadai untuk menghadapi pendemo dalam situasi genting.

Jujur, kita perlu lebih banyak sosok politikus yang berintegritas, cerdas dan berkelas. Semoga gubernur dan kepala daerah Anda juga berkualitas!

Sumber: kompas.com

Kategori
Politik

Rakyat Demo Tolak UU Ciptaker, PGI: Jokowi Seharusnya Tak Menghindar

IDTODAY NEWS – Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) meminta Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan membuka dialog dengan masyarakat yang menolak karena kondisi sudah tidak terkendali.

Humas PGI Philip Situmorang menilai pengesahan UU Cipta Kerja ini dilakukan disaat yang tidak tepat mengingat kondisi masih pandemi COVID-19 yang membuat gerak masyarakat terbatas sehingga tak bisa maksimal berpartisipasi mengawal.

“PGI meminta Presiden Jokowi untuk menahan pemberlakuan UU Cipta Kerja ini guna meneduhkan suasana kebangsaan yang memanas, serta membuka dialog kebangsaan dengan berbagai tokoh bangsa, maupun segmen-segmen masyarakat yang sungguh terimbas oleh implementasi UU Cipta Kerja,” kata Philip kepada wartawan, Jumat (9/10/2020).

Dalam hal ini PGI juga meminta para demonstran agar bisa menahan diri saat menyampaikan aspirasi untuk menghindari pecahnya kerusuhan yang merusak fasilitas umum.

“PGI mendukung semua ekspresi demokrasi dalam penyampaian pandangan dan keberatan yang mendukung maupun menolak pemberlakukan UU Cipta Kerja ini. Kami percaya bahwa semua ekspresi ini dilandasi oleh sikap cinta pada negeri ini,” jelasnya.

Philip menyebut PGI mengamati dan menyimpulkan bahwa proses pembahasan RUU Omnibus Law ini, hingga penetapannya menjadi Undang-undang Cipta Kerja, dilakukan dalam situasi yang tidak tepat, mengingat energi bangsa ini sementara terkuras untuk mengelola Pandemi Covid-19 beserta semua dampaknya.

“Berkembangnya gelombang protes hingga penolakan menjadi bukti bahwa terhadap produk undang-undang yang sangat sensitif bagi keberlangsungan hidup banyak orang ini, proses partisipatif tidak berlangsung baik selama perumusan dan penetapannya sehingga mencederai pemenuhan rasa keadilan bersama,” pungkasnya.

“Atas reaksi penolakan yang masif terjadi di seluruh Indonesia, sudah seharusnya Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak menghindar dan membuka ruang dialog yang seluas-luasnya,” ujarnya.

Sumber: suara.com