Kategori
Ekonomi

Ekonomi Indonesia Tahun 2020 Terburuk Sejak 1998? Ini Penjelasannya

IDTODAY NEWS – Badan Pusat Statistik merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020.

Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau tumbuh minus sebesar -2,07 persen akibat terdampak pandemi Covid-19.

“Jadi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV untuk qtoq terkontraksi 0,42 persen dan yoy minus 2,19 persen. Secara kumulatif (tahun 2020) terkontraksi 2,07 persen,” jelas Kepala BPS, Suhariyanto ketika memberikan paparan kinerja PDB, Jumat (5/2/2021).

Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 adalah kontraksi pertama kali sejak krisis moneter tahun 1998 silam.

“Dengan demikian, sejak tahun 1998, untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi,” ujarnya.

Namun menurut Suhariyanto, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang perekonomiannya mengalami kontraksi. Ia pun mengatakan, banyak negara di dunia yang mengalami tren sama, kecuali China yang sudah tumbuh positif 6,5 persen di kuartal IV-2020.

Kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1999 pasca krisis moneter pada tahun 1998.

“Faktor yang mendominasi kontraksi adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Penurunan aktivitas ekonomi mendorong penurunan produktivitas dari sisi produksi terutama sektor manufaktur, perdagangan, juga konstruksi,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (3/2).

Meski memang berada di zona negatif, perekonomian Indonesia tak lebih buruk daripada perekonomian negara-negara lain. Mengingat, tingkat keketatan respons pemerintah (stringency) dalam penanganan isu kesehatan ini relatif lebih longgar.


Ke depan, Josua memperkirakan pertumbuhan ekonomi sudah kembali ke zona positif pada tahun 2021. Prediksinya, pertumbuhan ekonomi bisa berada di kisaran 3% yoy hingga 4% yoy.

Baca Juga: ‘Serang’ Anies usai Dinobatkan Pahlawan Transportasi Dunia, Ferdinand: Anies Tak Bangun Apa-apa

Sumber: kompas.tv

Kategori
Ekonomi

Tahun 2020 Ekonomi Indonesia Minus 2,07 Persen

IDTODAY NEWS – Catatan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 telah dirangkum oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di mana, secara kumulatif Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi.

Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan, perekonomian Indonesia berbeda dengan sejumlah negara lainnya yang pada Triwulan IV sudah berangsur membaik, namun dalam skala yang lemah.

“Banyak indikator yang bisa dilihat, salah satunya indeks Purchasing Managers Index atau PMI yang menunjukkan penguatan di Oktober, namun kembali melemah November dan Desember,” ujar Suhariyanto dalam jumpa pers virtual yang disarkan kanal Youtube BPS, Jumat (5/2).

Suhariyanto menyebutkan, beberapa negara yang mengalami perbaikan pertumbuhan ekonomi positif pada triwulan IV dibanding triwulan sebelumnya (q to q), beberapa di antaranya seperti China yang tumbuh 6,5 persen dan Vietnam 4,5 persen.

“Tetapi negara mitra dagang lainnya, misalanya Amerika yang merupakan tujuan eksor kedua Indonesia pertumbuhan ekonominya triwuan keempat masih mengalami kontraksi 2,5 persen, Singapura kontraksi 3,8 persen, begitu juga Korea Selatan (-1,4), Hongkong (-3,0) dan Uni Eropa (-4,8),” paparnya.

Namun di Indonesia, lanjut Suhariyanto, erekonomannya masih mengalami kontraksi, baik secara bulanan (q to q), secara tahunan (y on y) maupun secara kumulatif.

Hal ini, kata Suhariyanto, disebabkan ada sepuluh sektor ekonomi yang masih mengalami kontraksi, tapi tidak sedalam pada kuartal sebelumnya.

Sebagai contoh, Suhariyanto menyebutkan pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan, yang pada triwulan II sektor ini mengalami kontraksi 30,80. Tapi, pada triwulan IV menunjukkan arah pemulihan -13,42 persen.

“Secara (q to q) (pertumbuhan ekonomi Indonesia) mengalami kontraksi sebesar 0,42 persen, dan (y on y) dibanding triwulan IV 2019 mengalami kontraksi sebesar 2,19 persen,” ungkap Suhariyant”Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019 mengalami kontrakasi sebesar 2,07 persen,” tambahnya.

Baca Juga: Aktivis: Nadiem Sangat Tidak Kredibel Jadi Mendikbud

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Target Ekonomi Tumbuh 5,5 Persen hanya Angin Surga dari Pemerintahan Jokowi

IDTODAY NEWS – Ekonom Senior Rizal Ramli menegaskan bahwa target ekonomi pulih hingga tumbuh di angka 5,5 persen hanya angin surga semata dari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin di 2021 ini.

Ekonom senior Rizal Ramli mengurai kesalahan penanganan ekonomi di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini.

Mengawali catatan kesalahan Jokowi yang disampaikan di kanal youtube UI Watch, Rizal Ramli menegaskan bahwa target ekonomi pulih hingga tumbuh angka 5,5 persen hanya angin surga semata.

Alasannya, sebelum masa pandemi virus corona baru (Covid-19) hanya 5.1 persen.

“Itu cuma angin sorga. Tahun ini tidak mungkin ekonomi Indonesia pulih sampai 5,5 persen. Kok bisa covid masih naik masih meningkat udah janjiin angin sorga 5,5 persen,” kata Rizal Ramli, dilansir dari UI Watch.

Rizal Ramli mengatakan bahwa krisis saat ini jauh lebih berat jika dibandingkan saat tahun 1998.

Kala itu, masyarakat di luar Pulau Jawa justru senang saat krisis karena saat rupiah anjlok menjadi Rp 15 ribu, para petani kopra, sawit dan cokelat langsung mendapatkan berkah.

Saat ini kondisinya berbeda, Rizal Ramli menjelaskan bahwa tidak ada lagi ekses kapasitas dibidang komoditi luar Jawa.

“Sehingga, ya kan kondisinya akan jauh lebih parah daripada tahun 98. Rupiah anjlok dari Rp 2.500 per dolar menjadi Rp 15 ribu. Jadi petani kopra, petani sawit, petani cokelat tiba-tiba jadi sangat kaya raya di luar Jawa,” demikian analisa mantan Kepala Bulog itu.

Kesalahan berikut, di era Jokowi utang negara membengkak luar biasa. Rizal Ramli mencatat, selama 6 tahun pemerintahan Jokowi setiap tahunnya tanggungan utang selalu bertambah.

Imbasnya, untuk membayar bunga utang saja menyentuh di angka Rp 345 triliun.

“Selama 6 tahun itu, terjadi apa yang disebut sebagai primary balancenya negatif. Artinya neraca primer negatif.untuk bayar bunga misal tahun ini Rp 345 T bunganya doang itu harus minjam lagi ,” urai Rizal Ramli.

Rizal Ramli menjelaskan bahwa untuk membayar utang pemerintah harus menyedot uang. Teknisnya, dengan menerbitkan surat Utang negara (SUN).

“SUN ini bunganya 2 persen lebih tinggi dari deposito dan dijamin 100 persen. Jadi di Bank yang dijamin hanya Rp 2 miliar per nasabah. Kalau di SUN berapa triliun aja dijamin,” demikian analisa RR.

Akibat dari penerbitan SUN, jelas Rizal Ramli uang di masyarakat yang ada di Lembaga Keuangan seperti BANK dari orang kaya disedot ke SUN.

“Itulah yang menjadikan kenapa bulan September dan Oktober tahun lalu pertambahan kredit itu negatif 1 persen ya,” jelasnya.

“Ini belum pernah terjadi sejak tahun 98. Bahasa sederhananya, uang yang beredar aja disedot, kok ngarepin ekonomi pulih,” tambah Rizal Ramli.

Kesalahan keempat, Rizal Ramli menjelaskan bahwa selama pandemi Covid-19, tidak ada prioritas dalam kebijakan Jokowi.

Kategori
Politik

Jokowi Tegaskan Mulus Lewati Pandemi Kunci RI Jadi Negara Maju

IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo optimistis tahun ini adalah kebangkitan Indonesia dari keterpurukan. Selama hampir 11 bulan melewati masa pandemi COVID-19, tahun 2021 disebutkan oleh Presiden sebagai momentum.

“Tahun 2021 adalah momentum kita untuk bangkit. Dan itu tergantung pada kemampuan kita melewati masa-masa sulit karena pandemi,” kata Jokowi lewat akun Instagram miliknya, Senin 25 Januari 2021.

Jokowi bilang, jika saja kita dapat melewati krisis ini dengan baik, maka Indonesia mampu menjawab tantangan selanjutnya.

“Dan bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi baru, semakin tangguh, dan menjadi negara maju,” ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan, hari ini, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan, rasa syukurnya lantaran Indonesia tergolong masih bisa mengendalikan krisis selama pandemi COVID-19. Menurut dia, pengendalian itu sebetulnya belum sepenuhnya selesai.

Dia menyinggung dua krisis yakni di sektor kesehatan dan ekonomi sehingga perlu adanya kewaspadaan dan kesiapsiagaan.

“Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik. Tetapi, permasalahan belum sepenuhnya selesai,” kata Jokowi dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja (PGI) di Indonesia, Senin, 25 Januari 2021.

BACA: Ekonom Senior Rizal Ramli: Jangan Mimpi Ekonomi Pulih dengan Model Kepemimpinan Jokowi

Sumber: viva

Kategori
Ekonomi

Target Ekonomi 2020 Sering Direvisi, Ternyata: Tumbuh 0% Saja Tidak

IDTODAY NEWS – Harapan pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi 0% pada tahun 2020 sudah tinggal kenangan. Apalagi pertumbuhan positif, hanya angan-angan belaka. Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan prediksi terbarunya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020: berada di rentang kontraksi 2,2 sampai 1,7 persen.

Sebagai perbandingan pada Mei-Juni 2020 lalu, pemerintah masih optimistis tahun 2020 Indonesia bisa di atas 0%, alias positif. Kemudian ekspektasi turun menjadi setidaknya bisa tumbuh 0% pada September-Oktober 2020.

Tak hanya Kemenkeu, lembaga dunia lain yaitu Asian Development Bank (ADB) juga merevisi prediksinya. Pada Mei-Juni 2020, ADB masih yakin Indonesia bisa tumbuh 1% pada 2020, tetapi berubah pada Desember 2020 menjadi kontraksi 2,2%.

Bank Dunia juga sama dari yakin Indonesia bisa tumbuh 0% pada 2020 (Mei-Juni), menjadi kontraksi 2,2% (Desember). Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga mematok pertumbuhan Indonesia tahun 2020 di kontraksi 2,2% per Desember.

Prediksi Kemenkeu paling mutakhir, dilandasi sejumlah estimasi pada pertumbuhan pengeluaran Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga masih akan terkontraksi 2,7 sampai 2,4%. Konsumsi pemerintah kontraksi 0,3 sampai positif 0,3%.

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) kontraksi 4,5% sampai 4,4%. Ekspor terkontraksi 6,2% sampai 5,7% dan impor terkontraksi 15% sampai 14,3%.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan pertumbuhan ekonomi RI memang tak terelakan akan semakin menjauhi posisi 0%. Pada tahun 2020 sendiri, pertumbuhan Indonesia bisa mencapai kontraksi 2%, alias semakin mepet ke batas bawah.

Penyebabnya, jauhnya ekspektasi yang terjadi selama kuartal terakhir atau Q4 2020. Faisal bilang konsumsi masyarakat pada Q4 2020 masih terpuruk padahal komponen ini memegang porsi 57,31% alias paling utama dalam struktur PDB Indonesia.

“Kondisi terakhir Q4 banyak di bawah ekspektasi terutama konsumsi. Jadi pertumbuhan bakal lebih rendah,” ucap Faisal kepada reporter Tirto saat dihubungi, Selasa (22/12/2020).

Data Indeks Penjualan Riil (IPR) terus menunjukan penurunan mengindikasikan konsumsi masyarakat masih belum pulih. Nilainya memburuk dari kontraksi 8,7% pada September, menjadi kontraksi 14,9% pada Oktober. Selanjutnya, November diperkirakan akan semakin memburuk menjadi kontraksi 15,7%.

Inflasi inti yang mengukur daya beli juga terus menurun. Per November 2020 inflasi inti year on year (yoy) menurun ke 1,67%. Lebih rendah dari 1,74% (Oktober 2020). Alias melanjutkan pelemahan yang sudah terjadi sejak bulan Maret 2020.

Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada November 2020 memang sudah naik ke angka 50,6 pertanda industri mulai kembali berekspansi. Namun, IHS Markit menilai, ekspansi ini terbatas karena bukan disebabkan adanya peningkatan permintaan. Sebaliknya, perusahaan hanya menyelesaikan sisa pesanan bulan-bulan sebelumnya.

Pelemahan berbagai indikator ini, kata Faisal, juga terkait dengan buruknya penanggulangan COVID-19. Kasus harian meningkat di atas 6.000-an per hari per Desember 2020. Masih tingginya kasus COVID-19 tentu sedikit banyak berdampak pada niat masyarakat untuk melakukan konsumsi.

Situasi kemudian diperparah saat pemerintah kembali memutuskan pembatasan di akhir tahun. Antara lain pemberlakuan syarat rapid antigen perjalanan antar kota, sampai pembatasan operasional mall-restoran mirip PSBB September 2020 lalu. Liburan akhir tahun 2020 yang ditunggu-tunggu pun diyakini tak bakal mampu memberi dorongan yang cukup bagi perekonomian.

Terakhir, realisasi belanja pemerintah juga masih belum maksimal. Misalnya Belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digadang-gadang bakal memberi dorongan pertumbuhan baru mencapai Rp483,62 triliun atau 69,6% dari total pagu Rp695,2 triliun per 14 Desember 2020. Total anggaran penanganan COVID-19 di daerah juga sama lambannya hanya terealisasi Rp35,37 triliun atau 48,8% dari total Rp72,45 triliun.

Tumbuh 5% di 2021, Masuk Akalkah?

Melihat tren Q4 dan 2020 ini, ia bilang kondisi yang sama juga bakal menimpa prediksi 2021 sehingga target pertumbuhan 5% juga tak akan tercapai. Prediksi CORE untuk 2021 nanti menyatakan paling rendah pertumbuhan ekonomi RI bisa tersungkur di 3%.

Kategori
Ekonomi Politik

Tak Adil Bandingkan Ekonomi RI dengan Malaysia dan Singapore, Rizal Ramli: Rakyatnya Tiga Kali Lebih Sejahtera dari Kita

IDTODAY NEWS – Ekonom senior, Dr. Rizal Ramli tidak sependapat dengan Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Erick Thohir yang membandingkan bahwa Indonesia belum dapat dikatakan resesi walaupun perekonomianya minus 5,32 persen.

“Tidak adil kalau kita bandingkan (ekonomi Indonesia) dengan Singapura dan Malaysia,” kata RR saat menjadi pembicara talk show Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk “Jurus Selamat dari Resesi ala Rizal Ramli”, Jumat (21/8).

Mengapa dikatakan tidak adil, karena rakyat di Singapura dan Malaysia memiliki tingkat kesejahteraan tiga kali lipat dibandingkan dengan rakyat Indonesia.

“(Pendapatan rata-rata rakyat) Singapura itu sudah 57 ribu USD, kita hanya 4 ribu USD, sementara Malaysia 11 hingga 12 ribu USD,” ungkap dia.

“Jadi tidak adil kalau kita bandingin Indonesia dengan Malaysia dan Singapura,” tukas RR menekankan.

Dia menjelaskan, mengapa perekonomian Singapura saat ini minus alias anjlok di angka 16,5 persen, itu lantaran Singapura sangat bertantung kepada ekspor. Singapura, tingkat ekspornya tinggi yakni sebesar 175 persen dibandingkan dengan GDP.

“Jadi kalau ekonomi dunia anjlok, dia (Singapura) anjlok abis, tapi kalau nanti pertumbuhan ekonomi dunia bangkit, dia bangkitnya lebih cepat,” papar Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.

Sementara Indonesia, masih dikatakan RR, tingkat ekspor kurang dari 20 persen dari GDP.