Kategori
Politik

Penangkapan Mahasiswa UNS Bukti Jokowi Tak Paham Makna Demokrasi

IDTODAY NEWS – Penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (13/9), membuat yakin publik akan kemerosotan demokrasi Indonesia di kepemiminan Presiden Joko Widodo.

Begitu penilaian Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/9).

“Saya kira situasi ini (penangkapan mahasiswa UNS) karena Presiden Jokowi tidak paham makna demokrasi,” ujar Gde Siriana.

Kejadian penangkapan yang dilakukan aparat kepada 10 mahasiswa UNS saat menyampaikan aspirasinya menggunakan poster, dinilai Gde Siriana, seharusnya tidak terjadi.

Karena sepatutnya Kepala Negara mendengarkan dan bukan mengerahkan aparat di Jalanuntuk membuat kondusif masyarakat. Di samping itu, kejadian ini juga terulang setelah sebelumnya dialami pria peternak unggas saat Jokowi kunjungan kerja ke Blitar

“Ketidakpahaman demokrasi ini juga dilihat dari giant koalisi di kabinet, sehingga check and balance di DPR jadi tidak ada atau tidak efektif,” tutur Gde Siriana.

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini menambahkan, kepemimpinan politik yang tidak memahami demokrasi yang berjalan di nearanya sama saja dengan kegagalan pemerintahan.

“Jadi enggak pernah nyambung dengan apa yang dituntut rakyat dan mahasiswa,” demikin Gde Siriana Yusuf.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Gde Siriana: Daya Tahan Rakyat Hadapi PPKM Bergantung pada Kemampuan Pemerintah

IDTODAY NEWS – Daya tahan rakyat menghadapi pandemi Covid19, terutama mematuhi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, amat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam memberikan makanan dan insentif uang.

Begitu tegas Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf saat berbincang cengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Selasa (10/8).

Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan makanan kepada seluruh warga, baik yang miskin dan kaya, dengan memenuhi kecukupan kalori selama PPKM diberlakukan.

Sementara faktanya, sebuah keluarga yang berjumlah 4 hingga 5 orang hanya mendapat sekali paket sembako untuk 3 minggu. Padahal mereka tidak boleh keluar rumah untuk bekerja mencari uang.

“Apakah paket sembako senilai Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu manusiawi untuk kebutuhan makan 4 hingga 5 orang selama 3 minggu?” tanyanya.

Kedua, warga juga perlu insentif usai PPKM, yaitu insentif konsumsi untuk warga miskin dan insentif usaha untuk UMKM, yang digunakan untuk konsumsi dan produksi setelah PPKM berakhir.

“Insentif konsumsi sekitar Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per keluarga. Ini akan bantu daya beli warga usai PPKM,” sambungnya.

Dengan dua jenis bantuan yang memadai dari pemerintah, Gde Siriana yakin rakyat akan merasa senang walau pemerintah menerapkan PPKM.

Sebaliknya jika pemerintah tidak mampu atau tidak mau memenuhi kebutuhan warga tersebut, maka bisa dipastikan warga tidak akan tahan menjalani PPKM.

Di sisi lain PPKM merupakan opsi terbaik untuk cegah penularan virus. Tetapi jika opsi ini tidak mendapatkan dukungan anggaran yang semestinya maka menjalankan opsi ini setengah hati akan tidak efektif.

Analoginya, sambung Gde Siriana, saat suatu pulau terbakar, maka satu-satunya jalan menyelamatkan warga pulau adalah evakuasi ke pulau terdekat dengan menyebarang sungai.

Maka yang perlu disediakan pemerintah adalah perahu sebanyak mungkin untuk evakuasi.

“Tapi jika rakyat disuruh berenang ya tentu rakyat banyak yang memilih bertahan di pulau. Endingnya, warga banyak mati, karena bertahan di pulau dan hanyut di sungai,” tutupnya mengakhiri.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Gde Siriana: Pengangguran Sudah jadi Komorbid Jauh sebelum Covid-19

IDTODAY NEWS – Meningkatnya kasus kematian akibat Covid-19 tak bisa dipandang sepele. Apalagi, tingginya angka kematian diikuti dengan peningkatan kasus terkonfirmasi positif.

Melihat pola penanganan Covid-19 ini, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf menduga, ada hal yang sedang dikejar pemerintah di luar tujuan utama menyelamatkan masyarakat dari ancaman wabah.

“Pemerintah sepertinya fokus untuk mencapai rasio-rasio pengendalian pandemi yang ditetapkan WHO, tetapi di sisi lain mengabaikan upaya pencegahan kematian lebih banyak,” kritik Gde Siriana saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (4/8).

Tak hanya itu, pemerintah juga cukup kentara lebih mengutamakan sektor ekonomi dibanding penyelamatan rakyat. Padahal, pencegahan kematian akibat Covid-19 harusnya bisa digalakkan melalui penambahan testing dan tracing.

“Kebijakan tergesa-gesa yang ingin mengejar sektor ekonomi, sementara masih banyak orang meninggal akibat Covid-19 tidak bisa menjanjikan hasil yang besar di sektor ekonomi,” jelasnya.

Bicara masalah ekonomi, aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini mengklaim sudah terjadi sejak periode pertama Presiden Joko Widodo, bukan hanya saat pandemi Covid-19.

Pengangguran dan pengeluaran konsumsi seakan menjadi masalah klasik yang tak kunjung beres.

“Perekonomian rezim infrastruktur yang bertumpu pada utang belum mampu tumbuh di atas 5%. Stagnasi ekonomi ini menjadi komorbiditas, penyakit bawaan yang akan memperburuk dampak pandemi,” tandasnya.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Jokowi Tak Yakin Lockdown Bisa Tangani Pandemi, Gde Siriana: Cara Berpikir Terbalik!

IDTODAY NEWS – Alasan pemerintah yang lebih memilih menerapkan PPKM Darurat daripada lockdown dipaparkan Presiden Joko Widodo.

Jokowi menganggap, strategi karantina wilayah atau lockdown tidak menjamin penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat bisa dikendalikan.

Sehingga PPKM Darurat dia anggap sebagai strategi terbaik untuk menekan laju penularan virus, yang juga diperuntukkan memperbaiki kondisi perekonomian domestik.

Penjelasan Jokowi tersebut dianggap aneh oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies, Gde Siriana Yusuf.

“Cara berpikir Jokowi terbalik,” ujar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (30/7).

Menurut Gde Siriana, cara berpikir terbalik Jokowi yang begitu justr akan membuat pandemi Covid-19 di dalam negeri tidak pernah bisa ditangani sampai tuntas.

Berdasarkan pengamatannya terhadap strategi kebijakan di negara lain, lockdown justru dapat secara cepat menekan munculnya kasus positif baru, juga kematian akibat infeksi Covid-19 dan terjadinya kolaps rumah sakit.

“Kuncinya lockdown dua sampai tiga minggu. Artinya virus pada tubuh masyarakat sudah mati, kasus baru akan bisa segera dilokalisir ketika masih sangat sedikit,” paparnya.

Selain itu, strategi lockdown juga mensyaratkan adanya pengawasan lebih lanjut di daerah yang melaksanakan, termasuk soal pembatasan orang masuk dan ke luar wilayah tersebut.

“Maka pengawasan ketat di perbatasan, agar virus dari luar wilayah tidak masuk, menjadi kunci keberhasilan,” tandasnya.

Penjelasan Presiden Jokowi terkait alasan menerapkan PPKM Darurat disampaikan dalam acara Pemberian Banpres Produktif Usaha Mikro, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (30/7).

Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyatakan bahwa saat dilaksanakannya PPKM Darurat sejak 3 Juli hingga 20 Juli masyarakat sudah menjerit, sehingga ia menilai PPKM Darurat sama dengan semi-lockdown.

“Kalau lockdown bisa kita bayangkan! Dan (lockdown) belum bisa menjamin juga masalah (penyebaran virus Covid-19) selesai,” ujar Jokowi.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

PPKM Darurat Tidak Efektif, Harusnya Lockdown Total, Bukan Malah Dilonggarkan

IDTODAY NEWS – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat belum terbukti efektif mengendalikan penularan Covid-19, dan memberikan pelayanan yang optimal di rumah sakit.

“Kok ini malah mau dilonggarkan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf menanggapi rencana pelonggaran PPKM pada 26 Juli, Sabtu (24/6).

Rencana pemerintah melakukan pelonggaran, misalnya di pasar tradisional, dinilai sulit dilakukan pengawasan.

“Pelonggaran-pelonggaran tertentu seperti di pasar tradisional, dibuat ada perbedaan jam operasi antara pedagang kebutuhan sehari-hari dengan pedagang lain, juga warung makan di tempat terbuka boleh makan di tempat asal tidak lebih 30 menit, menurut saya akan sangat sulit pengawasannya. Apakah pemda mampu mendeteksi siapa yang duduk makan sudah lebih 30 menit?” ujar Gde Siriana.

Menurutnya, jumlah kasus yang sempat menurun tidak tepat dijadikan indikator untuk lakukan pelonggaran. Jelas dia, turunnya kasus karena jumlah pemeriksaan spesimen yang turun.

“Secara nasional juga jumlah testing masih di bawah ketentuan WHO. Bahkan di luar DKI Jakarta jumlah testing sangat rendah. Ini tentunya berhubungan dengan kasus meningkat terus di 5 propinsi di pulau Jawa selain DKI,” terang Gde Siriana.

Indikator lainnya yang perlu perhatian adalah jumlah kematian yang terus meningkat meski kasus yang dilaporkan turun. Secara nasional, tingkat kematian ini masih jauh di atas ketentuan WHO sebagai tanda penularan sudah dapat dianggap terkendali.

“Ini berhubungan dengan kasus aktif, semakin bertambah maka beban Rumah sakit makin berat, dan yang isoman juga tidak termonitor,” kata Gde Siriana.

Adapun ekonomi masyarakat benar harus begerak lagi, tapi apakah ini sudah waktunya. Menurut hemat Gde Siriana, perlu mendengarkan pandangan ahli kesehatan atau epidemiolog dengan pelonggaran ini apakah beresiko menambah kasus atau tidak.

“Misalnya, menurut ahli, berkumpulnya orang makan meski 30 menit, apakah akan mudah tertular karena org makan tidak mungkin pakai masker,” imbuhnya.

Gde Siriana menegaskan, PPKM Darurat dipilih karena selama ini masyarakat rendah dalam mematuhi prokes. Tapi dengan adanya rencana pelonggaran, ini menunjukkan spertinya pemerintah sudah percaya dengan masyarakat akan mentaati prokes.

“Saya khawatir pelonggaran-pelonggaran yang belum waktunya akan dipahami berbeda di bawah, dan kesulitan dalam pengawasannya. PPKM Level 4 pun sudah kehilangan “aroma darurat”-nya,” kata Gde Siriana.

Jadi bagaimana solusi terbaik, Gde Siriana kembali mengusulkan harus dilakukan lockdown total, karena PPKM Darurat terbukti tidak efektif.

“Tidak bisa tidak, pemerintah harus cari solusi untuk cukupi anggaran yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup sehari-hari, insentif nakes dan fasilitas RS. Jangan lagi berpikir mau kasih setengah-setengah karena takut rugi. Sekarag harus berpikir bagaimana mencegah kerugian yang lebih besar lagi,” tutup dia.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Testing Covid-19 Menurun, Akal-akalan Pemerintah Untuk Longgarkan PPKM?

IDTODAY NEWS – Tidak tepat jika Presiden Joko Widodo memakai angka penurunan kasus Covid-19 sebagai alat evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Pasalnya, kata Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, kasus Covid-19 belakangan memang turun. Tetapi, angka tersebut diperoleh saat jumlah spesimen yang diuji juga turun.

“Sesungguhnya penurunan kasus positif akibat turunnya jumlah spesimen yang diperiksa. Alasannya hari-hari libur,” ukar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (22/7).

Selain itu, kata Gde, Presiden Jokowi tidak memperhatikan angka kematian akibat Covid-19 yang belakangan juga mengalami lonjakan cukup tinggi.

“Tingkat kematian Covid-19 yang terus bertambah, lebih dari 1.200-1.300 orang meninggal di saat angka kasus positif dikatakan menurun,” katanya.

Menurutnya, justru yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menambah angka testing untuk memaksimalkan tracing pada orang-orang yang berpotensi terpapar Covid-19.

Dia tidak ingin penurunan jumlah testing ini hanya sebagai alasan untuk menjaga perekonomian dan alasan untuk melonggarkan PPKM.

“Bukannya ngakali angka kasus positif demi tujuan lain. Misalnya agar indeks saham tidak turun, atau dijadikan alasan untuk melonggarkan PPKM,” pungkasnya.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Manajemen Kabinet Kusut, Bubarkan Saja Kabinet Jokowi

IDTODAY NEWS – Kerja hingga koordinasi menteri Kabinet Indonesia Maju dalam menghadapi hantaman virus Covid-19 dinilai kusut oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf.

“Ketidaksinkronan menteri-meneteri Jokowi semakin membuat rakyat bingung,” ujar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (17/7).

Sebagai contoh, Gde Siriana menyebut wacana perpanjangan PPKM Darurat yang disampaikan Menko PMK, Muhadjir Effendy, justru bertolak belakang dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan perpanjangan PPKM Darurat bakal mempersulit ekonomi masyarakat.

“Saat rakyat susah ekonomi karena PPKM Darurat, dan jaga imunitas agar tidak tertular atau sembuh saat isoman, ucapan-ucapan pemerintah justru bikin rakyat tambah stres,” ungkapnya.

Ketidaksesuain ucapan dua orang Menko itu, menurut Gde Siriana, adalah bukti kekacauan kabinet. Bahkan katanya, rencana pemerintah mengumumkan perpanjangan PPKM hari ini semakin memperjelas pola koordinasi kementerian/lembaga yang tidak efektif.

Yang membuat Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini semakin miris melihat manajemen pemerintahan Presiden Jokowi adalah ketika melihat menteri yang lempar tanggung jawab.

“Misalnya ucapan Menkes (Budi Gunadi Sadikin) yang membuka soal ide vaksin berbayar adalah ide Menko Airlangga. Ini tanda bahwa dalam situasi darurat menteri-menteri cari selamat sendiri,” ucapnya.

Selain itu, Gde Siriana juga menyoroti soal kicauan Menko Mahfud MD di akun Twitter pribadinya yang menceritakan kegiatannya menonton dinetron Ikatan Cinta di saat PPKM Darurat.

“Ini tentu saja melemahkan semangat para Polisi dan TNI yang berjaga di titik pengawasan PPKM berpanas-panasan di jalan menghadapi rakyat yang protes,” imbuhnya.

Maka dari itu, Gde Siriana berkesimpulan kabinet Presiden Jokowi di periode keduanya sekarang sudah tidak bisa diharapkan bekerja baik di tengah krisis pandemi Covid-19.

“Tidak mampu membuat keputusan yang tepat, tidak mampu menenangkan rakyat, tidak mampu memberikan semangat masyarakat,” tandasnya.

Sumber: rmol.id