Kategori
Hukum

Inilah Alasan MK Larang Kampanye di Tempat Ibadah

IDTODAY NEWS – Aturan larangan kampanye diubah Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya mengenai penggunaan tempat ibadah yang termuat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tentang Pemilu.

Putusan MK tersebut disampaikan Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang putusan Perkara Nomor 65/PUU/-XXI/2023, yang dikutip redaksi dari kanal YouTube MK, Rabu (16/8).

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ucap Anwar.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, dua Pemohon perkara yaitu Handrey Mantiri dan Ong Yenni, mendalilkan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu telah membatasi mereka mengikuti kampanye, kecuali di tempat ibadah.

Berdasarkan dalil itu, MK mempertimbangkan mengubah bunyi Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

“Dengan demikian, maka Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, ‘menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’,” urainya.

Lebih lanjut, Enny menegaskan MK merujuk beberapa prinsip penting mengubah norma dalam UU Pemilu itu, yang pada intinya tetap memperbolehkan penggunaan fasilitas pemerintah dan pendidikan untuk kampanye tanpa atribut Parpol, tetapi melarang total aktivitas kampanye di tempat ibadah.

“Menurut Mahkamah, pembatasan kampanye berdasarkan lokasi atau tempatnya adalah didasarkan pada beberapa prinsip penting yang bertujuan untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu,” urainya.

“(Kemudian) mencegah gangguan terhadap aktivitas publik pada tempat-tempat tertentu, sehingga mampu mempertahankan prinsip keseimbangan dan sekaligus menjaga prinsip netralitas, serta untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan fasilitas publik,” demikian Enny menambahkan.

Dalam putusan perkara ini, MK menerima sebagian permohonan Pemohon karena pembatasan tempat kampanye penting dilakukan di tempat ibadah.

Padahal dalam pokok permohonannya, dua Pemohon menyatakan pembolehan kampanye di fasilitas pemerintah akan membuat pemerintah sulit bersikap netral kepada semua peserta Pemilu.

Akan tetapi di sisi yang lain, Pemohon Handrey Mantiri dan Ong Yenni merasa dirugikan dengan diperbolehkannya kampanye di tempat ibadah oleh penjelasan norma di dalam UU Pemilu.

Maka dari itu, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar MK pada 6 Juli 2023 lalu, kedua Pemohon meyakini penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bersifat memperluas dan menambah norma, serta mengakibatkan pendelegasian kepada aturan yang lebih rendah.

Sehingga dalam petitum mereka, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap.

Sumber : Rmol

Kategori
Politik

Yusril: Bukan MK atau MA, Hanya MPR yang Berwenang Tunda Pemilu 2024

IDTODAY NEWS – Satu-satunya lembaga yang berhak meloloskan penundaan Pemilu 2024 hanyalah MPR RI. Sebab, Mahkamah Agung (MA), Konstitusi (MK) ataupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berwenang menunda pemilihan umum (pemilu).

Demikian disampaikan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan di Markas PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/3).

“Pemilu ditunda kan bukan kewenangan KPU. KPU tugasnya melaksanakan pemilu. Dan itu dalam perintah konstitusi, pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Itu perintah UUD 45 yang sebenarnya tidak bisa ditunda oleh KPU,” kata Yusril.

Atas dasar itu, kata Yusril, jika nantinya putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU RI menunda Pemilu 2024 itu dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi, tidak serta-merta pemilu ditunda.

“Saya menganggap, sebenarnya satu-satunya lembaga yang berwenang menunda pemilu hanya MPR sebenarnya. Bukan Mahkamah Agung (MA). MK pun tidak. MK hanya berwenang mengadili sengeketa pemilu. Bukan memutuskan pemilu ditunda atau tidak,” urai pakar hukum tata negara itu.

Lebih lanjut Yusril menegaskan bahwa satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menunda Pemilu 2024 hanyalah MPR. Pasalnya, MPR mempunyai wewenang untuk melakukan amandemen konstitusi.

“Kecuali MPR, walaupun MPR sekarang tidak sekuat zaman dulu. Tapi MPR itu representatif karena dibentuk dua-duanya dengan pemilu DPR dan DPD. Dan MPR itu punya kewenangan untuk mengubah Konstitusi,” pungkasnya.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Surya Paloh: Walaupun Ada MK-MA, Hukum Seakan Milik Mereka yang Punya Kekuatan

IDTODAY NEWS – Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyoroti persoalan hukum di Indonesia.

Menurut dia, seolah menjadi realita bahwa hukum di Indonesia seakan-akan milik penguasa.

“Walaupun ada di negeri kita Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, yang berperan sebagai payung yang paling di atas untuk menjaga posisi peran daripada peradilan, mulai dari tingkat bawah, menengah, tinggi, dan seterusnya, tapi kita berhadapan dengan realita yang ada,” kata Surya dalam pidatonya di acara Silatnas Badan Advokasi Hukum DPP Nasdem, di Nasdem Tower, Jakarta, Jumat (10/3/2023).

“Banyak keputusan yang mengoyak kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Hukum seakan-akan milik mereka yang punya kekuatan lebih,” kata dia.

Namun, ia tak menjelaskan lebih jauh soal contoh putusan yang dianggapnya tidak tepat tersebut dan membuat hukum seolah-olah menjadi punya pemilik kekuatan.

Ia pun mendorong Badan Advokasi Hukum (Bahu) Nasdem untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Surya mengingatkan bahwa hukum menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam pembangunan negeri.

“Indonesia sebagai satu negeri dan negara hukum, jelas bagi negara kita agar prinsip-prinsip hukum, rule of law yang merupakan sesuatu komitmen yang mengikat semua pihak tanpa membedakan perbedaan kita, status sosial kita,” kata dia.

Untuk itu, dia mengajak semua pihak tidak menutup mata terhadap penegakan dan keadilan hukum.

Menurut dia, penegakan dan keadilan hukum harus dilakukan dengan baik dan paripurna.

“Kenapa saya mengatakan memakai penegasan baik dan paripurna? Karena dia tidak bisa berdiri dengan pasal demi pasal yang kita pahami, yang perlu kita perdebatkan,” ujar dia.

“Tapi juga bagaimana kita juga berikhtiar, mengerahkan seluruh jiwa dan raga dalam diri kita untuk membawa perjuangan kita ke tahap yang lebih baik mencapai keberhasilan,” kata Surya.

Sumber: kompas.com

Kategori
Politik

Apresiasi Pandangan Yusril di MK Soal Sistem Pemilu, Hasto PDIP: Kami Tempuh Jalur Ideologi, yang Lain Liberalisme

IDTODAY NEWS – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan atau Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengapresiasi Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang menyampaikan pandangannya menjelaskan sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

Dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), Yusril menyampaikan pandangan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menurunkan kualitas pemilu.

“Pemikiran ahli hukum tata negara dan sekaligus Ketua Umum PBB tersebut sangat mencerahkan, dan menampilkan kepakaran beliau yang dipandu sikap kenegarawanan tentang bagaimana sistem Pemilu tertutup berkorelasi dengan pelembagaan partai dan menegaskan, bahwa peserta pemilu legislatif adalah parpol, bukan orang per orang,” kata Hasto kepada wartawan pada Kamis (9/3/2023).

Hasto mengatakan, dengan sikap Yusril tersebut, maka makin jelas bagaimana PDIP dan PBB hadir sebagai partai ideologi, lantaran kedua partai mendukung pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

“Kami menempuh jalan ideologi, sementara yang lain jalan liberalisme. Jalan ideologi meski sering terjal, namun kokoh pada prinsip,” tuturnya.

“Sebab menjadi anggota legislatif itu dituntut untuk menyelesaikan masalah rakyat saat ini, dan merancang masa depan Indonesia melalui keputusan politik. Dalam peran strategis tersebut, maka caleg harus dipersiapkan melalui kaderisasi kepemimpinan,” katanya.

Hasto menyampaikan, jika pemilu digelar secara proporsional terbuka para calon anggota legislatif nanti hanya memiliki modal popularitas dan kekayaan saja, sementara jika digelar tertutup caleg bermodalkan keahlian, dedikasi, dan kompetensi melalui kaderisasi.

“Secara empiris, proporsional terbuka mendorong bajak-membajak kader ala transfer pemain dalam sepakbola; kecenderungan kaum kaya dan artis masuk ke politik; primordialisme; dan ada partai karena ambisinya, lalu ambil jalan pintas merekrut istri, anak, atau adik pejabat dan menguatlah nepotisme. Logikanya, pejabat akan mengerahkan kekuasaannya untuk caleg dari unsur keluarganya,” tuturnya.

“Di tata pemerintahan, menteri yang memegang sumber logistik dan kekuasaan hukum akan menjadi rebutan. Ini praktik demokrasi elektoral,” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, dalam proporsional terbuka, caleg lahir secara instan. Akibatnya, kepuasan terhadap parpol dan lembaga legislatif selalu berada di urutan paling bawah dari lembaga negara lainnya.

“Mengapa? Sebab pragmatisme politik merajalela. Karena menjadi anggota legislatif harus bermodalkan kapital atau dukungan investor politik, maka skala prioritas adalah menggunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal politik, dan kemudian mencari modal dalam pencalonan ke depan,” katanya.

Pandangan Yusril

Sebelumnya, Yusril menjelaskan sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945. Dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), Yusril menyebut alasannya karena menurunkan kualitas pemilu.

“Karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih,” kata Yusril, Rabu (8/3/2023).

Yusril menilai Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 huruf C dan D, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur soal sistem proporsional terbuka, secara nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Alasannya karena menghalangi pemenuhan jaminan-jaminan konstitusional mengenai fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih, dan melemahkan kualitas pemilu. Yusril mengatakan merujuk pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Penegasan kedaulatan di tangan rakyat memastikan bahwa Indonesia murni negara demokrasi yang disusun dan diisi serta dijalankan oleh warganya.

“Indonesia tidak dijalankan oleh sekelompok orang tertentu dan tidak pula segolongan dinasti yang hanya mewariskan kekuasaan kepada garis keturunannya secara turun temurun,” kata Yusril.

Meski kedaulatan berada di tangan rakyat, luasnya wilayah Indonesia serta kompleksnya urusan pemerintahan menjadikannya tidak mungkin bagi 270 juta rakyat Indonesia menjalankan roda pemerintahannya sendiri secara langsung.

“Artinya, mau tidak mau harus dijalankan oleh sebagian orang saja yang dipilih karena mampu dan berkompeten menjalankan tugas tersebut. Atas dasar itulah diterapkan sistem perwakilan,” jelasnya.

Yusril melanjutkan, kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Makna dilaksanakan tersebut dijelaskan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan dengan satu mekanisme yang disebut dengan pemilu.

“Sekitar 270 juta lebih rakyat diberikan kesempatan memilih langsung wakil-wakilnya,” tambahnya.

Dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Kemudian pada Ayat (2) disebutkan terkait jabatan yang akan dipilih oleh konstituen.

Sementara, pada Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan yang ikut kontestasi dalam pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Begitu juga dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Ketentuan Pasal 6A Ayat (2) menegaskan bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.

Dapat diambil kesimpulan, lanjut dia, urusan pelaksanaan kedaulatan rakyat, UUD NRI Tahun 1945 menempatkan partai politik dalam posisi yang dominan.

“Partai politik lah yang berkontestasi, bukan rakyat yang berkontestasi secara langsung,” jelasnya.

Yusril menambahkan tanpa adanya kepesertaan partai politik dalam pemilu, maka tidak pernah akan ada penyaluran kedaulatan. Dengan kata lain, ketiadaan partai politik dalam konstestasi pemilu akan meniadakan negara demokrasi itu sendiri.

Sumber: suara.com

Kategori
Politik

Yusril di Sidang MK: Sistem Pemilu Terbuka Bertentangan dengan UUD 1945

IDTODAY NEWS – Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang gugatan terhadap perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu soal sistem pemilihan proporsional terbuka pada Rabu (8/3).

Sidang dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman. Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan pihak terkait dari DPP PBB dan pihak terkait Derek Loupatty, dkk.

“Sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum,” kata Anwar.

“2 pihak terkait dari DPP PBB dan pihak terkait Derek Loupatty dkk, pemohon hadir, kuasa Presiden hadir, DPR berhalangan kita langsung dari DPP PBB dipersilakan Prof Yusril,” lanjut dia.

Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum PBB hadir langsung dalam sidang ini. Ia menegaskan, sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945.

Yusril menegaskan, Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf d, Pasal 386 ayat 2 huruf d, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422 dan Pasal 426 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

“Yang selanjutnya (pasal di atas) disebut sistem proporsional terbuka, secara nyata telah bertentangan dengan UUD 1945,” kata Yusril.

Yusril yang pernah menjadi kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf di sidang gugatan sengketa Pilpres 2019 di MK ini membeberkan alasannya.

“Karena menghalangi pemenuhan jaminan-jaminan konstitusional mengenai fungsi parpol, melemahkan kapasitas pemilih dan melemahkan kualitas Pemilu,” ucap Yusri.

“Ketiga argumentasi itu akan kami uraikan secara rinci,” lanjut dia.

Hingga pukul 10.40 WIB, sidang masih berlanjut. Yusril masih memaparkan argumentasinya mengapa sistem proporsional terbuka dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Sumber: kumparan.com

Kategori
Hukum

MK dan MA Sudah Putuskan soal TWK, Firli Bahuri: Seluruh Anak Bangsa Harus Mematuhinya

IDTODAY NEWS – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) tentang UU 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dipatuhi seluruh anak bangsa.

Hal itu disampaikan langsung oleh Ketua KPK, Firli Bahuri usai melakukan pelantikan terhadap 18 pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai aparatur sipil negara (ASN). Ke-18 pegawai tersebut telah berhasil lolos melaksanakan diklat bela negara dan wawasan kebangsaan selama satu bulan di Universitas Pertahanan (Unhan) dan akhirnya dilantik menjadi ASN sesuai dengan UU19/2019 bahwa pegawai KPK adalah ASN pada hari ini, Rabu (15/9).

“Saatnya sekarang tentu kita semua sudah mengetahui secara terang benderang, semua proses yang sudah kita lalui dan akhirnya telah membuahkan hasil yang patut dan wajib kita laksanakan sebagai anak bangsa yang terikat dengan negara hukum,” ujar Firli saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu sore (15/9).

Sebagaimana UUD 1945 kata Firli, dimandatkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Karenanya sejak awal, KPK sepakat akan ikuti dan tunduk kepada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“KPK juga tidak pernah menghalangi hak setiap anak bangsa untuk menyampaikan pendapat, untuk menyampaikan aspirasinya ataupun pengaduannya kepada lembaga-lembaga lain,” kata Firli.

Bahkan sambung Firli, KPK juga tidak pernah melarang dan juga tidak pernah menghalang-halangi niat baik seluruh anak bangsa.

“Karena kami berprinsip hukum adalah Panglima, sehingga putusan hukum lah yang kita ikuti yang harus kita jalankan,” kata Firli.

Terkait putusan MK dan MA kata Firli, pimpinan KPK sebagai pelaksana UU tentu harus melaksanakan putusan tersebut.

“Kami sungguh menghargai segenap pihak termasuk juga ada beberapa pegawai KPK yang telah menyalurkan hak konstitusionalnya untuk memohon pengujian tafsir terhadap UU 19/2019 dan Peraturan Komisi KPK 1/2021 pada jalur yang benar. Hari ini, kita harus melaksanakan sebagai anak bangsa yang tunduk taat dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, pemerintah yang sah, dan juga NKRI,” jelas Firli.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Kata Mahfud MD, Indeks Demokrasi Turun karena Intoleransi Meningkat

IDTODAY NEWS – Penurunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dipublikasi The Economist Intelligence Unit (EIU) dengan skor 6,48 dan masuk kategori demokrasi belum sempurna atau flawed democracies ditanggapi santai oleh pemerintah.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, semua negara di dunia saat ini hampir mengalami penurunan indeks demokrasi. Hal itu antara lain disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19.

Namun, Mahfud enggan menjadikan pandemi Covid-19 sebagai satu-satunya faktor yang menyebabkan penurunan indeks demokrasi.

“Kalau kita mau berapologi, semua negara turun karena Covid-19. Tapi kan kita tidak boleh berapologi begitu, turunlah,” ujar Mahfud saat memberikan testimoni virtual dalam peluncuran dan bincang buku Negara Bangsa Di Simpang Jalan karya jurnalis senior Budiman Tanuredjo, pada Sabtu siang (7/8).

Menurut Mahfud, ada faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi turunnya indeks demokrasi, yakni turunnya budaya hukum di Indonesia lantaran intoleransi menguat.

“Kalau itu dipetil-petil masalahnya, yang turun dari berbagai indikator itu budaya hukumnya turun, drop, kenapa? Karena terjadi fenomena intoleransi. Yang lain tinggi,” katanya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, penegakan hukum hingga keamanan saat ini cenderung naik dan baik. Hal itu setidaknya tercatat dalam laporan survei Kompas tertanggal 3 Mei 2021.

“Nanti bisa dibaca sendiri ya, biar saya tidak dibilang bohong, sekarang ini indeks penegakan hukum keamanan itu baik. Keamanan bagus, naik dari 66 ke 77. Hukum penegakan hukum naik, keadilan naik,” demikian Mahfud.

Turut hadir sejumlah narasumber dalam acara tersebut, yakni Gurubesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra; Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Pendiri Narasi, Najwa Shihab.

Sumber: rmol.id