Kategori
Politik

Irjen Nana Dimutasi, Sepertinya Ada Manuver Gusur Geng Solo dari Bursa Calon Kapolri

IDTODAY NEWS – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyodorkan analisisnya soal pencopotan Irjen Nana Sudjana dari jabatan Kapolda Metro Jaya.

Pengamat kepolisian itu menduga pencopotan Nana bukan semata-mata akibat kerumunan massa dalam jumlah besar pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan hajatan Habib rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Tanah Abang pada Sabtu lalu (14/11).

Neta justru mengendus aroma persaingan dalam bursa calon Kapolri pada pencopotan Nana.

“Pencopotan Kapolda Metro bagian dari manuver persaingan dalam bursa calon Kapolri, di mana Kapolda Metro (Nana Sudjana, red) sebagai salah satu calon kuat dari Geng Solo,” ungkap Neta dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/11).

Istilah Geng Solo merujuk pada para perwira Polri yang pernah bertugas di Surakarta, kota kelahiran Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Beberapa perwira Polri yang pernah bertugas di Surakarta memiliki karier bagus moncer, di antaranya ialah Komjen Listyo Sigit Prabowo, Irjen Nana Sudjana, serta Brigjen (Pol) Ahmad Lutfi.

Menurut Neta, kubu pesaing Nana telah bermanuver dengan memanfaatkan kecerobohan alumnus Akpol 1988 itu dalam menangani massa pada hajatan Habib Rizieq. “Kecerobohan itu dimanfaatkan sebagai manuver dalam persaingan bursa calon Kapolri,” ulas Neta.

Lebih lanjut Neta mengatakan, pencopotan Irjen Rudy Sufahriadi dari posisi Kapolda Jawa Barat sebagai efek mutasi terhadap Nana Sudjana.

Neta menyebut Rudy ‘diikutsertakan’ dalam mutasi itu karena dianggap membiarkan kerumunan massa acara Habib Rizieq di Cisarua, Kabupate Bogor, beberapa waktu lalu.

“Di antara para Kapolda yang dicopot, yang disebut-sebut paling berpeluang menjadi Kapolri ialah Irjen Nana. Dengan pencopotan kemarin peluangnya menjadi tipis” ulas Neta.

Penulis buku Jangan Bosan Kritik Polisi itu menambahkan, selama ini Polri bersikap mendua dalam menjaga protokol kesehatan. Misalnya, polisi membubarkan kerumunan massa termasuk pesta perkawinan di daerah lain.

Namun, Polri justru membiarkan acara yang digelar oleh para tokoh. Contohnya ialah Musyawarah Nasional Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) di Tangerang, Banten pada 5-6 November lalu yang dihadiri Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto.

“Acaranya tetap berlangsung tanpa dibubarkan polisi,” kata Neta.

Oleh karena itu, kata Neta, kini muncul opini di masyarakat bahwa Polri hanya berani pada masyarakat yang tidak punya pengaruh, namun takut pada figur-figur berpengaruh. Menurutnya, hal itu menguatkan penilaian masyarakat bahwa hukum ternyata

“Seharusnya Polri satu sikap, yakni bersikap tegas pada semua pelanggar protokol kesehatan agar penyebaran pandemi Covid 19 bisa segera dikendalikan,” ucapnya.

Sumber: jpnn.com

Kategori
Politik

IPW: Jokowi Harus Bekukan UU Cipta Kerja, “Lihat Gelombang yang Terjadi Pak Presiden”

IDTODAY NEWS – Presiden Jokowi jangan membiarkan aparat Polri berbenturan dengan buruh, mahasiswa dan masyarakat.

Sebab aksi demo menolak UU Cipta Karya alias UU Omnibus Law sepanjang Kamis ini sudah menimbulkan kerusuhan dimana mana. Untuk itu Jokowi perlu segera membekukan UU Cipta Kerja, dengan cara segera menerbitkan Perpu.

Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane mengingatkan Jokowi bahwa asal usul UU Cipta Karya atau Omnibus Law adalah usulan Sofyan Djalil yang mengadopsi dari sistem hukum Amerika Serikat (AS).

“Tak heran jika UU ini tidak sesuai dengan kondisi sosial maupun psikologis masyarakat Indonesia. Pola pikir dan sikap hidup masyarakat AS yang kapitalis dan individualisme tentu sangat berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia yang guyub dan kekeluargaan,” ujar Neta S Pane dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/10/2020).

Menurut Neta, UU Cipta Kerja alias UU Omnibus Law tidak sesuai dengan Pancasila yang menjadi konsep hidup Bangsa Indonesia. Tak heran jika pasal pasal yang muncul di UU Cipta Kerja itu cenderung tidak berpihak pada rakyat sebagai buruh dan sangat berpihak pada pengusaha dan industri.

“Tak heran jika Ketua BKPM Bahlil Lahadalia dengan bangga menyatakan, usai disahkannya UU Cipta Kerja ini akan datang 153 perusahaan asing ke Indonesia. Apakah pemerintah cukup hanya berpihak kepada perusahaan asing tanpa memperhatikan dengan serius nasib rakyatnya sendiri, sebagai anak bangsa? Bukankah kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan Soekarno-Hatta adalah jembatan emas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia?” tanya Neta.

Lebih jauh Neta menegaskan, melihat besarnya gelombang protes terhadap UU Cipta Kerja yang mengadopsi dari sistem hukum Amerika itu, sudah saatnya Jokowi sebagai presiden segera membekukannya.

Kategori
Politik

Neta S Pane: Rezim Jokowi Mengikuti Rezim Orde Baru

IDTODAY NEWS – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, rangkap jabatan petinggi kepolisian, di antaranya sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN), merupakan kesalahan fatal.

Neta mengistilahkan rangkap jabatan tersebut dengan dwi fungsi polisi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

“Ini Kesalahan fatal, melanggar UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian. Karena disebutkan jika seorang anggota Polri memegang jabatan di luar Polri, harus mengundurkan diri dari Polri,” ujar Neta pada program Ngomongin Politik (Ngompol) yang tayang di Channel You Tube JPNN.com.

Dalam pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Neta kemudian membeber data yang dimiliki IPW. Disebutkan, sedikitnya ada 35 jenderal kepolisian yang saat ini bertugas di luar kepolisian.

“Ini terbiarkan, kami mendata sedikitnya ada 35 jenderal polisi yang bertugas di luar kepolisian. Ada yang rangkap jabatan,” katanya.

Menurut Neta, apa yang terjadi saat ini mirip seperti di masa Orde Baru dimana dikenal ada istilah dwi fungsi ABRI.

“Saya kira apa yang terjadi saat ini, itu sama saja rezim Jokowi mengikuti rezim Orde Baru,” katanya.

Bedanya, kata Neta kemudian, di masa masa sekarang terkesan para petinggi kepolisian yang dianakemaskan, dipercaya memegang jabatan sipil.

“Kami kira ini sangat tidak sehat bagi demokrasi. Kami beberapa kali mengkritisi itu. Saya kira harus ditata ulang, tidak boleh dibiarkan,” pungkas Neta.

Sumber: fajar.co.id

Kategori
Politik

Tidak Berubah, IPW Memandang banyak Polri yang Memeras Rakyat, Menjadi Predator…

IDTODAY NEWS – Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan banyak dari jenderal Polri yang aktif dan purnawirawan menginginkan perubahan di tubuh Korps Bhayangkara itu.

Namun, Neta menilai niatan itu hanya omongan palsu belaka.

“Ada semangat dari elite-elite itu untuk berubah, tetapi tidak mudah. Karena elitenya sendiri cuma ngomong doang, tetapi tidak berubah,” kata Neta saat berbincang dengan JPNN.com dalam program Ngobrol Politik (Ngompol) JPNN.com baru-baru ini

Sebagai orang yang memperjuangkan pemekaran Polri dari tubuh TNI, Neta melihat perjuangan itu sia-sia.

Sebab, Neta memandang masih banyak kasus anggota Polri yang memeras rakyat, menjadi predator masyarakat dan hidup serba mewah. Menurut Neta, semangat pemekaran yang diharapkan dulu, kini faktanya jauh berbeda.

Meski demikian, kata Neta, IPW terus mengawasi kinerja Polri. Namun di sisi lain, Neta menekankan tidak melulu mengkritisi, kadangkala ada saatnya membela Korps Bhayangkara itu.

“Misalnya tentang usia pensiun yang harus diperpanjang. Itu kami lakukan lobi-lobi ke beberapa institusi, ke DPR, terus kami sosialisasikan lewat media massa. Sebenarnya eksistensi IPW ini bisa terangkat karena bantuan kawan-kawan. Kebetulan saya wartawan tahu persis lah selera kawan-kawan,” kata dia.

Selain itu, Neta juga pernah bekerja sama dengan Polri terkait isu perlawanan terhadap wacana kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Neta memandang sistem pemerintahan Indonesia berbeda dengan negara barat lainnya.

“Barat itu kan federal, kalau negara federal dia pantas polisinya di bawah Departemen Dalam Negeri. Tetapi kita negara kesatuan. Sementara posisi Mendagri kita kan beberapa kali dijabat petinggi partai. Kalau polisi di bawah departemen dalam negeri dan menterinya anggota partai atau pimpjnan partai, polisi akan di bawah kendali partai,” kata Neta.

Sumber: jpnn.com