Kategori
Hukum

M. Kece Dianiaya, Reza Indragiri: Kekerasan dalam Penjara Itu Lazim, yang Lemah Babak Belur

IDTODAY NEWS – Muhammad Kosman atau yang lebih dikenal dengan nama M. Kece tersangka kasus dugaan penistaan terhadap agama melayangkan laporan penganiayaan. Terlapor merupakan sesama tahanan di Rutan Bareskrim Polri, yakni Irjen Pol. Napoleon Bonaparte. Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel menilai kekerasan dalam penjaran merupakan sebuah hal yang lazim terjadi.

“Betapa pun publik berharap lapas, rutan, dan ruang tahanan bersih dari kekerasan, tapi sangat sulit menciptakan lingkungan yang seratus persen seperti itu. Saking maraknya perilaku agresif di dalamnya, sampai-sampai ilmuwan menggunakan istilah prison mindset dan prison culture. Kekuatan, kekuasaan, dominasi, dan sejenisnya, itulah “aturan main” di sana,” tulis Reza dalam pesan tertulis yang diterima oleh tvonenews.com, Minggu (19/9).

Reza menilai ruangan yang ditempati lebih dari satu orang sangat memungkinkan terjadinya benturan antar tahanan.

“Apalagi karena ruangan bukan berupa sel (satu ruangan diisi satu orang), melainkan dormitori, maka kemungkinan terjadinya benturan memang terbuka setiap saat. Konsekuensinya ya alami saja. Yang kuat, menang. Yang lemah, babak belur,” kata Reza.

Reza menduga ada kemungkinan M. Kece melakukan tindakan yang dapat memicu reaksi tahanan lainnya.

“Saya tak membenarkan penganiayaan. Tapi sulit membayangkan bahwa sekonyong-konyong ada satu tahanan yang menyerang tahanan lain tanpa peristiwa pendahuluan. Jadi, coba mundur satu dua episode: adakah kemungkinan MK melakukan tindak-tanduk yang provokatif terhadap tahanan lain sehingga terjadi penyerangan balik terhadap dirinya,” ungkap Reza.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto pada Sabtu (18/9) mengatakan M. Kece langsung dilarikan ke RS. Polri Kramat Jati usai dianiaya dan dari hasil pemeriksaan tidak ada luka serius yang dialaminya.

“Berdasar hasil pengecekan yang dilakukan RS Polri Kramat Jati, tidak ada luka serius yang dialami MK. Dari situ, terpikir oleh saya bahwa, walaupun kejadiannya menggemparkan, tapi jangan-jangan ini contoh partial malingering. Yaitu, seseorang mendramatisasi keluhan fisiknya sedemikian rupa sehingga terkesan ia mengalami penderitaan luar biasa,” duga Reza dalam pesannya.

Reza menyimpulkan penganiayaan yang terjadi pada M. Kece merupakan suatu kelaziman, oleh karena itu sebaiknya tak usah dihebohkan.

“Peristiwanya–anggaplah–nyata. Tapi itu prison culture. Juga, cederanya–katakanlah–ada. Tapi, merujuk Kabareskrim, cedera itu sepertinya partial malingering. Alhasil, bahwa ruang tahanan perlu dikelola secara lebih baik, silakan saja. Tapi pada sisi lain, haruskah kejadian dimaksud memunculkan kehebohan yang amat sangat?,” tutup Reza dalam pesannya.

Sumber: tvone

Kategori
Politik

Reza Indragiri: Buzzer Tak Bermain Sendiri, Terorganisir dan Ada yang Biayai

IDTODAY NEWS – Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri, memberikan analisanya terkait rentetan kasus dugaan ujaran rasisme yang akhir-akhir ramai menjadi pembahasan hangat di tengah masyarakat.

Beberapa nama terjerat kasus ini mulai dari Ambroncius Nababan hingga terbaru Permadi Arya alias Abu Janda. Mereka dilaporkan ke polisi akibat tulisannya yang dianggap menyampaikan ujaran kebencian di media sosial.

Kasus yang menjerat Ambroncius bermula dari postingan akun Facebook berinisial AN yang dilaporkan ke Polda Papua Barat oleh Ketua KNPI Papua Barat Sius Dowansiba atas dugaan penghinaan.

Dalam postingannya, AN mengirim gambar Pigai yang disandingkan dengan gorila disertai komentar tentang vaksinasi. Belakangan disebut hal itu merupakan respons Ambroncius atas kritik Pigai terkait vaksin Sinovac.

Laporan tersebut diterima SPKT Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat. Dalam laporan tersebut, tercatat yang terlapor bernama Ambroncius Nababan. Ambroncius sendiri kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan setelah kasusnya ditarik oleh Bareskrim Polri.

Sedangkan Abu Janda dilaporkan oleh KNPI ke Bareskrim Polri. Laporan itu sudah telah diterima dengan nomor STTL/30/I/2021/Bareskrim tertanggal 28 Januari 2021.

Abu Janda dilaporkan terkait cuitan ‘Islam arogan’ di akun Twitternya. Cuitan itu dibuat pada 24 Januari 2021.

Abu Janda diduga melanggar Pasal 45 ayat 3 Junto Pasal 27 ayat 3 dan atau Pasal 45 ayat 2 Junto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP tentang diskriminasi etnis.

Reza mengatakan, kebencian adalah urusan perasaan. Sedangkan rasisme berangkat dari bias implisit (implicit bias).

“Perasaan dan bias itu ada pada dimensi pribadi individu (si pembenci dan di rasis) dan muncul secara alamiah,” kata Reza yang juga menjadi pengajar di sejumlah perguruan tinggi ini dalam keterangannya, Selasa (2/2).

Khusus dalam kasus Abu Janda, sebagian masyarakat mengecap dia sebagai seorang buzzer pemerintah. Dalam analisanya, Reza memang tidak secara gamblang menyebut Abu Janda. Namun tetap ada konsekuensi dalam kasus ini.

“Tapi andai benar anggapan bahwa pendengung adalah orang bayaran sehingga dijuluki sebagai buzzeRp, maka ketika mereka melakukan perbuatan, pidana implikasinya,” ucap Reza.

Setidaknya, Reza memaparkan ada empat implikasi dalam kasus ini. Pertama ekspresi kebencian dan rasisme tidak bisa lagi dipandang sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah pada diri si buzzer.

“Postingannya bukan sungguh-sungguh ekspresi suasana hati. Bukan didorong oleh motif emosional, melainkan motif instrumental,” papar Reza yang kerap diminta bantuan penegak hukum menganalisis kasus kriminal in.

Kedua, Reza menduga aksi buzzer yang melakukan pidana di medsos mirip dengan kejahatan terorganisir. Sebab para buzzer sebatas eksekutor lapangan.

“Di belakangnya ada otak dan penyandang biaya,” ucap Reza.

Ketiga, jika benar ini masuk dalam kejahatan terorganisir, maka kerja aparat penegak hukum tidak cukup hanya melakukan pemidanaan terhadap buzzer saja. Aparat juga harus memproses hukum siapa otak dan penyandang dana tersebut.

Terakhir, Reza berpendapat buzzer juga harus diberikan hukuman tambahan selain hukuman pidana jika terbukti bersalah. Yakni dengan cara membatasi ruang gerak mereka di media sosial.

“Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak, ruang hidup virtual si buzzeRp harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya,” tutup dia.

Baca Juga: Sikap Ariza Patria soal Setuju Pilkada 2022 yang Beda dengan Gerindra…

Sumber: kumparan.com

Kategori
Politik

Polisi Dorr Anak-Isteri, Bang Reza: Tarik-menarik Politik Membuat Polisi Makin Stres

IDTODAY NEWS – Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti persoalan di institusi Polri berkaca dari kasus oknum polisi bernama Aiptu Slamet Teguh Priyanto (STP) yang diduga menembak anggota keluarganya sendiri di Kota Depok.

Peristiwa berdarah itu terjadi di rumah pelaku Jalan Tirtamulya, Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Rabu (30/12/2020) lalu sekitar pukul 11.45 WIB.

“Kejadian di Depok Jawa Barat itu sepintas tampaknya terkait masalah rumah tangga. Karena yang ditembak adalah anggota keluarga. Tetapi mungkinkah sumber masalahnya ada di luar keluarga?” ucap Reza kepada jpnn.com, Kamis (31/12).

“Jadi, membunuh lalu bunuh diri merupakan cara untuk ‘menyelamatkan’ diri dan ‘melindungi’ keluarga dari sumber masalah tersebut,” lanjut pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM.

Pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau ini lebih jauh mengupas masalah institusi di kepolisian.

Terlebih, sejak pekan lalu dirinya berkomunikasi dengan rekan di bagian SDM Polri. Reza menanyakan ihwal jumlah personel yang wafat dan penyebabnya.

“Sayangnya, kali ini data itu tidak saya peroleh. Boleh jadi Polri menganggap data semacam itu seperti aib. Jadi harus ditutup,” ucap Reza.

Padahal, jika dibuka, katanya, akan tersedia gambaran tentang kesehatan mental personel.

Masalah itu sudah lama menjadi perhatian peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne ini.

“Silakan lihat google, boleh jadi sayalah yang paling sering angkat suara tentang sisi-sisi manusiawi personel Polri dan bagaimana negara bisa lebih kasih atensi,” kata Reza.

Konsultan di Lentera Anak Foundation ini menyatakan, menjadi polisi sama artinya dengan menekuni pekerjaan yang paling bikin stres. Beban kerja menaik, alokasi waktu konstan, pasokan stamina menurun.

“Tambahan lagi tarik-menarik politik, baik internal maupun eksternal. Risiko maut pun tinggi,” sebut Reza.

Per tahun, katanya, personel berhadapan dengan insiden maut hampir 200 kali. Angka itu dalam situasi negara relatif normal.

“Dengan itu semua, hitung-hitungan di atas kertas, prevalensi masalah kejiwaan di kalangan personel sangat tinggi,” sambungnya.

Reza membuat ilustrasi. Di kalangan sipil, tingkat bunuh diri adalah 13 dari 100 ribu orang. Di kepolisian, 17 dari 100 ribu personel.

“Gilanya, kondisi payah harus terus-menerus diingkari dengan ‘delapan enam’, ‘siap’, ‘perintah, nDan’. Ini sesungguhnya sangat tidak manusiawi. Secara populer saya mengistilahkannya sebagai John Wayne Syndrome,” tegas Reza.

Namun, dia secara tegas menolak jika masalah personel yang sakit, cedera, apalagi tewas disorot sebagai persoalan individu per individu semata. Institusi kepolisian menurutnya tidak boleh berlepas tangan.

Karena itulah dia kukuh merekomendasikan 4 hal penting selama ini. Pertama, revisi UU Kepolisian agar punya pasal-pasal yang lebih berempati pada personel, seperti halnya UU Guru dan Dosen.

Kedua, alokasi anggaran diperbesar untuk keperluan pemeliharaan kesehatan mental. Ketiga, kerahkan SDM dan Lemdik secara lebih maksimal. Keempat, jadikan kesehatan sebagai bagian dari etika dan profesionalisme kerja.

Pada sisi sebelah, tak kalah pentingnya adalah tentang personel yang dipecat. Bahwa Kapolri Jenderal Idham Azis mengumumkan jumlah 129 personel dipecat selama 2020. Bagi Reza, itu bagus sebagai wujud akuntabilitas.

“Namun jangan lupa; setelah dipecat, para pecatan itu ke mana? Polri bisa lebih bersih, tetapi getahnya pindah ke masyarakat,” sebut Reza.

Jika tidak terpantau, katanya, sangat mungkin kondisi para pecatan justru semakin parah sebagai orang bermasalah. Juga sangat mungkin mereka masuk kian dalam ke dunia hitam.

Akibatnya, keamanan dan rasa aman khalayak luas terganggu, dan polisi juga yang tambah repot.

Menurut Reza, pemecatan itu pada satu sisi bisa dipandang sebagai bentuk penataan SDM. Tetapi pada sisi lain, juga bisa ditafsirkan sebagai manifestasi kegagalan pengelolaan SDM.

“Kalau dinominalkan, 129 pecatan itu setara dengan berapa ratus juta rupiah? Kompensasi dari Polri akan seperti apa? pungkas Reza Indragiri Amriel mempertanyakan.

Baca Juga: Kaitkan 35 Teroris Dengan FPI, Ubedilah Badrun: Pemerintah Lakukan Kesalahan Fatal

Sumber: jpnn.com