Kategori
Politik

Istana Akui Temui Kekeliruan UU Ciptaker Usai Diteken Jokowi

IDTODAY NEWS – Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merupakan masalah teknis administratif. Sehingga, kesalahan teknis tersebut tak akan berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.

“Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” ujar Pratikno kepada wartawan, Selasa (3/11).

Ia menjelaskan, sebelumnya Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR. Namun, kekeliruan tersebut telah disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.

Kesalahan yang ditemukan kembali setelah UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi inipun juga disebutnya merupakan kesalahan teknis penulisan. Ia berjanji, kekeliruan teknis ini akan menjadi catatan dan masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan kualitas RUU yang akan diundangkan.

“Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi,” kata Pratikno.

Seperti diketahui, sejumlah kejanggalan ditemukan di UU Cipta Kerja yang telah diteken Jokowi pada Senin (2/11). Kejanggalan yang ditemukan dalam UU setebal 1.187 halaman itu di antaranya yakni terkait keberadaan Pasal 6.

“Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi; a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. penyederhanaan persyaratan investasi,” begitu bunyi Pasal 6 UU Cipta Kerja.

Dari situlah muncul kejanggalan, lantaran Pasal 6 UU Cipta Kerja merujuk Pasal 5 ayat (1). Padahal, Pasal 5 tidak memiliki satu ayat pun. Penjelasan Pasal 5 UU Cipta Kerja berbunyi, “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”

Republika ternyata menemukan penjelasan ayat (1) UU Cipta Kerja di versi 905 halaman yang disahkan DPR di sidang paripurna. Jika di semua versi Pasal 5 tidak memiliki ayat, di versi 905 halaman terdapat 10 ayat. Berikut daftarnya:

Kategori
Politik

Aneh! UU Cipta Kerja Diwarnai Salah Ketik Lagi

IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun UU itu diwarnai kesalahan ketik.

Halaman 6 UU Cipta Kerja Pasal 6 berbunyi:

Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Lalu apa bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf a?

Pasal 5 ayat 1 huruf a tidak ada. Sebab, Pasal 5 adalah pasal berdiri sendiri tanpa ayat. Pasal 5 berbunyi:

Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, kesalahan tersebut fatal. Mengapa?

Bivitri menyebut undang-undang (UU) tidak bisa diimajinasikan ‘tahu sama tahu’ ketika waktu dilaksanakan, melainkan harus sesuai dengan apa yang tertulis di UU.

“Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 itu, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani (yang itu pun sudah salah),” ujar Bivitri saat berbincang dengan detikcom, Selasa (3/11/2020),

Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah, tidak bisa dilaksanakan. Karena dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis.

“Dampak lainnya, meski tidak ‘otomatis’, ini akan memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan,” papar Bivitri,

Apa yang bisa dilakukan? Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja.

“Kalau cuma perjanjian, bisa direnvoi, dengan membubuhkan tanda tangan semua pihak di samping, kalau di UU tidak bisa, tidak diperbolehkan menurut UU 12/2011 dan secara praktik tidak mungkin ada pembubuhan semua anggota DPR dan presiden di samping,” cetus Bivitri.

“Yang jelas semakin nampak ke publik, bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya (dan itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan). Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara,” sambung pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.

Artikel Asli

Kategori
Politik

Dalam UU Ciptaker, Perusahaan Tak Wajib Beri Istirahat Panjang bagi Pekerja

IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo resmi meneken omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin (2/11/2020).

Aturan dengan nama resmi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ini pun telah diunggah di laman Kementerian Sekretariat Negara pada Senin malam sehingga dapat diakses publik.

UU Cipta Kerja yang diunggah tersebut tebalnya 1.187 halaman.

Dalam aturan tersebut, terdapat perubahan peraturan mengenai cuti bagi buruh/karyawan yang tercantum pada Pasal 79 UU Nomor 11 Tahun 2020.

Perubahan itu menyasar aturan tentang istirahat panjang di luar waktu istirahat dan cuti tahunan yang diatur pada Pasal 79 Ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2020.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang.

Pengaturan soal pemberian istirahat panjang ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

Masih dari aturan yang sama, dalam Ayat (6) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat 5 diatur dengan peraturan pemerintah.

Sementara itu, aturan sebelumnya yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan istirahat panjang secara lebih rinci.

Pasal 79 Ayat (2) UU Nomor 13 menyebut istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerjaselama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuanpekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Aturan yang sama juga menyebut hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

Adapun perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) diatur dengan keputusan menteri.

Perubahan ini sebelumnya pernah menjadi sorotan buruh, termasuk Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal.

Menurut Said Iqbal, dengan adanya aturan baru itu cuti panjang itu tak lagi menjadi kewajiban perusahaan.

“Dalam omnibus law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha,” kata Said.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo membantah kabar bahwa Undang-Undang Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai berbagai jenis cuti, seperti cuti melahirkan dan cuti sakit, bagi pekerja.

Jokowi memastikan bahwa UU Cipta Kerja tetap mengharuskan perusahaan memberikan hak cuti kepada para pekerjanya.

“Adanya kabar yang menyebutkan bahwa semua cuti, cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan, dihapuskan, dan tidak ada kompensasinya. Saya tegaskan juga ini tidak benar. Hak cuti tetap ada dan dijamin,” kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020).

Terpisah, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menepis kabar bahwa hak cuti sakit, hak cuti haid, dan cuti melahirkan bagi pekerja atau buruh ditiadakan di Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Menurut dia, hak cuti ketiga hal tersebut masih tetap berlaku di Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

“Cuti bagi para pekerja atau buruh di UU Cipta Kerja ini juga tidak menghilangkan hak istirahat saat haid, sakit, saat melahirkan yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jadi tidak benar (tak mendapat hak cuti ketiga itu). Jadi, ketentuan itu tetap berlaku sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,” kata dia dalam tayangan virtual, Rabu (14/10/2020).

Kembali dirinya menegaskan, selama tidak tertulis atau tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja maka pemberi kerja maupun buruh/pekerja masih mengacu UU Ketenagakerjaan.

“Yang tidak diatur di Undang-Undang Cipta Kerja yang itu merupakan ketentuan di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sepanjang tidak dihapus, sepanjang tidak diatur ulang maka ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetap berlaku sebagai ketentuan-ketentuan,” ucap dia.

Artikel Asli

Kategori
Politik

Geram Fasilitas Rusak, Ketua DPRD Duga Ada Aktor Di Belakang Demo Anarkis Mahasiswa

IDTODAY NEWS – Kasus perusakan fasilitas publik yang terjadi dalam demo tolak omnibus law UU Cipta Kerja di sejumlah wilayah harus diusut tuntas oleh aparat kepolisian.

Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Andi Suryanto Wibowo pun mengaku geram lantaran pasca aksi demo, sejumlah aset pemkab rusak.

“Saya menduga aksi demo yang merusak aset Pemkab Probolinggo di kantor dewan ini diindikasi ada aktornya,” kata Andi kepada Kantor Berita RMOLJatim, Minggu (11/10).

Menurutnya, keyakinan tersebut muncul dari pertemuan para korlap aksi dan organisasi buruh saat melakukan pertemuan dengan pihaknya di hadapan Kapolres Probolinggo.

“Mengapa saya berkeyakinan betul kalau aksi demo yang sudah membuat ricuh ini pasti sudah ada penyusup? Karena, ini berdasarkan laporan dari para korlap aksi,” jelasnya.

Terlebih setiap ada demo di Kabupaten Probolinggo, tidak pernah ada perbuatan anarkis sekecil apapun. Karena, para mahasiswa tersebut berpikir secara intelektual dan ilmiah.

“Kantor dewan ini sudah biasa menerima para pendemo dari berbagai juru dan berbagai ormas. Nah ini berjalan aman dan kondusif. Tapi ketika saat ini ada unras menolak omnibus law, ini kok anarkis. Ada apa ini?” tanya dia.

Politisi Nasdem asal Kecamatan Gending ini juga mengungkapkan, bahwa para mahasiswa yang berunjuk rasa sejatinya ingin memberikan manfaat pada masyakarat. Karena, para mahasiswa tersebut berpikir secara ilmiah.

“Saya dulu sebagai aktivis ya sama pernah melakukan aksi demo. Tapi tidak pernah anarkis dan merugikan orang lain. Karena ingin memberikan manfaat pada masyakarat,” tuturnya.

Diberitakan selumnya, aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Kabupaten Probolinggo pada 8 Oktober 2020, membuat pendemo anarkis dan merusak aset Pemkab Probolinggo.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Omnibus Law RUU Cipta Kerja Disahkan, Ini Pasal-pasal yang Jadi Sorotan

IDTODAY NEWS – Omnibus law RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan di rapat paripurna DPR kemarin. Namun, ada sejumlah pasal yang menjadi sorotan.

Kesepakatan soal RUU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Turut hadir dalam rapat Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.

Ada 7 UU yang dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja, utamanya UU tentang pendidikan, serta 4 UU yang dimasukkan dalam pembahasan. Ada pula perubahan mengenai jumlah bab dan pasal dalam RUU Cipta Kerja.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi pembahasan RUU Cipta Kerja di Baleg DPR secara terbuka.

Usai Airlangga menyampaikan pendapat mewakili pemerintah, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta persetujuan anggota Dewan yang hadir untuk pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Pertanyaan itu mendapat persetujuan dari anggota DPR di ruang rapat.

“Perlu kami sampaikan berdasarkan yang telah kita simak bersama. Sekali lagi saya memohon persetujuan di forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?” tanya Azis.

“Setuju,” jawab anggota Dewan yang hadir.

Kendati demikian, terdapat sejumlah pasal yang terus disorot. Berikut ini beberapa pasalnya:

  1. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Salah satu pasal UU Ciptaker merevisi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), termasuk pasal sakti penjerat pembakar hutan.

Berdasarkan draf RUU Cipta Kerja yang dikutip detikcom, Senin (5/10/2020), salah satu pasal yang direvisi adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.

Pasal 88 berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.

  1. Pasal Pendidikan

DPR menyatakan klaster pendidikan telah dikeluarkan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kini DPR telah mengesahkan RUU itu menjadi UU. Ternyata pasal yang mengatur soal pendidikan masih ada dalam UU Cipta Kerja.

Masalah ini menjadi sorotan Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS). Mereka terkejut mengetahui draf final yang disahkan menjadi undang-undang itu ternyata masih mengatur soal pendidikan.

“Pihak DPR pun telah membuat pernyataan ke publik bahwa klaster Pendidikan telah dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun yang membuat kami kaget, draf final RUU Cipta Kerja yang akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI, paragraph 12 pasal 65 masih mengatur mengenai perizinan sektor pendidikan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Cipta Kerja,” kata Ketua Umum PP PKBTS, Cahyono Agus dalam keterangan pers tertulis, Senin (5/10/2020).

Berikut adalah pasal soal pendidikan dalam draf RUU Cipta Kerja yang dimaksud:

Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 65
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan, mengingat, sesuai dengan pasal 1 huruf d UU No 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefinisikan ‘usaha’ sebagai setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba,” kata Cahyono Agus.

  1. Pasal soal Pesangon

Yang juga dipermasalahkan dalam UU Ciptaker adalah pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah, dengan rincian 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan besaran pesangon tersebut hanya untuk pekerja dengan waktu kerja di atas 24 tahun dan dengan alasan tertentu. Jadi, besaran pesangon tersebut sebenarnya juga tidak bisa dinikmati oleh semua pekerja selama ini.

“32,2 kali upah itu adalah pesangon paling tinggi dan itu didapat untuk pekerja-pekerja yang punya usia kerja 24 tahun ke atas. Alasan PHK-nya juga tertentu, satu karena meninggal dunia, dua karena pensiun, tiga karena di PHK karena efisiensi, empat karena perusahaan merger tidak boleh ikut perusahaan baru, jadi tidak seluruh PHK (dapat 32,2 kali upah),” kata Timboel kepada detikcom, Senin (5/10/2020).

Jika dibuat simulasi, maka begini jadinya. Seorang pekerja sebut saja Andin memiliki gaji pokok sesuai upah minimum provinsi (UMP) Jakarta saat ini Rp 4,2 juta. Setelah bekerja selama 8 tahun 3 bulan, dia terpaksa berhenti kerja karena perusahaan melakukan efisiensi. Berapa uang pesangon yang diterima Andin?

Berdasarkan draft RUU Cipta Kerja yang diterima detikcom dari sumber, Senin (10/5/2020), dengan masa kerja 8 tahun atau lebih, Andin mendapat pesangon 9 bulan upah. Di dalam UU Nomor 13 2003 yang dulu, jika pekerja kena PHK dengan alasan efisiensi maka perusahaan berhak memberikan 2 x 9 bulan upah = 18.

Ditambah dengan uang penghargaan masa kerja yang termasuk 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, Andin mendapat 3 bulan upah. Itu berarti 18 (pesangon) + 3 = 21.

Jika sudah ditentukan jumlah pesangon (21), dikalikan dengan gaji Andin Rp 4,2 juta = Rp 88,2 juta, segitu uang pesangon yang diterima Andin.

Selain itu, berikut perhitungan uang pesangon paling sedikit:

a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah.
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah.
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah.
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah.
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah.
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah.
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

Sedangkan perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan berdasarkan:
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah.
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah.
c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah.
d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah.
e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah.
f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah.
g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah.
h. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja ketika terjadi PHK diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sumber: detik.com

Kategori
Politik

UU Cipta Kerja Disahkan: Jatah Libur Buruh Cuma 1 Hari dalam Sepekan

IDTODAY NEWS – DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020. Beleid dengan tebal 905 halaman ini memang menimbulkan banyak kontroversi hingga jadi perbincangan dan debat panas di media sosial.

Muncul banyak penolakan dari berbagai pihak, khususnya pekerja/buruh yang merasa dirugikan dengan ketentuan ini. Yang menarik dalam draf final UU Cipta Kerja adalah persoalan jam kerja dan waktu istirahat buruh. Ada perbedaan terkait waktu istirahat mingguan yang juga jadi tuntutan buruh.

Dikutip VIVA pada Bab IV Ketenagakerjaan halaman 436 pasal 79, diatur tentang waktu istirahat dan cuti. Seperti biasanya, ayat 1 menjelaskan bahwa pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti.

Lalu, ayat 2 huruf (a) dijelaskan bahwa waktu istirahat saat jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus. Waktu istirahat itu tidak termasuk dalam jam kerja. Ketentuan ini sama seperti diatur Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Yang berbeda, adalah istirahat mingguan yang kini hanya ditentukan satu hari dalam sepekan.

“Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu,” demikian bunyi ayat 2 huruf (b) di Omnibus Law Cipta Kerja itu.

Ketentuan ini menghapus aturan UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang membuka opsi libur dua hari sepekan. Sebagaimana termuat dalam pasal 79 UU sebelumnya bahwa masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 hari setelah 6 hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 hari setelah lima hari kerja dalam satu minggu.