IDTODAY NEWS – Para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ramai-ramai angkat bicara terkait pernyataan komika Pandji Pragiwaksono yang membanding-bandingkan ulama FPI dengan NU dan Muhammadiyah.

Celotehan Pandji seolah ‘pro’ FPI itu menjadi perbincangan di jagat maya, lantaran menyinggung dua ormas islam terbesar di Indonesia.

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand menekankan, pernyataan nyeleneh Pandji seolah mencontohkan dirinya sebagai elitis.

“Bang @pandji nyontohin dirinya sendiri kalau ada yang Assalamu alaikum ketok pintu dia gak bukain. Terus itu sebabnya orang ketuk pintu ke FPI, bukan ke Kiai NU dan Muhammadiyah. Pertanyaannya, Bang Pandji itu Kiai NU atau Muhammadiyah? Kok narik kesimpulannya doi gitu yah,” cuit Gus Nadir, sapaan karib Nadirsyah Hosen di akun Twitter @na_dirs, dikutip Minggu (24/1/2021).

Cuitan lain juga diungkapkan tokoh NU lainnya Akhmad Sahal. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika Serikat tersebut menyebut Pandji salah mengartikan pernyataan sosiolog Thamrin Tomagola.

“Klaim bahwa FPI merakyat, NU-Muhammadiyah elitis itu dari Pandji. Menurut Thamrin, miskin kota di DKI tidak terjangkau NU-Muhammadiyah. Ceruk itu digarap FPI. Konteksnya Jakarta thok. Selanjutnya Thamrin ga muji-muji FPI, hanya analisis sosiologis saat itu (2012),” celoteh Sahal di laman Twitternya @sahal_as.

Dari cuitan Sahal tersebut, Pandji gerenalisasi kejadian yang menimpa FPI di Jakarta seolah-olah terjadi di seluruh Indonesia, padahal kenyataannya tidak demikian.

“Beda dengan @pandji yang muji-muji FPI sebagai merakyat, Prof Tamrin, setelah insiden “siram teh”, menyebut jubir FPI Munarman sebagai preman,” ketusnya lagi.

Pandji dianggap tidak memahami secara baik pernyataan Thamrin Tomagola pada tahun 2012 dijadikan sebagai acuan untuk melihat kondisi 2021.

“Beda dengan Pandji yang mingkem soal aksi-aksi kekerasan dan intoleransi FPI, Tamrin konsisten minta agar FPI ditindak tegas, seperti dalam twitnya beberapa minggu lalu,” tegas Sahal.

Artinya, Sahal menyimpulkan sejumlah kesalahan fatal yang dilakukan Pandji. Jika disebut NU-Muhammadiyah kurang menyambangi warga miskin di kota-kota besar seperti Jakarta, itu bukan berarti elitis. Melainkan punya keterbatasan dan kelemahan. Istilah elitis itu jika ia menolak disambangi atau menolak silaturahmi.

Sebelumnya, Thamrin Tomagola memberikan klarifikasi terkait pernyataannya yang dikutip oleh Pandji. Ia menyebut konteksi pembicaraannya waktu itu adalah kondisi Jakarta.

“Konteks pembicaran saat itu adlh membahas kondisi kehidupan kelompok MISKIN KOTA (MISKOT) di peekampungan KUMUH MISKIN (KUMIS) JAKARTA,” kata Tamrin Tomagola melalui akun Twitter pribadinya, @tamrintomagola, Jumat (22/1/2021).

Baca Juga  Polisi Punya Kabar Terbaru soal 4 Laskar yang Melarikan Diri

Ia menyebut peran NU dan Muhammadiyah dalam meringankan beban warga miskin di Jakarta kurang maksimal.

“NU dan Muhammadiyah kurang menyambangii dan mendampingi meringankan beban kehidupan Ummat kelompok MISKIN KOTA (MISKOT) di perkampungan KUMUH MISKIN (KUMIS) JAKARTA,” katanya.

Menurut Thamrin, kekosongan pendampingan itu kemudian diisi oleh FPI.

“FPI punya konsep “KIAI KAMPUNG yang pintu rumahnya terbuka 24 jam untuk Ummat kelompok MISKIN KOTA (MISKOT) di perkampungan KUMUH MISKIN (KUMIS) JAKARTA; sama seperti terbukanya 24 jam pintu rumah para Kiai NU di pedesaan Jawa dan Kalimantan,” sebutnya.

Baca Juga: Anggota DPR Minta Pembahasan RUU Pemilu Dibatalkan

Sumber: fajar.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan