IDTODAY NEWS – Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker). Menurut Koordinator P2G Satriwan Salim, ada empat hal yang membuat mereka mengecam cluster pendidikan masih bercokol dalam UU ini.
Pertama, alasan ideologis. P2G menganalisis bahwa dijadikannya pendidikan sebagai sebuah aktivitas usaha yang muatannya ekonomis jelas mengkhianati nilai Pancasila khususnya sila II dan V.
Sebab, pendidikan nanti makin mahal, jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak miskin, sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi.
“Yang muncul adalah pendidikan bukan lagi sebagai aktivitas peradaban, melainkan semata-mata aktivitas mencari untung atau laba,” ujar Satriwan di Jakarta, Selasa (6/10).
Begitu pula prinsip keadilan dalam pendidikan, hanya akan jadi utopia, sebab pendidikan yang dikomersialisasikan menjadi pintu masuk ketidakadilan.
Kedua, alasan yuridis konstitusional. UU ini jelas-jelas mengkhianati jiwa UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea IV; Pasal 28C ayat 1; dan Pasal 31 ayat 1. Yang terang-benderang menjelaskan bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak dasar warga negara.
Sekarang bagaimana semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ketika pendidikan menjadi mahal dan menjadi sebuah aktivitas ekonomi, menjadi sebuah kegiatan berusaha.
“Rasanya saya jadi malu mendidik siswa tentang materi hakikat demokrasi, kedaulatan rakyat, dan lembaga DPR, jika DPR sendiri tidak benar-benar mewakili aspirasi rakyat, tetapi mewakili investor. DPR bertanggungjawab atas dibukanya kembali kapitalisasi pendidikan,” terang Satriwan.
Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ini menambahkan, para guru PPKn serta Sejarah se Indonesia wajib memberikan pemahaman kepada siswa, betapa lebih mengancamnya neoliberalisme dan neokapitalisme ketimbang ribut melulu soal kebangkitan PKI yang sudah bangkrut itu.
Ketiga, alasan pedagogis. Fauzi Abdillah, kepala Bidang P2G mengatakan, orientasi memperoleh keuntungan/laba dalam pendidikan mengabaikan pendekatan student-centered yang fokus mengatasi kebutuhan belajar, minat, dan aspirasi dari siswa.
Siswa perlu mendapatkan pengalaman belajar dan pencapaian pembelajaran yang mencukupi, bukan seberapa besar guru atau sekolah mendapatkan untung. Pengajar milenial ini menjelaskan, kualitas pendidikan idealnya tidak ditentukan oleh seberapa mahal sekolahnya.
Hal tersebut berpotensi menghapus gagasan pendidikan berkualitas harus inklusif dan adil, agar kesempatan belajar sepanjang hayat bisa terwujud untuk semua.
Tanpa terkecuali, upaya pendidikan harus berkualitas untuk memenuhi hak warga negara Indonesia. Idealnya pendidikan harus lepas dari pengaruh seberapa besar investasi yang masuk, serta seberapa untung yang didapat.
“Jangan sampai justru ini jadi kenormalan baru, bahwa kita harus mengeluarkan biaya yang banyak agar bisa mengakses pendidikan yang berkualitas,” tandasnya.
Keempat, secara sosiologis, munculnya pembedaan performa lembaga pendidikan mahal dan murah akan memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Ekosistem pendidikan yang eksklusif dan diskriminatif tersebut akan mempersulit upaya mempersatukan bangsa.
Negara wajib memenuhi hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, bukan pendidikan yang menguntungkan segelintir kapitalis dari kalangan atas.
Oleh karena itu Satriwan mengungkapkan, jalan terakhir sebagai upaya penolakan UU ini adalah masyarakat sipil dan para pegiat pendidikan khususnya dapat membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diujimaterilkan.
“Semoga UU ini bernasib sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan dan Pasal tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) dalam UU Sisdiknas, yang keduanya dibatalkan oleh MK beberapa tahun lalu,” pungkas Satriwan.
Sumber: fajar.co.id