IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo , melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diagendakan segera membuka seleksi pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Konsekuensinya, tahun ini seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk para guru honorer tersebut ditiadakan.
Walaupun pemerintah menyatakan bahwa status PPPK setara dengan PNS dalam hal gaji dan tunjangan, kebijakan ini dinilai belum cukup untuk mengangkat kesejahteraan guru honorer di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan ribu.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) 2016-2021, Muhammad Ramli Rahim, menyatakan bahwa mengangkat guru honorer menjadi PPPK tidak akan serta merta membuat mereka sejahtera, hal ini karena banyak akar masalah lain yang harus diselesaikan oleh pemerintah, termasuk aturan terkait sistem rekrutmen guru, pelatihan guru serta tidak adanya penghargaan terhadap guru yang telah mengabdi bertahun-tahun.
Ramli mengatakan bahwa status guru honorer semakin tidak jelas karena buruknya sistem rekrutmen di sekolah-sekolah. Banyak guru honorer matematika, contohnya, yang tidak bisa berhitung. Namun, banyak pula guru honorer yang kualitasnya jauh lebih baik dibanding guru PNS. Tapi status mereka tetap tidak jelas karena bahkan kepala sekolah pun tidak mau menerbitkan Surat Keterangan (SK).
“Tidak ada sistem yang terukur dari Kemendikbud. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Pemerintah daerah, misalnya, tidak mau menerbitkan SK karena tidak mau terjadi konsekuensi terhadap anggaran. Ini artinya pemerintah tidak berpihak pada pendidikan. Mereka bahkan enggan membayar para guru [honorer],” kata Ramli dalam diskusi virtual bertajuk Guru Honorer dan Peran Anak Bangsa yang diadakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) United Kingdom, Sabtu (6/2).
Selain Ramli, diskusi yang dimoderatori oleh Asri Oktavioni Indraswari, kandidat PhD Earth Science dari University of Oxford, tersebut juga dihadiri beberapa pembicara lain, yaitu Prof. Dr. Ir Muhammad Nuh, DEA, yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2009-2014, Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, serta Dwiko dari Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Tahun ini, pemerintah menyiapkan kuota untuk satu juta guru honorer untuk diangkat menjadi PPPK. Namun, Ramli mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan sulit terealisasi karena pemerintah daerah meragukan komitmen pemerintah terkait sumber dana untuk menggaji guru honorer yang diangkat menjadi PPPK. Hingga kini, pemerintah daerah belum maksimal dalam menyajikan data ke pusat tentang jumlah guru honorer yang dapat diangkat.
“Kami tanya ke [beberapa] pemerintah daerah, ternyata mereka menyatakan bahwa belum ada komitmen dari pemerintah pusat bahwa gaji PPPK ditanggung oleh APBN. Mereka takut bahwa semuanya akan ditanggung oleh APBD karena mereka tidak akan sanggup,” kata Ramli.
Ramli mengingatkan bahwa pemahaman pemerintah daerah masih sangat beragam. Oleh karena itu, dibutuhkan ketegasan dari pemerintah pusat agar masalah yang terjadi di daerah dapat diselesaikan.
Nunuk Suryani, menegaskan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi PPPK adalah salah satu bentuk keberpihakan dan keseriusan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Menurutnya, aturan pemerintah menyatakan bahwa mereka yang di atas usia 35 tahun sudah tidak bisa mengikuti seleksi CPNS, sementara 95% guru honorer rata-rata berusia di atas 35 tahun.
“Artinya, kesempatan untuk mengikuti seleksi CPNS sudah tertutup bagi mereka. Maka dari itu, PPPK adalah salah satu cara agar mereka mendapatkan kesejahteraan yang layak. Bayangkan, masih banyak dari mereka yang digaji di bawah Rp300.000 per bulan. Dengan PPPK, mereka bisa lebih sejahtera,” kata Nunuk.
Menurut data Kemendikbud, besaran gaji guru honorer rata-rata adalah Rp50.000 – Rp350.000 per bulan, tergantung kemampuan sekolah masing-masing. Jika diangkat menjadi PPPK, mereka dijanjikan gaji sebesar Rp2,9 juta per bulan, ditambah tunjangan dan sertifikasi.
“Jika mereka sudah dapat sertifikasi, maka gajinya akan menjadi dua kali lipat, ditambah tunjangan profesi,” kata Nunuk.
Sementara, Siti Fatima mengaku telah mengajar selama Sembilan tahun di pedalaman Manggarai Barat dengan mendapat upah hanya sebesar Rp300.000 per bulan. Padahal, untuk sampai ke sekolah tempatnya mengajar, ia harus menempuh perjalanan yang jauh dan medan yang sulit.
Hal serupa juga dirasakan oleh para guru honorer lain, seperti Kahar, Asnawati, Mukimnah, dan lainnya, yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Bagi mereka, segala keterbatasan tidak menghentikan niat tulus dan ikhlas mereka untuk melayani dan memberikan pengajaran bagi para siswa yang menimba ilmu di sekolah.
Ramli menceritakan sebagian besar guru honorer, terutama yang mengajar di sekolah negeri, sangat jauh dari kesejahteraan. Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, misalnya, gaji guru honorer hanya Rp100.000 per bulan. Gaji tersebut pun dibayarkan tiga bulan atau enam bulan sekali.
“Mereka ini mayoritas sudah berhenti jadi guru, karena dibayar murah. Tapi ketika mereka berhenti, murid-murid datang ke rumahnya meminta mereka kembali karena tidak ada lagi pengajar pengganti. Akhirnya mereka kembali mengajar. Jadi ini semua adalah panggilan hati,” kata Ramli.
Sementara itu, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Muhammad Nuh menekankan pentingnya menghargai para guru atas jasa mereka mencetak para pembelajar sejati.
“Kita harus bersama-sama membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam hal pendidikan contohnya, terdapat beasiswa-beasiswa yang diberikan oleh pemerintah. Memberikan bantuan untuk para guru juga termasuk salah satu cara memenuhi janji kemerdekaan,” paparnya.
Ketua PPI UK, Gatot Subroto, M. Si, mengungkapkan bahwa selayaknya pemerintah menempatkan guru di posisi terhormat dalam hidup. “Karena kami bisa kuliah, belajar dan bekerja karena guru,” tuturnya.
PPI UK, bekerja sama dengan ACT, melakukan penggalangan dana untuk membantu guru honorer di wilayah Indonesia timur, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
PPI UK menargetkan untuk mengumpulkan donasi sebanyak kurang lebih Rp100 juta yang nantikan akan diberikan kepada 52 guru honorer dari tiga sekolah. Hingga kini, dana yang sudah terkumpul adalah sebesar Rp16 juta. Kampanye penggalangan dana ini akan berlangsung hingga Maret 2021.
“Bantuan ini memang tidak seberapa, tapi kami harap dapat membantu mereka. Kami juga ingin mengajak masyarakat, khususnya para mahasiswa untuk meningkatkan awareness terhadap kesejahteraan para guru honorer,” kata Gatot.
Sementara itu, Dwiko dari tim ACT mengatakan pihaknya tengah berjalan memberikan bantuan bagi seluruh guru honorer di Indonesia. Hingga kini, sudah ada 40 kabupaten/kota dari 13 provinsi yang telah menerima bantuan.
“Jenis bantuannya ada tiga jenis. Pertama, bantuan biaya hidup. Kedua, bantuan pangan. Terakhir, peningkatan kapasitas guru. Ketiganya sudah berjalan,” kata Dwiko.
Ia juga menceritakan bahwa kondisi para guru honorer khususnya di Indonesia timur sangat memprihatinkan. Kondisi semakin buruk selama pandemi Covid-19 kini. Akses mereka pun sangat sulit.“Oleh karena itu, kami mendorong bantuan dari teman-teman untuk bersama membantu para guru honorer,” imbuh Dwiko.
Baca Juga: Kapolres Intan Jaya: Dari Dulu, Setiap Dana Desa Keluar KKB Selalu Minta Jatah…
Sumber: sindonews.com