Kategori
Hukum

Kesejahteraan Hakim, Agenda Tak Kunjung Usai

IDTODAY NEWS – Pemenuhan jaminan kesejahteraan bagi para hakim dan peningkatannya merupakan aspek yang tidak pernah habis dibahas. Independensi hakim bisa teguh dan kuat jika kesejahteraan para hakim bersama keluarganya terpenuhi dengan baik dan benar. Negara tidak boleh abai karena pemenuhan dan peningkatannya adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar.

Amanah yang termaktub dalam berbagai undang-undang (UU) harus ditunaikan dengan tuntas. Pun Komisi Yudisial (KY) mestinya menjadikan peningkatan kesejahteraan hakim sebagai prioritas. Berikutnya KY bersama Mahkamah Agung (MA) harus konsisten bersinergi serta duduk bersama pemerintah guna mengatasi ketimpangan.

Dengan peningkatan kesejahteraan dan kapasitas hakim disertai penegakan kode etik pedoman dan perilaku hakim, tentu diharapkan dapat mewujudkan profesi hakim yang bermartabat, bertanggung jawab, dan berintegritas. Muaranya tentu saja untuk menciptakan keadilan bagi para pencari keadilan.

Ketua MA Muhammad Syarifuddin mengatakan, peningkatan kesejahteraan hakim dan aparatur peradilan menjadi salah satu prioritas bagi MA di masa kepemimpinan Syarifuddin periode 2020–2025. Karena itu, kata dia, MA akan terus mendorong penyelesaian perubahan kedua terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 serta merealisasikan peningkatan remunerasi aparatur sipil negara (ASN) peradilan.

“Mahkamah Agung juga mendorong perbaikan tunjangan pensiun hakim dengan hak tunjangan pensiun sebagai pejabat negara,” tegas Syarifuddin saat menyampaikan pidato perdananya di Gedung MA, Jakarta pada Rabu, 13 Mei 2020.

Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Yanto mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman dan beberapa UU lainnya, jelas sekali disebutkan bahwa hakim merupakan pejabat negara. Sejumlah UU tersebut dengan jelas juga menyatakan dan mengamanahkan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, berkewajiban memenuhi di antaranya jaminan kesejahteraan hakim dan peningkatannya.

Yanto membeberkan, jika dibandingkan dengan negara lain, dari segi gaji pokok hakim, maka Indonesia sangat kecil. Contohnya di Jepang, untuk hakim tingkat pertama, gaji pokoknya sekitar Rp120 juta; dan di Belanda, gaji pokoknya sekitar Rp90 juta. Yanto mengetahui perbandingan itu karena dia pernah ikut dalam studi banding ke Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat.

“Kalau di Indonesia, seperti saya sebagai hakim tinggi, ya Rp3,5 juta gaji pokoknya. Kalau dibandingkan dengan luar negeri, ketimpangannya jauh sekali,” ungkap Yanto saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Dia menggariskan bahwa dia pernah menjabat sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus kurun 22 September 2017 hingga pertengahan Juni 2020. Dia menegaskan tidak ada fasilitas rumah negara atau rumah dinas bagi Yanto sebagai ketua PN sepanjang dua tahun menjabat atau hingga 2019. Karena itu, dia harus merogoh kocek pribadi untuk menyewa rumah. Baru tahun ini atau 2020, pemerintah memberikan bantuan Rp2,5 juta per bulan untuk biaya sewa rumah dinas.

“Kalau Rp2,5 juta, itu buat sewa apartemen saja nggak cukup, karena apartemen itu yang kecil saja Rp5 juta untuk ukuran ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rumah dinas saja antara pusat dan daerah bisa merasakan. Biaya sewa rumah di Jakarta lebih tinggi,” katanya.

Dia memaparkan, para hakim juga tidak pernah ada uang lembur. Dia mencontohkan, di PN Jakarta Pusat acap persidangan berlangsung hingga malam hari bahkan sampai tengah malam atau hingga hari berganti. Di PN Jakarta Pusat pun, hakim paling cepat pulang pukul 21.00 WIB. Untuk itu, Yanto meminta sesekali unsur pemerintah dan masyarakat umum bisa hadir dan melihat bagaimana jalannya persidangan dan para hakim bekerja untuk para pencari keadilan hingga tengah malam.

“Kalau sidang sampai tengah malam, kita nggak pernah ada uang lembur di Jakarta Pusat. Beda dengan anggota dewan ada uang sidang, ada uang lembur. Kita kan tidak pernah ada uang lembur,” ujarnya.

Mantan ketua PN Sleman ini mengatakan, untuk peningkatan kesejahteraan bagi para hakim maka Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) harus saling berkomunikasi secara efektif dan intensif guna menjalankan kerja sama yang baik. Kedua lembaga itu juga harus bersinergi secara utuh guna memperjuangkan serta duduk bersama dengan pemerintah untuk membahas pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan bagi para hakim.

“Kalau (MA dan KY) ribut terus, mana ada kerja sama yang baik. Harus sinergi dong. Ya, harus bahu-membahu untuk meningkatkan kesejahteraan kita. Sangat perlu banget MA dan KY duduk dengan pemerintah untuk membahas ini,” bebernya.

Hakim agung sekaligus Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa pemenuhan jaminan kesejahteraan bagi para hakim hingga ketersediaan anggaran merupakan tugas dan tanggung jawab negara. Apalagi berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, jelas sekali disebutkan bahwa hakim pada MA dan badan peradilan di bawahnya merupakan pejabat negara.

Andi mengatakan apa yang diceritakan oleh Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Yanto merupakan fakta dan keadaan yang sebenarnya terjadi. “Di atas kertas hakim memang pejabat negara, tapi harus terus diperjuangkan. Mudah-mudahan terealisasikan lah. Pemerintah juga tanggap kan. Mudah-mudahan suara kita didengar, suara hakim-hakim kita di daerah didengar,” kata Andi kepada KORAN SINDO.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Sarifuddin Sudding mengatakan selama ini politik anggaran Indonesia memang tidak berpihak pada pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan para hakim. Dia menuturkan, dari berbagai kunjungan kerja Komisi III DPR ditemukan fakta bahwa keadaan para hakim di daerah-daerah sungguh memprihatinkan. Sudding mengaku sering kali dia menyuarakan pemenuhan dan peningkatan tersebut didorong oleh Komisi III ke pemerintah untuk dilaksanakan.

“Saya kira menjadi suatu keniscayaan kalau kesejahteraan mereka itu menjadi perhatian. Peningkatan kesejahteraan para hakim harus jadi perhatian serius negara, dalam hal ini pemerintah. Harus. Menurut saya, itu harus dilakukan jika kita ingin menjaga keluhuran, harkat, dan martabat seorang hakim,” ujar Sudding saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Dia menceritakan, para hakim di daerah-daerah acap mengontrak atau menyewa rumah karena tidak ada dan tidak tersedia rumah dinas. Selain itu, ada banyak hakim juga tidak memiliki kendaraan dinas. Akibatnya ketika hendak ke kantor, para hakim harus naik mobil tumpangan atau angkot atau ojek. Berikutnya, tutur Sudding, pemenuhan layanan kesehatan bagi para hakim dan keluarganya pun masih belum terpenuhi dengan baik dan layak.

“Ketika tingkat kesejahteraan mereka tidak mencukupi dan itu bisa menjadi bahan pikiran bagi para hakim, layanan kesejahteraan terhadap para hakim sebagai benteng terakhir para pencari keadilan ini benar-benar harus jadi perhatian khusus. Politik anggaran harus memihak kepada mereka,” paparnya.

Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengungkapkan, sebenarnya MA yang paling mengetahui dan mengerti secara spesifik apa saja faktor masih belum optimalnya pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan bagi para hakim di seluruh Indonesia. Di sisi lain, ujar dia, salah satu tugas yang dimiliki KY yakni mengupayakan dan mendorong peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Untuk upaya ini, kata Jaja, pihaknya sudah melakukan survei dan hasilnya telah diberikan ke pihak-pihak terkait.

“Tetapi sekarang kan sudah mulai terpenuhi, misalnya fasilitas perumahan (rumah dinas) sudah ada hak keuangannya. Kemudian hak kesehatan juga sudah, hak keuangan atas transportasi sudah, dan jaminan keamanan juga sedang diupayakan. Kalau menurut saya cukuplah, sekarang sudah terwujud. Tapi memang kalau bicara besar-kecilnya kan orang akan terjadi perbedaan (pendapat),” ujar Jaja saat dihubungi KORAN SINDO.

Sumber: sindonews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *