Kategori
Politik

Ramai-ramai Minta Jenderal Moeldoko Mundur dari KSP, Mulai Saiful Mujani hingga Nasution

IDTODAY NEWS – Pengamat Politik Saiful Mujani menyarankan Jenderal (Purn) Moeldoko mundur dari Kantor Staf Presiden (KSP). Selain Mujani, beberapa politisi juga menyerukan hal sama.

Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melalui akun Twitter-nya @@saiful_mujani, Selasa (2/2/2021) mengatakan, tindakan cawe-cawe terhadap internal partai orang lain adalah tindakan kasar.

“Wow, pejabat negara cawe-cawe politik internal partai orang. Kasar Pak Jendral,” ungkapnya.

Direktur SMRC ini juga melampirkan tautan sebuah berita berisi komentar Moeldoko yang menjawab tudingan Demokrat kepadanya. Judulnya “Moeldoko Soal Isu Demokrat: Jangan Ganggu Jokowi, Ini Urusan Saya”.

“Tapi nasi sudah jadi bubur. Langkah ksatria adalah Pak Moeldoko mengundurkan diri dari KSP untuk menjaga kehormatan kantor presiden dan presiden sendiri,” kata Saiful lagi di akun Twitternya @saiful_mujani, Selasa (2/2/2021).

Menurut Direktur SMRC ini, para pemerhati Indonesia di luar negeri sudah mulai berkesimpulan bahwa di bawah Presiden Jokowi, otoritarianisme sudah kembali lagi ke Indonesia.

“Kalau tak mengundurkan diri ya dimundurkan. Dari pada opini tak sehat bahwa presiden intervensi internal partai orang,” katanya.

“Para indonesianis di luar udah berkesimpulan di bawah presiden jokowi otoritarianisme udah kembali. apakah mau mengkonfirmasi kesimpulan itu?,” katanya lagi.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Irwan mendesak Moeldoko mundur dari jabatan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Permintaan ini disampaikan usai Moeldoko diduga terlibat dalam

Menurutnya, Moeldoko harus mundur dari jabatan Kepala KSP demi menjaga marwah Presiden Joko Widodo.

“Secara kesatria seharusnya pak Moeldoko mengundurkan diri,” ucap Irwan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/2).

Irwan mengatakan langkah mundur sebaiknya dilakukan Moeldoko sebelum publik meminta Jokowi untuk memberhentikannya secara langsung.

Irwan juga meminta Moeldoko mempertanggungjawabkan pernyataan yang meminta agar pertemuan dengan sejumlah kader Demokrat tidak dikaitkan dengan Jokowi.

“Pak Moeldoko bilang tidak perlu mengaitkan dengan Pak Jokowi, konsekuensinya mundur dong atau dimundurkan oleh Presiden,” kata Irwan

Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, Syahrial Nasution menyampaikan hal sama kepada Moeldoko.

Jika mantan panglima TNI itu ingin menjadi calon presiden di Pilpres 2024 mendatang, Moeldoko harus mundur dari KSP supaya focus persiapan menghadapi Pilpres 2024.

Nama Moeldoko sendiri tengah dikaitkan dengan upaya pengambilalihan Demokrat, yang bertujuan untuk memuluskan jalan menuju Pilpres 2024.

“Moeldoko jangan jadi beban negara dan Presiden Jokowi. Mundurlah dari jabatan Kepala KSP, fokus bersiap sebagai Capres 2024,” tegasnya lewat akun Twitter pribadinya, Rabu (3/2).

Dia mengingatkan bahwa semakin terungkapnya gerakan-gerakan yang digalang Moeldoko untuk mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari singgasananya akan berimbas pada citra Jokowi.

“Itu memperburuk citra Istana. Setidaknya, kok bisa kena OTT?” kata Syahrial.

Baca Juga: Ahmad Khoirul Umam: Wajar AHY Merespons Cepat dan Tegas

Sumber: pojoksatu.id

Kategori
Politik

Mau Kudeta AHY, Saiful Mujani Sarankan Moeldoko Secara Kesatria Mundur dari KSP

IDTODAY NEWS – Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menganggap upaya kudeta Partai Demokrat melibatkan salah satu pejabat negara yakni Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko.

Hal ini memantik komentar dari Peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Saiful Mujani.

Bahkan dia meminta kepada Moeldoko untuk mengundurkan diri dari posisi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) sebagaimana disampaikannya dalam akun Twitter pribadinya @saiful_mujani pada Selasa (2/2/2021).

“Tapi nasi sudah jadi bubur. langkah kesatria adalah pak muldoko mengundurkan diri dari ksp untuk menjaga kehormatan kantor presiden dan presiden sendiri,” tulis Saiful Mujani.

Menurut Saiful, ikut campurnya Moeldoko dalam politik internal Partai Demokrat bisa disebut sebagai konflik kepentingan. Pasalnya, Moeldoko tengah menjadi pejabat KSP.

Oleh karena itu Saiful menilai bahwa mundurnya Moeldoko sangat penting untuk menjaga martabat Kantor Presiden dan Presiden Joko Widodo.

Namun, kata Saiful, Moeldoko semestinya mengundurkan diri dari KSP sebagai langkah kesatria dan untuk menghormati Presiden.

Karena jika tidak mengundurkan diri, Presiden dinilai sudah mengintervensi dan bahkan, Jokowi disebut sebagai otoritarianisme oleh pihak luar.

Menurut dia, jika pejabat negara ikut campur dalam politik internal partai orang lain dianggap sebagai tindakan kasar. “Wow, pejabat negara cawe2 politik internal partai orang. kasar pak jendral,” cuit Saiful Mujani.

Bahkan pria yang juga Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini menyarankan kepada Moeldoko untuk bergabung saja dengan Partai Demokrat.

Hal ini lantaran Moeldoko ingin ikut campur dalam politik internal tersebut. Lantas bagaimana jika Moeldoko tak mundur atau mengundurkan diri dari posisi Kepala KSP?

Pada cuitannya itu Saiful Mujani menilai bahwa Moeldoko harus dimundurkan agar tak berkembang opini bahwa Presiden Jokowi mengintervensi internal Partai Demokrat.

Sebaba, menurut dia saat ini telah berkembang di luar negeri adanya anggapan bahwa di bawah pemerintahan Jokowi sudah muncul lagi otorianisme.

“Kalau tak@mengundurkan diri ya dimundurkan dari pada opini tak sehat bahwa presiden intervensi internal partai orang. para indonesianis di luar udah berlesimpulan di bawah presiden jokowi otoritarianisme udah kembali. apakah mau mengkonfirmasi kesimpulan itu?,” tulis Saiful Mujani sembari menautkkannya ke akun salah satu Indonesianis dari Australian National University Marcus Mietzner di @MarcusMietzner

Sebelumnya, politisi Partai Demokrat, Andi Arief menyebut bahwa Moeldoko yang ingin meng-“kudeta” kepemimpinan AHY di Partai Demokrat.

“Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko,” kata Andi Arief dalam Twitternya.

Andi lantas mengungkapkan alasan AHY mengirimkan surat kepada Jokowi untuk meminta klarifikasi terkait kudeta tersebut.

“Kenapa AHY berkirim surat ke Pak Jokowi, karena saat mempersiapkan pengambilalihan menyatakan dapat restu Pak Jokowi,” pungkasnya.

Baca Juga: Fraksi PDIP Ganti Wakil Ketua Komisi IX DPR

Sumber: goriau.com

Kategori
Politik

Saiful Mujani: Populisme Islam Ancam Demokrasi Indonesia

IDTODAY NEWS – Populisme Islam mengancam kebhinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi. Populisme ini tidak hanya datang dari kelompok politik agama, melainkan juga kelompok nasionalis.

Demikian salah satu kesimpulan yang muncul dalam orasi kebangsaan Saiful Mujani yang diselenggarakan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru-baru ini.

“Terlepas dari sejumlah kekurangan di sana-sini,” kata Saiful, “bangsa Indonesia cukup berhasil dalam pembangunan politik yang relevan dengan kebhinnekaan sejak peralihan dari rezim orde baru ke orde reformasi.”

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting itu mengatakan, sejak 1998, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hak-hak politik. Tapi dalam enam tahun terakhir mengalami sedikit kemunduran dalam hal-hal yang banyak berkaitan dengan kebinnekaan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Menurut Saiful Mujani persoalan utama yang menurunkan kualitas kebebasan sipil yang terkait dengan kebhinnekaan adalah munculnya apa yang disebut sebagai islamisasi.

Namun demikian, Saiful Mujani menegaskan bahwa islamisasi pada level keluarga dan individu bukan hal yang perlu dipersoalkan.

“Yang jadi masalah bagi kebinnekaan Indonesia adalah apabila Islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah, meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam,” kata dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

Dia menambahkan bila itu yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi Indonesia sekarang: sebuah kebijakan negara, pusat atau daerah, yang hanya berlaku bagi orang Islam, dan tidak berlaku bagi non-Islam.

“Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinnekaan agama,” kata Saiful Mujani.

Saiful Mujani kemudian mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah. Dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten serta kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.

Dia menyatakan di banyak negara yang penduduknya mayoritas muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam. Tapi kasus Indonesia berbeda karena partai-partai agama (Islam) justru terlalu kecil dibanding partai-partai nasionalis.

Tapi yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, menurut sebuah studi, kebijakan publik bermuatan syari’ah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013)

Saiful menambahkan di antara legislator dari partai-partai nasionalis itu, di banyak daerah, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah.

Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam itu bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah.

Saiful Mujani menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah karena alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam.

“Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” kata dia.

“Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat, maka kebinnekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam,” Saiful Mujani menambahkan.

Sumber: suara.com