Amnesty Sebut Omnibus Law Menindas Pekerja di Indonesia

Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww)

Kata Usman, RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.

“Keleluasaan yang diberikan kepada perusahaan dalam menentukan skema penghitungan dapat merugikan pekerja di sektor tertentu karena mereka bisa saja diharuskan bekerja lebih lama dan menerima upah lembur yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dari sektor lain,” katanya.

Selain itu, Usman juga menyoroti bagaimana RUU Cipta Kerja akan merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan.

Padahal, kata Usman, selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

“Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional,” katanya.

Sementara itu dalam proses pembuatannya, penyusunan Omnibus Ciptaker dinilai tidak terbuka dan tidak transparan. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja sebagai bagian dari proses konsultasi publik. Tetapi, Usman menilai, seluruh serikat pekerja tersebut membantah klaim pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan.

Baca Juga  Pengamat Sebut Mahfud MD Tak Punya Kendali di Politik, Sering Buat Heboh

Kata dia, itu artinya tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka ​​antara otoritas pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunannya.

“Seharusnya para serikat pekerja dilibatkan dalam proses penyusunannya sejak awal, karena anggota merekalah yang akan terdampak langsung oleh RUU tersebut. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, dan itu dijamin dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Suara dan aspirasi kelompok buruh dan pekerja harusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR,” katanya

Baca Juga  Jokowi: Aparat Hukum yang Memeras adalah Musuh Negara

Sumber: tirto.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan