Kala Pandemi Jadi Dalih Negara Bungkam Protes UU Cipta Kerja

Ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, Karawang, Jawa Barat, Kamis (8/10/2020). (ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/nz)

IDTODAY NEWS – Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang pecah sejumlah kota dikhawatirkan akan menjadi klaster baru COVID-19. Pernyataan ini misalnya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Peneliti pandemi dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan kita tidak boleh terburu-buru menyimpulkan bakal ada klaster demonstrasi. Pasalnya, sejak sebelum demonstrasi–yang puncaknya terjadi pada 8 Oktober–sudah banyak klaster-klaster penularan lain, misalnya klaster perkantoran dan rumah tangga. Klaster sebelum demonstrasi penting dipahami sebab ini terkait dengan penjejakan riwayat kontak (tracing). Jika klaster yang dituju itu salah karena kesimpulan awal, maka penjejakan pun akan gagal menemukan kasus-kasus baru.

“Kenapa? Karena akan misleading. Menentukan klaster akan dilanjutkan menelusuri kontak tracing. [Jika disimpulkan ada klaster demonstrasi] yang dicari nanti adalah orang-orang [yang] demo padahal ini bukan klaster demo. Padahal dia klasternya, misalnya, di restoran,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin (12/10/2020).

Ini berbeda dengan Melbourne atau Seoul yang angka penularannya sudah kecil. Maka ketika ada demonstrasi dan diikuti penularan, penyebabnya bisa langsung disimpulkan.

Dalam konteks Indonesia, kata Dicky. sebaiknya dilakukan test, trace, dan treatment tanpa pandang bulu atau pandang klaster.

Selain di Indonesia, demonstrasi juga pecah di berbagai negara dengan berbagai macam penyebab. Di Amerika Serikat, gelombang aksi massa muncul dengan tujuan menentang rasisme dan brutalitas aparat. Aksi ini pun menuai kekhawatiran melonjaknya kasus COVID-19 di Negeri Paman Sam. Namun kekhawatiran itu tidak terbukti, berdasarkan penelitian dari National Bureau of Economic Research berjudul Black Lives Matter Protests, Social Distancing, and COVID-19.

Penelitian dilakukan dengan memantau perkembangan COVID-19 di 315 kota. Peneliti membandingkan kota yang melakukan protes sebagai sampel treatment dan kota yang tidak melakukan protes sebagai sampel kontrol (34 kota). Hasil penelitian menyimpulkan tidak terdapat perbedaan angka kenaikan kasus infeksi COVID-19 di kota-kota yang melakukan protes.

Departemen Kesehatan Minneapolis, kota yang jadi salah satu episentrum unjuk rasa, pun melakukan pengujian terhadap lebih dari 15 ribu orang. Hasilnya, hanya 1,7 persen yang positif COVID-19. Jumlah tersebut berada di bawah rata-rata seluruh negara bagian sekitar 3,6 persen.

Baca Juga  DPR Desak PBB Selidiki Asal-usul Corona, Peringatan Tuhan Atau Buatan Manusia

Penelitian menyebutkan, penggunaan masker dan demonstrasi yang digelar di luar ruangan membuat penyebaran virus lebih terkontrol kendati massa tidak menerapkan physical distancing.
Akal-akalan Menggembosi Aksi

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyimpulkan lebih jauh, bahwa COVID-19 hanya jadi dalih “untuk menghalangi orang aksi, menghalangi orang menyampaikan pendapat di muka umum, dan menghalangi masyarakat yang gelisah [untuk] menyampaikan masukan-masukan,” kepada reporter Tirto, Senin.

Ia menarik kesimpulan ini dengan mempertimbangkan ketidakseriusan pemerintah menangani pandemi. Indikasinya adalah lambannya respons pemerintah ketika pertama kali COVID-19 mulai masuk ke Indonesia. Saat itu bahkan beberapa pejabat terkesan meremehkan.

Selain itu, hingga bulan ini, strategi pemerintah untuk mengatasi pandemi masih terlihat tidak maksimal. Kebijakan 3T (test, trace, treat) masih berkisar jargon dan wacana; kematian tenaga kesehatan tak dicarikan solusinya; dan layanan kesehatan kewalahan.

Di samping itu, pemerintah tidak menerapkan upaya pencegahan COVID-19 pada dirinya sendiri. Pembahasan Cipta Kerja saat masih berstatus RUU terus dilakukan di tengah pandemi. Mereka terus merampungkan peraturan ini ketika penularan COVID-19 sudah terjadi di DPR. Setidaknya hingga 12 Oktober 19 legislator dinyatakan positif. Selain itu, virus ini juga menjangkiti ASN, staf, dan tenaga ahli sehingga total mencapai 42 orang.

Baca Juga  Kuasai UU Cipta Kerja dalam Sehari, Hotman Paris: Ini Adalah Uang

Tak cuma itu, pemerintah pun ngotot melangsungkan pilkada meski sejumlah pakar epidemiologi sudah mewanti-wanti bahayanya.

Isnur yang juga menjadi koordinator tim advokasi untuk orang-orang yang ditangkap pada aksi 8 Oktober lalu pun menilai polisi tidak menunjukkan itikad mencegah penularan COVID-19 saat menangani aksi. Ia menemukan para demonstran ditahan di satu ruangan tertutup tanpa diberikan masker dan tidak menerapkan pembatasan fisik. Dalam keterangan tertulis, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengaku polisi menangkap 5.918 orang di seluruh Indonesia yang terlibat demonstrasi.

Di lapangan pun polisi mengawal aksi menggunakan masker scuba yang tidak direkomendasikan Kementerian Kesehatan.

“Jadi aparat sendiri sudah mencontohkan praktik-praktik yang tidak sesuai prinsip penanganan Covid. Dari situ semua kita bisa lihat ya itu hanya tipu-tipu saja pada akhirnya,” kata Isnur.

Sumber: tirto.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan