Kategori
Politik

Kritisi Pidato Kenegaraan Jokowi, Fadli Zon: Selain Tak Masuk Akal, Juga Bukan Ungkapan Bijaksana

IDTODAY NEWS – Anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di Gedung DPR RI pada Jumat (14/8) kemarin, kurang realistis. Menurut Fadli Zon, salah satu yang paling mencolok dalam pidato itu adalah soal target pertumbuhan tahun depan pada kisaran 4,5 hingga 5,5 persen.

“Pidato pengantar Presiden untuk RAPBN 2021 kurang realistis,” ujar Fadli dikutip siaran persnya, Ahad (16/8).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai, target yang diucap Jokowi dalam pidatonya, tidak masuk di akal. Sebab, selama kuartal kedua 2020 kemarin pertumbuhan ekonomi anjlok hingga minus 5,32 persen.

“Bagaimana caranya melompat dari angka minus 5 persen ke angka positif 5 persen di tengah-tengah pandemi, jika sebelum pandemi saja angka pertumbuhan kita hanya bisa mepet 5 persen? Rasanya tak perlu menjadi ekonom untuk menilai target itu sama sekali jauh dari realistis,” tegas Fadli.

Fadli menilai, optimisme Presiden terkait momentum pendemi sebagai lompatan besar merupakan ungkapan terlalu muluk. “Optimisme penting, tapi realistis lebih penting lagi.” Kata dia.

Fadli berujar, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah pemulihan ekonomi atau kembali ke titik normal.

Sementara berbicara mengenai lompatan besar pada saat ekonomi seperti ini dianggapnya tak masuk akal. “Selain tak masuk akal, juga bukan ungkapan bijaksana.” Kada dia.

Setidaknya, menurut Fadli, ada empat alasan kenapa optimisme dalam pidato Presiden kemarin kurang realistis. Pertama, anggaran stimulus ekonomi yang akan diberikan pemerintah tahun depan lebih kecil daripada anggaran tahun ini.

Merujuk pada revisi APBN 2020, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini mencapai Rp695 triliun. Sementara, tahun 2021 pemerintah hanya akan menganggarkan Rp356,5.

“Artinya, dengan anggaran hampir Rp700 triliun saja pemerintah gagal mengangkat perekonomian, apalagi dengan anggaran yang berkurang hampir setengahnya,” bebernya.

Kedua, sambung dia, RAPBN 2021 menunjukkan penyusunan anggaran belanja pemerintah sejauh ini tak memiliki korelasi dengan kurva pandemi maupun proyeksinya. Patokannya adalah besaran anggaran PEN dan defisit APBN itu sendiri.

Dengan dalih pandemi, tahun ini pemerintah telah dua kali merevisi APBN 2020 yang kemudian menghasilkan anggaran PEN Rp695 triliun dan pelebaran defisit 6,34 persen (Rp1.039,2 triliun).

Ketika menyusun anggaran ini pemerintah memproyeksikan pandemi Covid-19 akan melandai pada Juli atau Agustus 2020.

“Pada kenyataannya, pandemi justru kian meluas. Selain kluster-kluster besar berupa wilayah, sejak pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Juli kemarin, kini juga muncul kluster-kluster baru berupa mal, perkantoran, pabrik, bahkan sekolah.” Katanya.

Anehnya, menurut dia, ketika kurva pandemi terus menanjak, dan ujung dari pandemi ini semakin tak bisa diramalkan, alokasi anggaran pemerintah untuk menangani isu ini justru berkurang drastis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *