IDTODAY NEWS – Menjelang perhelatan pesta demokrasi pilkada pada 9 Desember, Indonesia semakin disorot oleh media asing.
Fenomena politik dinasti Indonesia yang semakin kental terjadi pada pilkada saat ini tampaknya telah menarik banyak perhatian komunitas internasional.
Sebuah artikel yang dirilis oleh The Economist pada Kamis (3/12) mengungkap fenomena politik dinasti di Indonesia yang semakin kuat, alih-alih luntur.
Pilkada tahun ini disebut sebagai politik dinasti yang paling kuat dari sebelum-sebelumnya. Lantaran hampir 10 persen dari total kandidat memiliki keterkaitan keluarga dengan pejabat pemerintahan atau tokoh nasional.
Dua kandidat yang paling menonjol tentu anak dan menantu Presiden Joko Widodo. Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri sebagai walikota Surakarta, mengikuti jejak sang ayah, dan Bobby Nasution yang mencalonkan diri sebagai walikota Medan.
Sejak awal menjabat pada 2014 sebagai presiden, Jokowi telah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak akan membuat keluarganya bergantung atas kekuasaan yang dimilikinya.
Tetapi tampaknya semua berubah sejak ia terpilih kembali pada 2019. Gibran dan Bobby yang tidak memiliki pengalaman politik dengan berani maju dalam pilkada di bawah partai yang sama dengan ayah mereka, PDIP.
Bukan hanya keluarga Jokowi yang menjadi sorotan, putri Wakil Presiden Maruf Amin juga mencalonkan diri sebagai walikota Tangerang Selatan dan ia bertarung dengan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Selain itu, di Jawa Timur, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga ikut dalam pemilihan bupati.
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, pemilu kali ini memiliki begitu banyak kandidat yang terkait dengan pejabat.
Pengamat politik Yoes Kenawas mengatakan, pada pemilu 2015, ada 52 kandidat atau 3 persen dari total yang memiliki keterkaitan dengan politisi yang menjabat.
Apabila dilihat ke belakang, para pejabat saat ini pun memiliki keterkaitan dengan tokoh nasional yang aktif pada masa itu. Misalnya Prabowo yang merupakan mantan menantu Presiden Soeharto dan Megawati Soekarnoputri yang menjadi putri Presiden Soekarno.
Indonesia sendiri sudah berupaya untuk menghentikan fenomena politik dinasti. Di mana pada 2015, DPR mengeluarkan UU untuk melarang keluarga petahana mencalonkan diri sebagai bupati, walikota, dan gubernur. Tetapi UU itu dibatalkan karena dianggap tidak konstitusional.
Padahal, berdasarkan survei Kompas pada Juli, hampir 61 persen masyarakat Indonesia tidak menyetujui kerabat politisi ikut mencalonkan diri.
Peneliti dari University of Melbourne, Vedi Hadiz mengatakan, maraknya politik dinasti dikarenakan besarnya modal yang harus dikeluarkan oleh kandidat ketika mencalonkan diri. Alih-alih, nama besar di belakang nama mereka akan mendompleng popularitas.
Di sisi lain, hal itu juga membuat banyak calon politisi enggan maju melawan kandidat yang didukung oleh keluarga yang kuat. Buktinya, lawan Gibran mundur dan membuatnya selangkah lebih dekat dengan kemenangan.
Baca Juga: Papua Barat Deklarasi Merdeka, Babe Haikal: Kecewa dengan Jokowi, Bukan Pisah dari NKRI
Sumber: rmol.id