IDTODAY NEWS – Tulisan ‘Tuhan Aku Lapar’ yang tereta di sebuah dinding di kawasan Jalan Aria Santika, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, telah direspons aparat keamanan dengan cat baru.

Pria berinisial D (26) dan DF (22), selaku pembuat gambar dikunjungi Kapolresta Tangerang beserta buah tangan berupa paket sembako.

Tidak lama berselang, D dan DF dilaporkan telah membikin karya mural baru dengan tulisan ‘Terimakasih Tuhan Kami Kenyang’ & ‘Polri TNI Warisan Ulama Nusantara’.

Andrew Lumban Gaol a.k.a Anti-Tank Project seorang street artist yang berbasis di Yogyakarta mengaku tidak kaget ketika saya melayangkan pertanyaan terkait penghapusan sejumlah karya mural di beberapa daerah. Selain karya ‘Tuhan Aku Lapar’, di kawasan bawah Jembatan Layang Jalan Pembangunan I, Batu Ceper, Kota Tangerang, Banten, terdapat satu gambar yang diduga mirip dengan wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pada gambar tersebut, sang pembuat mural juga menambahkan tulisan ‘404:Not Found’ pada bagian wajah. Terkini, mural tersebut juga telah dihapus oleh aparat kepolisian. Lantas, ingatan Andrew melayang pada gambar sampul majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 yang menampilkan wajah Jokowi bersisian dengan siluet bayangan hitam berhidung panjang, seperti tokoh fiktif boneka Pinokio.

“Sebagai salah satu contoh, kita sama-sama ingat bagaimana respon otoritas atas beredarnya sampul Majalah Tempo yang memuat ilustrasi Pinokio. Kali ini, hanya medannya ada di jalanan,” kata Andrew kepada Suara.com.

Mula-mula kami berbicara tentang karya mural ‘Tuhan Aku Lapar’ yang sempat viral di media sosial Twitter dan Instagram. Berkenaan dengan itu, Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro menyatakan jika pihaknya sudah menemukan pembuat mural tersebut, yakni D dan DF. Bahkan, kepolisian juga mendatangi rumahnya dan memberikannya sembako.

Melansir SuaraJakarta.id (grup Suara.com), diketahui D merupakan warga RT 02 RW 02, Desa Pasir Bolang dan DF tinggal di Perumahan Puri Permai Dua, Desa Pete Tigaraksa. Dari pengakuan kedua orang tersebut, mural yang dibuat hanya sebagai ekspresi seni di tengah pandemi Covid-19.

Kepada D dan DF, Wahyu meminta keduanya agar menjalin komunikasi baik jika membutuhkan sesuatu, misalnya bantuan di tengah pandemi Covid-19. Sejumlah pihak menyatakan jika tindakan pemerintah melalui instrumen aparat kepolisian yang menghapus mural tersebut adalah bentuk pembungkaman ekspresi dan pendapat di masa pandemi Covid-19.

Takut Dengan Mural?

Nama Anti-Tank Project tentu sudah tidak asing lagi di Yogyakarta. Anti-Tank Project telah menyebarkan banyak karya di jalanan dan dinding sejak 2008 silam. Kata Andrew, medium pengkaryaan dalam menyebarkan isu juga beragam, misalnya, poster, stensil, stiker, dan mural. Isu besar yang diangkat Anti-Tank Project adalah memprovokasi kesadaran sesama warga untuk melihat suatu kondisi dengan perspektif keberpihakan kepada mereka yang masuk dalam kategori paling rentan.

Kepada Suara.com, Andrew menyatakan jika nama Anti-Tank Project berawal dari nama sebuah band punk yang dia dirikan bersama rekan-rekanya di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada 2004 silam. Singkatnya, nama tersebut tidak lagi dipakai sebagai nama band dan kemudian digunakan Andrew sebagai penanda setiap karya yang dibuat.

“Lalu saya gunakan sebagai penanda setiap karya saya pada waktu SMA dan berlanjut hingga hari ini,” ungkap dia.

Dalam melakukan kerja kebudayaan, inspirasi Anti-Tank Project berasal dari banyak hal. Andrew mengaku, pengaruh estetik dalam pengkaryaan mulai dari poster protes mahasiswa Paris 1968, karya cukilan Swoon, Banksy, hingga rima dasyat Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard yang akrab disapa Ucok Homicide.

Tak hanya itu, Andrew juga terpengaruh pada sosok Emory Douglas, orang yang bertanggung jawab di divisi propaganda Black Panther Party. Kemudian, Andrew juga terinspirasi oleh Rene Maderos yang membawa spirit solidaritas internasional dan Robbie Canal yang membuat komposisi potrait menjadi horor. Tak ketinggalan, puisi penyair Wiji Tukul juga berpengaruh terhadap pengkaryaan Anti-Tank Project — yang oleh Andrew disebut sebagai bentuk kombinasi puisi dan agitasi yang dikawinkan dengan sangat cemerlang.

Baca Juga  PKS Minta Kabar Anies Positif Covid-19 Tak Dikaitkan dengan Kegiatan HRS

Sejak awal pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, Anti-Tank Project telah menempel poster berukuran besar di sejumlah titik di Yogyakarta yang berisi isu tentang ruang hidup. Andrew menyebut, setidaknya ada 10 poster dengan ukuran besar yang tidak bertahan lama. Kata dia, semua poster dengan ukuran besar tersebut raib dengan kondisi bagian teks yang ditutupi, disabotase — bahkan ditutup secara keseluruhan.Bahkan, ratusan poster yang berisi tentang penolakan Omnibus Law – UU Cipta Kerja yang tertempel di se-antero Kota Pelajar juga raib.

“Padahal kita memasang hampir 500 poster di se-antero Yogyakarta. Ada 10an poster dengan beragam gambar. Yang semuanya memuat isu ruang hidup yang mencakup isu tambang dan penggusuran,” papar Andrew.

Bagi Andrew, negara justru tidak takut dengan karya mural, poster, hingga stensil yang kerap membawa isu besar. Justru, negara khwatir akan muncul kesadaran organik dari masyarakat yang bisa tumbuh secara simultan di tataran akar rumput. Kesadaran organik yang dimaksud Andrew adalah, kesadaran pada absen dan brengseknya negara.

“Otoritas tentu tidak takut dengan gambar, yang mereka khawatirkan adalah munculnya kesadaran organik yang tumbuh secara simultan di akar rumput,” jelas dia.

Ruang Publik dan Baliho Politisi

Bagi Andrew, ruang publik adalah sepenuhnya milik publik karena seluruh pembiayaannya dibayar oleh rakyat. Artinya, ruang publik seperti dinding dan jalanan seharusnya bisa diakses, dimanfaatkan, dan dinikmati oleh publik sedemokratis mungkin.

Pada kenyataannya, ruang publik dewasa ini hanya bisa diakses oleh sejumlah pihak. Fenomena yang paling mencuat dalam beberapa waktu ke belakang adalah baliho para politisi yang seakan membikin sesak dan tidak enak dipandang. Misalnya saja wajah Ketua DPR RI sekaligus kader PDI Perjuangan, Puan Maharani. Dengan slogan ‘Kepak Sayap Kebhinekaan’, wajah dan senyum Puan bisa kita jumpai kapan saja di sejumlah kota.

Selain baliho Puan, ruang publik juga bertambah sesak dengan baliho Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menko Perekonomian dan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Penanganan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Rasanya, baliho Puan dan Airlangga membikin aroma berbau Pilpres 2024 semakin menyengat di tengah penderitaan rakyat yang semakin babak belur akibat pandemi Covid-19. Menurut Andrew, sistem pengelolaan penggunaan ruang publik selama ini harus berbayar. Artinya, ada sistem monopoli ruang publik sebagai hasil dari pengelolaan yang sangat kapitalistik.

“Seolah yang boleh menggunakan ruang publik adalah orang-orang yang mampu menyewa baliho raksasa,” beber dia.

Terhadap baliho milik Puan misalnya, di Blitar, Jawa Timur, gambar putri dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu dicoret orang dengan tulisan ‘Open BO’.

Sementara di Surabaya, balihonya dicoret kalimat seperti ‘Koruptor’ hingga ‘PKI’. Andrew berpendapat, aksi mencoret baliho para politisi itu sangat melegakan. Dengan kata lain, fungsi grafiti dan insting vandal si pencoret baliho Puan bisa menjadi semacam ‘alat’ yang membahayakan.

“Setelah selama ini kita dimajakan dengan estetika graffiti yang kelewat indah. (Aksi pencoretan baliho) Membikin graffiti menemukan momentumnya kembali,” jelas Andrew.

Repesifitas dan Penghancuran Karya

Viralnya mural mirip wajah Jokowi dengan bertuliskan ‘404:Not Found’ di media sosial, menjadi perhatian publik hingga aparat penegak hukum. Mural yang berada di tembok bawah Jembatan Layang Jalan Pembangunan I, Batu Ceper, Kota Tangerang, Banten itu saat ini telah dihapus.

Kepala Sub Bagian Humas Polres Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim pada Sabtu (14/8/2021) lalu mengatakan, pihaknya kini tengah mendalami dengan melakukan penyelidikan viralnya mural mirip wajah Jokowi itu. Abdul juga menambahkan pihaknya juga tengah meminta keterangan sejumlah saksi, terkait pembuat mural ‘Jokowi 404:Not Found’ tersebut.

Sementara itu, terhadap mural ‘Tuhan Aku Lapar’ dilaporkan bahwa sang pembuat gambar mengaku trauma dan tertekan setelah aparat kepolisian mendatangi rumah mereka. “Cukup tertekan, kami tidak menyangka efeknya polisi akan seperti itu,” ujarnya sebagaimana dilansir dari Tempo.co.

Baca Juga  Langgar PPKM Darurat, Anies Baswedan Ngamuk di Kantor Ray White, HRD Langsung Pucat, Ini Video Viralnya

Andrew berpendapat, tindakan semacam itu adalah bentuk repesifitas aparat. Sebab, tidak seharusnya sebuah karya itu ditutup tanpa ada dialog, menggunakan sejumlah alasan konyol dan bahkan sepihak. Mendengar hal tersebut, Andrew menyarankan kepada para pencipta mural yang karyanya dihapus untuk tidak patah arang.

“Anggap saja ini bonus promosi bagi karyanya, karna tak banyak muralis yang karyanya dibicarakan banyak orang dalam waktu yang instan. Sebuah kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk membicarakan hal yang lebih prinsipil,” jelasnya.

Pada masa pandemi Covid-19, beragam cara digunakan negara untuk membungkam warga negara yang kritis terhadap kebijakan yang dibuat. Menurut Andrew, pemerintahaan yang korup akan melakukan apapun untuk menyelamatkan citranya agar senantiasa baik, termasuk pemberangusan. Salah satu instrumen kekuatan yang digunakan adalah Undang-Undang Informasi Transakasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kata Andrew, jika rezim Orde Baru Soeharto mempunyai Departemen Penerangan, kini pemerintah juga mempunyai departemen serupa yang tugasnya sama persis: obsesi pengawasan dan kontrol terhadap publik — tapi mengabaikan kebohongan penguasa.

Andrew mengaku, dalam beberapa waktu ke belakang, dia lebih banyak bersinggungan langsung dengan masyarakat ketimbang sibuk membuat gambar. Dia percaya, kerja-kerja semacam itu lebih mendorong kesadaran organik warga untuk bisa bersuara dan menunjukkan keberpihakannya secara terbuka.

“Ini menjadi amunisi untuk berjuang lebih keras sekaligus semenyenangkan mungkin karena telah bertemu dengan medium seni yang bisa menyediakan ruang-ruang ekspresi,” pungkas Andrew.

Bagaimama Negara Memandang Mural?

Kami juga bertanya pada sosok Faldo Maldini, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus Stafsus Menteri Sekretaris Negara. Nama Faldo mencuat setelah mengeluarkan pernyataan terkait mural dan cara negara dalam menyikapinya.

Melalui akun Twitter pribadinya, @FaldoMaldini pada Jumat (13/8/2021), dia berkata, tidak salah melukis mural asalkan mendapat izin. Jika tidak mempunyai izin, Faldo menilai tindakan semacam itu adalah melawan hukum alias sewenang-wenang.

Kepada Suara.com, Faldo menyatakan, aksi mural tanpa adanya izin artinya tindakan semacam itu adalah bentuk mencederai hak orang lain. Dalam konteks ini, dia mengkalim jika negara harus hadir melindungi warga negaranya. Satu lagi, Faldo mengaku tidak ambil soal terkait muatan konten dalam kritik berbentuk karya seni tersebut.

“Ada di KUHP itu semua, ada di perda, ada di surat edaran kepala daeah. Negara harus hadir melindungi setiap warga negara, agar kita semua nyaman. Tidak ada masalah dengan konten kritiknya,” kata Faldo, Senin (16/8/2021).

Menyambung pernyataan Anti-Tank Project soal ruang publik, kami juga bertanya pada Faldo mengenai hal tersebut. Menurut dia, bentuk ekspresi masyarakat di ruang publik memang tidak membutuhkan izin, hanya saja negara perlu hadir dalam memastikan keadilan.

“Ekspresi tidak butuh izin, silakan saja. Namun, negara harus pastikan keadilan,” ujar eks politisi PAN tersebut.

Faldo berpendapat, atas dasar ekspresi, bukan berarti hak orang lain boleh dilanggar. Dia juga tidak menampik jika fasilitas publik memang hak semua orang karena dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Bahkan, pembangunannya pun juga menggunakan uang rakyat.

“Kritik dalam bentuk apapun silakan, tidak ada aturannya. Namun bila itu tindakan bertentangan dengan hukum, aparat juga punya dasar untuk mengambil tindakan,” beber Faldo.

Atas dasar itu, Faldo menilai bahwa aparat penegak hukum tentunya bertindak dengan merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu, dia meminta pada warga negara — tak terkecuali seniman mural — untuk tidak khwatir pada aparat penegak hukum sepanjang perbuatan masih dalam kategori benar.

“Kalau memang aparat bertindak tanpa dasar hukum, sampai kemanapun tidak perlu takut dan khawatir, hadapi saja. Kami pun pasti bantu dengan apa yang kami bisa. Maka, tidak perlu merusak dan mencederai hak orang lain,” pungkas Faldo.

Penghapusan Mural dan Pembungkaman

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta turut memberikan respons terkait penghapusan karya mural yang berisi muatan kritik terhadap pemerintah. LBH memandang, tindakan semacam itu merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi yang ditandai dengan ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terus menyempit. Tak hanya itu, tindakan penghapusan mural juga menunjukkan bahwa pemerintah semakin anti terhadap kritik masyarakat.

Baca Juga  UMKM Labuan Bajo Keluhkan Perizinan Yang Lamban, Ini Kiat Menparekraf Sandiaga

LBH Jakarta memandang, mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan lewat seni dan dijamin serta dilindungi Undang-undang Dasar 1945, Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil yang telah diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005, dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan grafiti adalah tindakan represi dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat.

“Sehingga tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan,” kata Pengacara Publik Hak Sipil dan Politik LBH Jakarta, Teo Reffelsen dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/8/2021).

Teo menambahkan, saat ini ruang-ruang demokratis masyarakat untuk menyampaikan semakin direpresi. Represi yang dimaksud adalah preseden penghapusan mural dan grafiti serta ancaman kriminalisasi oleh aparat terhadap seniman pembuatnya, larangan terhadap masyarakat untuk melakukan demonstrasi dengan alasan pandemi Covid 19, hingga ekspresi dan pendapat di media sosial yang juga dihantui oleh laporan polisi dengan menggunakan UU ITE dan pasal karet lainnya.

“Sejauh ini LBH Jakarta menilai tidak ada alasan pembenar yang dapat dijadikan argumentasi untuk menghapus dan mengkriminalkan mural dan grafiti tersebut,” tambah Teo.

Teo memaparkan, pembatasan kebebasan berekspresi harus didasarkan pada ketentuan undang-undang. Hal itu dilakukan untuk melindungi Kepentingan publik, keamanan nasional, dan melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah.

Atas hal itu, Teo memaparkan sejumlah poin yang menjadi pandangan LBH terkait polisi yang tidak bisa melakukan proses hukum terhadap orang-orang yang membuat mural dan grafiti tersebut dengan alasan Presiden merupakan Pemimpin dan Lambang Negara.

Bagi Teo, mural ‘404:Not Found’ dengan muatan kritik terhadap negara merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi kritis warga terhadap pemengaku jabatan Presiden. Artinya kritik tersebut bukan Jokowi sebagai Individu. Sehingga mural dan grafiti tersebut merupakan bentuk pendapat warga terhadap kinerja Presiden dan pemerintahannya.

Tak hanya itu, LBH Jakarta juga berpendapat bahwa Presiden bukan merupakan Lambang Negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36A UUD 1945 dan Pasal 1 ayat 3 jo Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

“Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan,” tegas Teo.

Selanjutnya, jika negara merasa keberatan atas kritik berbentuk mural — bahkan ditemukan dugaan pelanggaran — sifatnya lebih pada wilayah keperdataan atau pelanggaran administratif. Artinya, yang dapat mengajukan keberatan adalah pemilik dari medium yang dijadikan sarana mural, misalnya pemilik dinding rumah.

“Serta semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa kerugian keperdataan atau administrasi bukan pendekatan penegakan hukum pidana,” pungkas Teo.

Terhadap isu tersebut, LBH Jakarta turut mendesak agar Jokowi meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajaran untuk menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat.

Terhadap Kapolri, LBH Jakarta mendesak agar segera memerintahkan jajarannya untuk menghormati kemerdekaan berekspresi masyarakat dan menghentikan segala bentuk represi terhadap ruang kemerdekaan berpendapat

“Apalagi melalui ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuangkan ekspresi kritiknya terhadap pemerintah melalui mural dan grafiti,” papar Teo.

Terakhir, LBH Jakarta juga mendesak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia memerintahkan Kepala Daerah agar memerintahkan Satpol PP untuk menghormati hak kemerdekaan berekspresi dan berpendapat masyarakat.

“Serta menghentikan segala tindakan represif pelarangan dan penghapusan mural atau graffiti yang berisi kritik terhadap pemerintah secara sewenang-wenang,” pungkas Teo.

Sumber: suara.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan