Kategori
Ekonomi

Syarat Lengkap, Perdagangan RI-China Bakal Pakai Rupiah-Yuan

IDTODAY NEWS – Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa dalam waktu dekat perdagangan antara Indonesia dan China tidak lagi harus menggunakan dolar Amerika Serikat. Kedua negara bisa menggunakan mata uang masing-masing.

Perry menjelaskan, ini dikarenakan seluruh persyaratan maupun teknis operasional penerapan Local Currency Settlement (LCS) antara bank sentral China dan Indonesia sudah selesai. Bahkan, untuk pelaksanaan diantara perbankan kedua negara juga sudah selesai.

“Kabar gembira bahwa seluruh persyaratan maupun teknis operasional mengenali LCS antara Tiongkok dan Indonesia itu sudah selesai bahkan juga untuk mekanisme operasional dan bank-bank nya selesai sampai mekanisme secara teknis,” kata dia saat konferensi pers, Kamis, 22 Juli 2021.

Perry menekankan, BI juga telah melakukan sosialisasi mengenai proses finalisasi LCS rupiah dengan yuan ini ke pihak dunia usaha, swasta hingga kementerian atau lembaga. Menurutnya, pemanfaatan LCS ini bisa mendongkrak ekspor Indonesia ke China lebih pesat.

“Dan tentu saja itu terus kita dorong untuk mendukung ekspor dan tentu saja ini sekaligus memanfaatkan peluang ekspor kita yang sangat bagus ke Tiongkok dan LCS Insya Allah menjadi salah satu kontribusi untuk mendukung ekspor,” tegas Perry.

Dia pun mengungkapkan, LCS dengan China ini nantinya tidak hanya bisa dimanfaatkam untuk penyelesaian transaksi semata. Namun, juga akan dikembangkan untuk pendalaman pasar uang dua negara, termasuk untuk instrumen pembelian surat-surat berharga.

“Sehingga tidak hanya untuk menyelesaikan transaksi tapi juga bagaimana dari mekanisme ini bisa mendukung transaksi valuta asing rupiah yuan dalam negeri demikian juga berbagai investasi atau program pendalaman pasar,” paparnya.

Perry berharap, dengan mekanisme LCS ini ke depannya untuk proses investasi baik dalam bentuk penyertaan modal asing bisa langsung memanfaatkan mata uang rupiah maupun yuan. Dengan demikian, tidak lagi perlu untuk dikonversikan dalam bentuk dolar AS.

“Demikian juga berbagai investasi atau program pendalaman pasar uang bahkan juga bagaimana memfasilitasi tidak hanya PMA tapi juga portofolio dan disatukan juga dengan program-program dalam blueprint pendalaman pasar uang dan insya Allah juga memperluas repo,” ungkap dia.

Sebagai informasi, sejak pertengahan tahun lalu, Gubernur People’s Bank of China (PBC), Yi Gang dan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo telah menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk mendorong penggunaan mata uang lokal.

Penggunaan mata uang yuan atau rupiah itu dilakukan dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung atau yang biasa dikenal dengan LCS.

Sumber: viva.co.id

Kategori
Ekonomi

Naik Lagi, Utang Luar Negeri Indonesia Hampir Rp5.900 Triliun

IDTODAY NEWS – Bank Indonesia mengumumkan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2020 sebesar US$416,6 miliar. Besaran utang itu setara dengan Rp5.874,06 triliun dengan kurs sebesar Rp14.100 per dolar AS.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menyatakan, pertumbuhan ULN Indonesia itu mencapai 3,9 persen year on year (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,3 persen yoy.

“Terutama disebabkan oleh peningkatan penarikan neto ULN pemerintah. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi rupiah,” kata Erwin melalui keterangan tertulis, Jumat, 15 Januari 2021.

Dia merincikan, besaran utang pada periode itu terdiri atas ULN sektor publik, yakni pemerintah dan bank sentral sebesar US$206,5 miliar dan ULN sektor swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar US$210,1 miliar.

ULN pemerintah, katanya, tumbuh 2,5 persen yoy menjadi sebesar US$203,7 miliar. Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Oktober 2020 sebesar 0,3 persen yoy. Ini disebutkannya dipengaruhi aliran masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

“Serta penarikan sebagian komitmen pinjaman luar negeri untuk mendukung penanganan pandemi COVID-19, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). ULN pemerintah tetap dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel,” tutur Erwin.

ULN pemerintah disebutkannya untuk mendukung belanja prioritas, yang di antaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial 23,8 persen, konstruksi 16,6 persen, jasa pendidikan 16,6 persen, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,8 persen serta sektor jasa keuangan dan asuransi 11,2 persen.

Sementara itu, ULN swasta tumbuh melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Pada akhir November 2020, ULN swasta tumbuh 5,2 persen yoy, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 6,4 persen yoy.

“Ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan dari 8,3 persen yoy pada Oktober 2020 menjadi 7,2 persen yoy. Selain itu, ULN lembaga keuangan mencatat kontraksi 1,4 persen yoy,” tutur dia.

Berdasarkan sektornya, ULN terbesar dengan pangsa mencapai 77 persen dari total ULN swasta bersumber dari jasa keuangan dan asuransi, pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin, industri pengolahan dan pertambangan dan penggalian.

Sementara itu, rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir November 2020 sebesar 39,1 persen, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,8 persen.

“Struktur ULN Indonesia yang tetap sehat tercermin dari besarnya pangsa ULN berjangka panjang yang mencapai 89,3 persen dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam memantau perkembangan ULN,” ucapnya.

Baca Juga: Arief Budiman Dipecat DKPP, KPU Tunjuk Ilham Saputra Jadi Plt Ketua

Sumber: viva.co.id

Kategori
Ekonomi

Utang Luar Negeri Nyaris Rp 6.000 Triliun, Berbahayakah?

IDTODAY NEWS – Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir.

Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020.

Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu.

Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan “Statistik Utang Internasional (IDS)” pada Senin (12/10) itu menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar.

Dengan mengecualikan China, negara-negara yang memiliki utang luar negeri lebih banyak dari Indonesia adalah Brasil, India, Meksiko, Rusia, dan Turki.

Paparan Bank Dunia tampaknya relevan dengan kondisi utang Indonesia. Dari data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat 413,4 miliar dolar AS atau setara Rp 5.877 triliun.

Menurut BI, ULN pemerintah pada Oktober 2020 tumbuh melambat dibandingkan bulan sebelumnya.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, mengatakan pada Oktober 2020, ULN pemerintah tercatat 199,8 miliar dolar AS atau tumbuh 0,3 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada September 2020 sebesar 1,6 persen (yoy).

Perlambatan pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah di tengah kembalinya aliran masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

“Ini seiring dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang menurun dan persepsi positif investor yang tetap terjaga terhadap prospek perbaikan perekonomian domestik,” kata Erwin dalam penjelasan persnya, pekan ini.

Erwin menjelaskan struktur utang luar negeri Indonesia terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 202,6 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) 210,8 miliar dolar AS.

Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ULN Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat sebesar 3,3 persen (yoy).

Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,8 persen (yoy), terutama dipengaruhi oleh perlambatan ULN Pemerintah.

Dengan utang yang tinggi itu, BI menegaskan tetap sehat, dengan didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Oktober 2020 sebesar 38,8 persen, meningkat dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,1 persen.

“Struktur ULN Indonesia yang tetap sehat tercermin dari besarnya pangsa utang luar negeri berjangka panjang yang mencapai 89,1 persen dari total ULN,” kata Erwin.

Untuk menjaga struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.

“Peran utang luar negeri juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” kata Erwin.

Kementerian Keuangan juga menyampaikan posisi utang luar negeri yang sejauh ini masih aman.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengatakan pemerintah mengelola utang dengan prinsip kehati-hatian (prudent) dan terukur (akuntabel).

Di antaranya, kata dia, berkoordinasi bersama Bank Indonesia untuk memantau perkembangan utang luar negeri.

Juga, mengoptimalkan peran Kemenkeu dalam mendukung pembiayaan pembangunan dengan meminimalisasi risiko yang memengaruhi stabilitas perekonomian.

Ekonom senior Dradjad Wibowo mengkritik tingginya beban utang dalam setiap APBN Indonesia.

Utang yang tinggi tentu menimbulkan risiko juga bagi perekonomian nasional, baik utang dalam negeri maupun luar negeri.

Ia menegaskan APBN tidak bisa terus bergantung pada utang sementara ada sisi pendapatan lain yang belum diberdayakan.

Dradjad menyebut masalah penerimaan pajak yang sejak sebelum pandemi covid-19 terus merosot dan belum ada solusi jitu menanganinya.

Baca Juga: Banser Blitar Ikut Jaga Misa di Gereja: Hubbul Wathan Minal Iman

Sumber: republika.co.id

Kategori
Kolom

Revisi UU Bank Indonesia, Jalan Menuju Kehancuran Ekonomi

PANDEMI corona membuat mata masyarakat terbuka betapa lemahnya keuangan negara. Pandemi membuat defisit anggaran meningkat tajam. Karena penerimaan negara anjlok, sedangkan belanja negara naik pesat.

Pandemi membuat keuangan negara dalam tekanan. Rasio pembayaran bunga mencapai 25 persen dari penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai). Sedangkan penerimaan perpajakan hanya sekitar 8 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Rendah sekali.

Defisit anggaran 2020 diperkirakan Rp 1.000 triliun lebih. Ditambah kebutuhan bailout korporasi, baik untuk swasta maupun BUMN, utang pemerintah diperkirakan akan membengkan Rp 1.200 triliun di tahun pandemi ini.

Ketahanan APBN ternyata rapuh. Ketika menghadapi pandemi Corona, pemerintah harus menetapkan Peraturan Pemerinath Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Corona (yang sudah disahkan menjadi undang-undang). Isi Perppu intinya minta bantuan kepada Bank Indonesia.

Pertama, Bank Indonesia (BI) diminta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer, yang sebelumnya taboo karena melanggar konstitusi. Atau sebagai standby buyer kalau SBN tidak diminati. Kedua, BI diminta turut menanggung beban bunga. Melalui burden sharing dan diskon bunga. Burden sharing dengan bunga 0 persen pada hakekatnya sama dengan cetak uang.

Rencananya, bantuan BI ini hanya untuk satu tahun. Tetapi sepertinya akan diperpanjang hingga 2022. Atau lebih? Bisa jadi. Karena, menurut info, DPR sedang menggoreng (baca: membahas) revisi undang-undang tentang Bank Indonesia.

Katanya sih gorengan ini inisiatif DPR. Atau sebenarnya DPR ditugaskan oleh pemerintah? Ah sama saja. Karena masyarakat melihat eksekutif dan legislatif sudah menjadi satu-kesatuan. Alias berkolaborasi. Yang seharusnya juga melanggar konstitusi dan TAP MPR.

Menurut rumor, revisi ini akan mengubah beberapa butir penting terkait UU BI. Pertama, membentuk Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Katanya, Dewan terdiri dari 5 anggota dengan ketua Menteri Keuangan. Anggota lainnya adalah Ketua Bappenas, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI dan Ketua Dewan Komisioner OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Pembentukan Dewan Moneter atau sejenisnya akan menempatkan BI di bawah eksekutif. Berarti struktur BI kembali ke struktur pemerintahan orde lama tahun 1953, yang kemudian berlanjut ke pemerintahan orde baru. Struktur ini membuat kebijakan moneter tidak terkendali, ‘cetak uang’ berlebihan, mengakibatkan turbulensi dan krisis ekonomi.

Kedua, Bank Indonesia akan diizinkan membeli SBN di pasar primer secara permanen. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan utama revisi UU BI. Agar pemerintah bisa menjalankan politik defisit anggaran tanpa memikirkan pendanaan atau pembiayaan. Bahkan BI boleh membeli SBN tanpa bunga. Alias ‘cetak uang’. Konsekuensinya kita sudah tahu, ekonomi terpuruk, terperosok ke jurang kehancuran.

Ketiga, Bank Indonesia dibolehkan lagi memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah. Dulu namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Revisi ini jelas akan mengembalikan status BI ke era primitif, ke era 1953.

Kalau rencana revisi dengan butir-butir utama di atas terjadi, maka sama saja dengan bunuh diri. Ekonomi akan terpuruk. Karena investor asing akan menjauhi SBN pemerintah Indonesia. Karena revisi struktur BI seperti di atas dipercaya akan menjadi ajang monetisasi utang (debt monetization) secara berlebihan. Bahasa awamnya, cetak uang. Dampaknya, rupiah akan terpuruk. Inflasi naik tajam. Ekonomi terkontraksi.

Yang juga tidak kalah penting, revisi UU yang menempatkan BI di bawah eksekutif, dan revisi UU yang membolehkan BI membeli SBN di pasar primer, akan bertentangan dengan konstitusi. Akan bertentangan dengan UUD Republik Indonesia, dan bertentangan dengan Ketetapan (TAP) MPR NOMOR XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/1998). Sehingga otomatis batal demi hukum.

Pembentukan Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro untuk tujuan membawahi BI secara langsung bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 yang berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, DPR sebaiknya minta pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi sektor riil. Jangan merusak sektor moneter yang menyandang status independen, yang terbukti cukup handal selama dua puluh tahun belakangan ini.

Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Kategori
Politik

Dewan Moneter Demi Keselamatan Bangsa Atau Kemaruk Kuasa?

IDTODAY NEWS – Rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebagaimana tertuang dalam revisi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) terus menjadi perbincangan hangat masyarakat.

Pasalnya, melalui ketentuan RUU BI tersebut dinilai akan menggerus independensi BI yang sebelumnya dijamin oleh UU BI sebelumnya.

Bagaimana tidak, pemerintah melalui Menkeu sebagai Ketua Dewan Moneter akan semakin leluasa mengoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

Selain itu, dewan ini menjadi pihak yang berhak untuk menetapkan kebijakan moneter.

Dengan bertambahnya kuasa pemerintah terhadap BI tidak hanya berhenti di Dewan Moneter saja. Contoh lainnya meliputi pemberian hak suara bagi pemerintah dalam Rapat Dewan Gubernur BI dan bertambahnya kuasa presiden dalam membentuk Dewan Gubernur BI.

Belum lagi, melalui RUU ini, BI juga difungsikan sebagai jaring pengaman bagi situasi keuangan pemerintah. Hal ini terlihat dari pasal yang membolehkan BI untuk memberi kredit pada pemerintah dan semakin bebasnya BI untuk membeli surat-surat utang pemerintah.

Lantas, apakah benar RUU BI ini demi keselamatan bangsa Indonesia seutuhnya ataukah hanya untuk memenuhi nafsu kemaruk kuasa segelintir pejabat?

Pertanyaan ini akan dibahas lebih lanjut oleh Forum Tebet (Forte) dalam sebuah diskusi yang akan digelar pada siang nanti, Jumat (11/9).

Diskusi bertajuk “Pembentukan Dewan Moneter: Skenario Merancang BI Menjadi Kasir Pemerintah & Penalang Bank Bermasalah” akan digelar virtual.

Narasumber handal akan dihadirkan, seperti ekonom senior INDEF, Enny Sri Hartati; Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan; dan Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Said Didu: Setelah DPR, Giliran Bank Indonesia Yang Akan Diamputasi

IDTODAY.CO – Sorotan tajam publik tengah mengarah pada langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menyusun Revisi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI).

Rencana menghadirkan dewan moneter jadi penyebabnya. Dewan moneter berisi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dewan ini bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan.

Dewan moneter terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Senior BI, serta Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sementara Menteri Keuangan akan bertindak sebagai ketua dewan moneter.

Kehadiran dewan moneter disebut-sebut memiliki agenda terselubung. Salah satunya, mengamputasi kewenangan Bank Indonesia (BI). Di mana langkah ini dianggap mirip dengan kehadiran Perppu 1/2020 yang kini telah menjadi UU 2/2020 atau yang disebut UU Corona.

UU ini dianggap sebagian kalangan telah mengamputasi fungsi budgeting yang dimiliki DPR.

Sejurus itu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengunggah status yang seolah menggambarkan kehadiran RUU BI.

“Setelah berhasil mengamputasi DPR dari “penghilangan” hak budget, kini giliran BI yang akan diamputasi,” tuturnya dalam akun Twitter pribadinya, Selasa (1/9).

Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini pun mengungkapkan kekhawatiran jika pola tersebut terus terjadi. Sebab bukan tidak mungkin yang berikutnya jadi korban amputasi adalah lembaga kehakiman.

“Beginilah praktik oligarki kekuasaan berbasis otoritarian,” demikian Said Didu.

Sumber: rmol.id

Kategori
Dunia

RI Dan Jepang Makin Akrab, Sepakat Tinggalkan Dolar AS!

IDTODAY NEWS – Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan Jepang telah menyepakati penyelesaian transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal. Artinya, setiap transaksi perdagangan dan investasi yang dilakukan keduanya menggunakan mata uang lokal masing-masing yakni Rupiah dan Yen.

Kerangka kerja ini disusun berdasarkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang pada 5 Desember 2019.

“Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk mendorong penggunaan mata uang lokal secara lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi langsung di antara kedua negara,” tulis BI melalui keterangan resmi, Senin (31/8/2020).

Adapun implementasi kerangka kerja ini menjadi tonggak sejarah penting dalam upaya penguatan kerja sama keuangan antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang.

Kerangka kerja tersebut meliputi, antara lain, upaya mendorong penggunaan kuotasi langsung (direct quotation) dalam transaksi antara mata uang Rupiah dan Yen, serta relaksasi regulasi tertentu untuk mendorong penggunaan mata uang lokal.

Untuk mendukung operasionalisasi kerangka kerja ini, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang telah menunjuk beberapa bank di negara masing-masing untuk berperan sebagai Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Bank-bank tersebut dipandang telah memenuhi syarat dan memiliki kemampuan untuk memfasilitasi transaksi antara Rupiah dan Yen sesuai kerangka kerja yang disepakati oleh kedua pihak.

Bank-bank di Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai ACCD adalah MUFG Bank, Jakarta Branch, Bank BTPN, Bank BCA, Bank Mandiri, Bank Mizuho Indonesia, Bank BNI dan Bank BRI.

Sedangkan, bank-bank di Jepang yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan Jepang sebagai ACCD adalah Mizuho Bank, MUFG Bank, Bank BNI, Tokyo Branch, Resona Bank dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.

Sumber: cnbcindonesia.com