Kategori
Politik

Jumhur Hidayat: Jika Pemilu Ditunda, Pasti Akan Ada Gerakan People Power

IDTODAY NEWS – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) masih menjadi perdebadan di kalangan akademisi, aktivis, bahkan hingga politisi di DPR RI.

Pasalnya, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan Prima dengan memerintahkan KPU RI untuk tidak melanjutkan dan mengulang semua tahapan. Atau, dengan kata lain Pemilu 2024 harus ditunda.

Tokoh aktivis pergerakan Jumhur Hidayat mengatakan, keputusan hakim PN Jakpus itu tidak masuk akal. Alasannya, hakim membuat keputusan untuk Prima kemudian berdampak pada pihak-pihak lain yang tidak masuk dalam penggugat.

“Sepertinya hakim-hakim yang menyidangkan kasus ini benar-benar buta hukum tata negara sehingga buat keputusan yang ngawur”, ujar Jumhur kepada wartawan, Jumat (3/3).

Jumhur pun meragukan independensi hakim saat membuat putusan itu. Menurutnya, ada kemungkinan putusan PN Jakpus itu berada dalam satu orkestrasi dengan pihak-pihak petinggi negara dan pemerintahan yang menginginkan penundaan pemilu.

“Agak aneh kalau menyatakan bahwa keputusan hakim PN Jakarta Pusat itu berdiri sendiri tanpa ada bisikan-bisikan. Terlebih lagi saya kenal persis siapa itu Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Prima yang berjejaring juga dengan kekuasaan,” katanya.

Sebagai pejuang demokrasi, kata Jumhur, Agus Jabo seharusnya paham bahwa petitum yang disodorkan ke majelis hakim itu anti demokratis karena melawan konstitusi.

Pun kalau Partai Prima merasa didzalimi oleh KPU, lanjut Jumhur, harusnya KPU memberi kesempatan Partai Prima untuk diverifikasi ulang termasuk dengan pemberian sejumlah ganti rugi yang bisa digunakan untuk biaya persiapan verifikasi ulang itu.

Jumhur menekankan, apabila terjadi penundaan pemilu, dia meyakini akan terjadi people power karena pemilu adalah agenda sakral bangsa. Bahkan, gerakan mahasiswa lebih dari setahun lalu telah menolak ide-ide semacam itu di 27 provinsi.

“Untuk gerakan buruh pun saya pastikan akan berbondong-bondong bersama mahasiswa mengepung DPR bila ada penundaan pemilu terjadi, karena akan mengganggu kepastian berusaha,” pungkas Jumhur.

Sumber: rmol

Kategori
Politik

Jumhur Hidayat: Kalau Semua Hasil Gemilang, Boleh Jadi Nanti Tidak Ada Perjuangan

IDTODAY NEWS – Pengalaman pernah menerima vonis dan menjalani hukuman penjara tidak membuat idealisme aktivis 89, Jumhur Hidayat, goyah.

Jumhur pernah dipenjara tahun 1989 karena terlibat aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini, di Gedung Serba Guna (GSG) ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989.

Jumhur saat itu ditangkap bersama beberapa aktivis mahasiswa lainnya seperti Fadjroel Rachman, Arnold Purba, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, Bambang Sugiyanto Lasijanto, Lendo Novo, A.Sobur, Wijaya Santosa, Adi SR, dan Dwito Hermanadi.

“(Waktu itu) divonis tiga tahun,” kata Jumhur dalam webinar bertajuk ‘Refleksi Peristiwa 5 Agustus 1989 dan Gerakan Mahasiswa Masa Kini’, Sabtu (7/7).

Bagi Jumhur, perjuangan adalah harga mati yang menjadi bagian dari prinsip hidupnya. Soal akibat dan hasil yang akan terjadi, semua adalah kehendak Tuhan.

“Jadi tugas kita berjuang, soal hasil itu urusan yang di atas, sampai sekarang prinsip itu kita pakai,” terangnya.

Menurutnya, tidak menarik juga jika perjuangan tidak ada tantangan. Apalagi, berharap setiap perjuangan hasilnya langsung gemilang.

“Kalau setiap perjuangan berakhir dengan hasil gemilang, boleh jadi tidak ada perjuangan nanti loh,” kelakarnya.

Selain Jumhur Hidayat, hadir juga sebagai pembicara aktivis 98 Ray Rangkuti dan Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra. Sementara aktifis 89 yang kini menjadi Jurubicara Presiden, Fadjroel Rachman tidak hadir hingga acara selesai.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Jumhur Hidayat: Peristiwa 5 Agustus 1989 Akumulasi Perlawanan Kampus, Bukan Ujug-ujug Ada

IDTODAY NEWS – Peristiwa Gedung Serba Guna (GSG) ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989 tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan puncak dari kritik panjang pada era otoritarian Presiden Soeharto.

Begitu dikatakan aktivis 89, Jumhur Hidayat dalam webinar bertema “Refleksi Peristiwa 5 Agustus 1989 dan Gerakan Mahasiswa Masa Kini”, Sabtu (7/7).

“Sebetulnya tidak berdiri sendiri ya peristiwa 5 Agustus, bukan ujug-ujug ada.Bahkan tahun sebelumnya, kritik dan perlawanan pada otoritarianisme Soeharto itu luar biasa di dalam kampus, setiap ada momen selalu arahnya ke sana,” kata Jumhur yang pada peristiwa tersebut menjadi koordinator lapangan.

Dijelaskan Jumhur, pada era tersebut gerakan mahasiswa memang masih terfokus di dalam kampus masing-masing.

“Dari tahun 86-87 (1986-1987), masih di dalam kampus, dialog dengan berbagai kampus sudah dilakukan juga. Antarkampus di Bandung dengan Jogja, dengan Jakarta itu terus berlangsung,” jelasnya.

Dalam setiap komunikasi antarkampus itu, lanjutnya, selalu dicari cara terbaik dan efektif untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru.

“Waktu itu kami mencari model kritik apa yang bisa langsung diterima masyarakat sekaligus mengadvokasi supaya pemerintah tidak bersikap seperti otoriter,” tutupnya dalam webinar yang turut dihadiri aktivis 98 Ray Rangkuti dan Ketua BEM UI, Leon Alvinda.

Peristiwa 5 Agustus 1989, 32 tahun lalu ini, menjadi satu rekam jejak Gerakan Mahasiswa di Indonesia dalam perjuangan untuk perubahan dan demokrasi.

Peristiwa ini memakan korban, belasan aktivis mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dikirim ke LP Nusakambangan yang dikenal sebagai LP “Kelas Berat”

Demonstrasi mahasiswa ITB 5 Agustus 1989 ini adalah respons aktivis kampus ITB atas kehadiran Menteri Dalam Negeri Rudini dalam acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Penataran P4 Angkatan 1989.

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Pengacara Jumhur Hidayat: Jaksa Polisi Halangi Perintah Pengadilan

IDTODAY NEWS – Pengacara Jumhur Hidayat dari YLBHI, Muhammad Isnur menilai, Jaksa Puntut Umum (JPU) dan Bareskrim Polri menghalangi kliennya mendapatkan haknya sebagai terdakwa. Pasalnya, kedua pihak itu tak menjalankan perintah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan di persidangan.

“Hakim mengakui, dia juga sudah memerintahkan Jaksa untuk mempermudah (komunikasi antara pengacara dan Jumhur). Faktanya, perintah hakim tidak bisa dilaksanakan, itu ada masalah antara di kejaksaan dan kepolisian yang menghalang-halangi perintah pengadilan,” ujarnya pada wartawan di PN Jaksel, Kamis (18/2/2021).

Dia heran, mengapa Jumhur yang melakukan kritikan terhadap pemerintah tentang Omnibus Law UU Ciptaker justru ditahan dan dihalang-halangi untuk bertemu kuasa hukumnya demi pembelaan. Bahkan, hak asasi kliennya sebagai terdakwa pun dilanggar, padahal tak ada urgensi untuk menahan kliennya itu.

“Kalau ketakutan karena covid biar dia di luar jadi tanggung jawab sendiri, itu lebih baik dari pada menahan orang yang mengkritik. Harusnya lepaskan dia biar lalu di ruang sidang dia juga bisa bicara sendiri apa yang sebenarnya terjadi,” tuturnya.

Sementara itu, pengacara Jumhur dari LBH Jakarta, Arif Maulana menjelaskan, proses penahanan terdakwa itu sejatinya menjadi kewenangan pengadilan dan dia heran mengapa kliennya ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Ahasil, pengacara pun dihalang-halangi untuk menemui Jumhur di tahanan.

Baca Juga: Gerah Difitnah Terlibat di Isu Kudeta Demokrat, Marzuki Alie Keluarkan Ancaman Begini

“Jadi, kami diberikan satu minggu lagi ke depan, kita harapkan bisa bertemu pak Jumhur mendiskusikan proses persidangan, yang mana ini bisa jadi pemeriksaan terdakwanya itu tidak dikabulkan oleh Bareskrim untuk dilakukan secara offline dengan alasan Covid,” jelasnya.

Diskusi dengan kliennya, kata Direktur LBH Jakarta itu, penting dilakukan untuk menyusun dokumen hukum pemeriksaan saksi. Sebabnya, terdakwa memiliki hak untuk menerima, mengelak, keberatan, atau menolak keteranagan para saksi. Terkait hak Jumhur yang tak dipenuhi itu, diharapkan pula segera terjawab selama satu minggu ke depan pasca berkoordinasi dengan Jaksa dan Kepolisian.

“Dalam KUHAP itu jelas, hak terdakwa itu bertemu dengan advokat, keluarga, dokter atau mungkin agamawan dan itu harus diberikan, ini kn yang selama ini dilanggar, ini menjadi catatan serius,” katanya.

Adapun sidang Jumhur bakal kembali digelar pada Kamis, 25 Februari 2021 mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU. Jaksa dan saksi diminta oleh Hakim Ketua, Agus Widodo untuk hadir secara langsung dipersidangan.

Baca Juga: Cak Nun Ancam Turunkan Jokowi, Ruhut Malah Ketawa, BKH: Jangan Anggap Enteng

Sumber: okezone.com

Kategori
Politik

Sarat Politis, Pakar Hukum Sarankan Jokowi Beri Abolisi Untuk Jumhur Dan Syahganda

IDTODAY NEWS – Opsi pemberian abolisi atau penghapusan terhadap seluruh putusan pengadilan patut dipertimbangkan Presiden Joko Widodo dalam kasus hukum yang menjerat aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.

Sebab kasus kedua aktivis yang dijerat UU ITE itu dinilai sarat dengan muatan politik.

“Karena kasusnya berdimensi politik, Presiden Jokowi dapat memberikan abolisi berupa penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan yakni untuk Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan,” kata pakar hukum tata negara, Margarito Kamis kepada wartawan, Jumat (12/2).

Margarito melanjutkan, abolisi diatur dalam amanat konsitusi Pasal 14 ayat 2 UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi presiden untuk memberikan abolisi kepada Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan sebagaimana dijamin berdasarkan konstitusi RI.

Baca Juga: Presiden PKS Miris, Indonesia Masuk Kategori Cacat Demokrasi

“Kalau bicara boleh, tentu saja presiden boleh mengeluarkan hak abolisi tersebut. Tinggal masalahnya presiden mau atau tidak,” lanjutnya.

Margarito menambahkan, pemberian abolisi bagi yang mengalami proses hukum seperti Jumhur Hidayat dan Syahganda tidak diharamkan, terlebih bila kasusnya terkesan politis.

“Jadi, sama sekali tidak ada larangan prinsip bagi presiden dalam kaitan memberikan abolisi untuk Saudara Jumhur Hidayat dan Syahganda,” tandasnya.

Baca Juga: Prof Din Dilaporkan, Said Didu: Praktik Setelah Pemerintah Ngaku Butuh Kritik?

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Hakim Tolak Eksepsi Jumhur, Satyo Purwanto: Teringat Ucapan Habibie “Penjara Untuk Kriminal Bukan Yang Beda Pandangan”

IDTODAY NEWS – Mejelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak nota keberatan atau eksepsi Jumhur Hidayat terkait penangkapan dan penahanan.

Menurut hakim, penangkapan dan penahanan yang dipersoalkan oleh tim kuasa hukum Jumhur merupakan ranah praperadilan, disamping itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah memasukan atau mencantumkan dan menguraikan unsur-unsur pidana dalam surat dakwaannya.

Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto berpandangan, Para majelis hakim hanya melihat asas legalitas formil dalam menolak eksepsi Jumhur Hidayat tapi kesampingkan rangkain proses sejak penangkapan dan penahanan.

Jika hal demikian terus berlangsung, kata Satyo, maka penjara akan penuh diisi oleh orang-orang tidak bersalah,apalagi karena hanya berbeda pendapat dengan kekuasaan.

“Jadi teringat pernyataan Almarhum Presiden BJ Habibie “penjara itu untuk kriminal, bukan untuk yang beda pandangan” lalu dimana tujuan negara demokrasi nya?”, kata Satyo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/2).

Padahal, Satyo mengurai, penangkapan dan penahanan Jumhur Hidayat sebagaimana disebut oleh kuasa hukumnya terdapat banyak kejanggalan dan tidak sesuai dengan prosedur seperti tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan dan tidak mengenakan tanda pengenal.

Selain itu, saat dibawa ke Bareskrim Jumhur masih dalam kondisi sakit setelah operasi dan pihak keluarga tidak diberikan akses kepada Jumhur hingga 3 hari pasca penangkapan,

“Penetapan tersangka terhadap Jumhur pun dinilai tidak sesuai dengan prosedur karena tanpa penyelidikan,” tekan Satyo.

Mantan sekjen ProDEM ini kemudian menyesalkan, sistem peradilan di Indonesia cenderung tidak independen dan memihak. Hal ini, kata Satyo sangat jauh mencerminkan ciri sebuah negara demokrasi.

“Kekuasaan kehakiman harus bebas dari berbagai pengaruh internal maupun eksternal khususnya dari eksekutif,” pungkas Satyo.

Dengan ditolaknya eksepsi ini, hakim memerintahkan Jaksa melanjutkan perkara. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyangkakan Jumhur telah menyebarkan berita bohong dan membuat onar lewat cuitannya terkait Omnibus Law Cipta Kerja.

JPU menjerat Jumhur Hidayat dengan pasal 14 ayat 1 subsider pasal 14 ayat 2 UU 1/1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana subsider pasal 15 UU 1/1946 dan pasal 45A ayat 2 junto pasal 28 ayat 2 UU 19/2016 Tentang Perubahan UU 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca Juga: Dari Balik Penjara, Habib Bahar Tulis Surat untuk Habib Rizieq: Demi Allah Mendidih Darahku..

Sumber: rmol.id

Kategori
Politik

Jokowi Minta Dikritik, Andriyanto: Faktanya Jumhur Dan Syahganda Tidak Keras, Tapi Dipertemukan Di Persidangan

IDTODAY NEWS – Permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat lebih kritis terhadap pemerintah terus dipertanyakan. Salah satunya oleh aktivis Gerakan Pro Demokrasi Indonesia, Andriyanto yang baru saja mengikuti sidang inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Menurutnya, kasus yang menimpa Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan merupakan bukti bahwa rakyat berhak takut untuk menyampaikan kritik.

Pasalnya kritik yang disampaikan Jumhur dan Syahganda tidak terlalu keras, tapi berujung pada upaya pemenjaraan.

“Faktanya, Jumhur dan Syahganda tidak keras, tapi dipertemukan di persidangan,” ujarnya dalam acara diskusi Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk ‘Disuruh Kritik, Tapi Siapkan Buzzer’ yang digelar RMOL Network secara virtual, Kamis (11/2). Turut hadir dalam diskusi ini, Waketum DPP Jokowi Mania Iradat Ismail

Baca Juga: Kasus Kudeta AHY, Karangan Bunga Dukungan Mengalir ke Moeldoko

Selain itu, apa yang menimpa Jumhur dan Syahganda juga penuh keganjilan. Mulai dari penangkapan, penahanan, hingga di pengadilan. Di mana saat ini, keduanya tidak bisa ditemui oleh pihak keluarga maupun lawyer mereka, yang padahal hal tersebut dilindungi peraturan berlaku.

Andriyanto, yang pernah ditahan usai berunjuk rasa di era Orde Baru, merasa ada kemunduran demokrasi yang dalam di era Jokowi.

“Kita pernah dipenjara di era Orba, tapi tidak sedramatis ini. Kita nyaman sebagai orang pesakitan,” urainya.

“Era Jokowi, mengkritik tidak keras saja bisa masuk dalam ruang tahanan, ada yang disidang, dilepas, ada juga yang tidak jelas,” tutupnya.

Baca Juga: Relawan Jokowi: Presiden Beri Ruang Kritik Tanda Demokrasi Sedang Sehat

Sumber: rmol.id