IDTODAY.CO – Kebebasan berbicara di rezim Joko Widodo saat ini dianggap memiliki nilai rapor yang buruk. Bahkan nilainya minus.
Itulah inti penilaian yang disampaikan oleh tiga narasumber dalam acara diskusi Proklamasi Democracy Forum (PDF) ke-15 bertajuk “Menimbang Ruang Kebebasan Berpendapat Kalangan Akademik Saat Ini” yang diselenggarakan Balitbang DPP Partai Demokrat, Minggu malam (4/7).
Ketiga narasumber itu adalah Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti; Founder Lokataru, Haris Azhar; dan pengamat sosial, Rocky Gerung.
Dalam acara ini, Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, Syahrial Nasution yang bertindak sebagai moderator meminta masing-masing narasumber menilai pemerintahan Jokowi terkait kebebasan berbicara. Penilaian diberikan dengan skala 1 hingga 10.
“Enggak ada skala di situ tuh, semua skala itu sudah hancur. Jadi skalanya sudah hilang, bahkan saya bilang negatif 2 saja sudah itu (penilaian). Jadi ini kekuasaan yang mengalami pemburukan sebetulnya dari standar demokrasi. Saya sebut saja bahwa ini rezim mereka memang negatif Covid, tapi positif cupik,” kata Rocky Gerung menjawab pertanyaan Syahrial.
Berbeda dengan Rocky, Haris Azhar memberikan nilai atau poin 1 untuk pemerintahan Jokowi terkait kebebasan berbicara.
“Kalau 1 sampai 10, ya 1 lah. Kalau kita nilai ujian itu jawaban salah tapi karena ada coret-coretan kita kasih harga upah nulis namanya. Kenapa saya kasih 1? Karena kebebasan berbicara itu hanya ada pada pejabat. Kebebasan berbicara itu aturannya dimanipulasi, mekanismenya diskriminatif, dan hasilnya produknya represif,” jelas Haris.
Haris mengaku kerap kesal ketika membaca indeks demokrasi yang dianggapnya masih terlalu sopan.
“Padahal menurut saya, situasi di lapangan jauh lebih buruk. Ada banyak indeks itu yang gagal melihat pada problem di lapangan. Jadi menurut saya, ini cuma ada ya ongkos aja, upah nulis aja. Situasinya enggak ada yang bisa kita jadi pelajaran sebagai sebuah kemajuan itu enggak ada,” jelas Haris.
Sependapat dengan Haris, Bivitri juga memberikan poin 1 untuk pemerintahan Jokowi terkait kebebasan berbicara.
“Karena saya baru selesai meriksa UAS, jadi saya punya nilai yang sama kayak Haris, untuk ngasih upah nulis, udah kebiasaan gitu. Kalau dia gak nulis sama sekali saya kasih 0. Tapi kalau dia ada nulis sedikit-sedikit kasih 1,” terang Bivitri.
“Karena alasannya itu saya anggap dia nulis sedikit-sedikit itu dengan paling tidak Pak Jokowi, dia akan merespons social network analysisnya terlalu heboh. Dia akan merespons, walaupun responsnya kita enggak suka, tapi ya itu saya anggap itu oret-oretan yang enggak ada maknanya,” tuturnya.
Bivitri kemudian membeberkan indikasi-indikasi yang membuat rezim Jokowi kehilangan 9 poin terkait kebebasan berbicara.
“Tekanan struktural tidak dilarang oleh dosen segala macamnya malah kami yang ditekan semua anak mahasiswa enggak turun ke jalan misalnya. Buzzer dibiarkan malah dipiara, kalau istilahnya Bang Rocky tuh diternakkan. Kemudian, oposisi ditiadakan, jadi dengan segala cara lah. Termasuk Demokrat, jadi janganlah Demokrat ikut kalah,” kata Bivitri.
“Ditiadakan betul semuanya dianggap harmoni, itu yang dianggap paling utama dalam imajinasi yang keliru sebenarnya tentang kehidupan demokrasi. Demokrasi dengan harmoni itu sangat berbeda. Nah itu semua yang membuat pemerintahan sekarang kehilangan 9 poin dan cuma dikasih upah ngomong saja,” sambung Bivitri menutup.
Selain Bivitri Susanti, Rocky Gerung, dan Haris Azhar, acara diskusi ini juga turut dihadiri oleh Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Tomi Satryantomo, dan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi.
Sumber: rmol.id