TINDAKAN Rektor UI yang memberlakukan pakta integritas terhadap para mahasiswa baru, esensinya sama dengan kelakuan rezim kolonial Belanda.
Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda, tahun 1920-an, waktu itu umumnya juga mengalami tekanan dan ancaman untuk menyuarakan aspirasi politik memerdekakan bangsa.
Mereka dipenjarakan.
Diburu intel.
Dimata-matai dan diputus beasiswanya.
Sedangkan orangtua mereka yang bekerja pada pemerintah di tanah air terancam dipecat.
Arnold Mononutu, Hatta, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo dan para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia banyak yang mengalami hal seperti ini.
Namun selesai dipenjarakan mereka masih dibolehkan meneruskan kuliah, karena kampus di sana tidak mengeluarkan Pakta Integritas seperti yang dilakukan UI.
Civitas akademika disana tetap menjunjung tinggi kedaulatan intelektual mahasiswa untuk bersuara dan mengambil sikap terhadap keadaan.
Situasi yang penuh tekanan itu juga memunculkan solidaritas para mahasiswa dengan mendirikan Fonds Nasional untuk memberikan dukungan finansial kepada mahasiswa yang terlunta-lunta karena persoalan keuangan.
Van Deventer, Multatuli, golongan etis, dan kaum liberal disana ikut memberikan dukungan moril dengan membela mereka di parlemen, di pengadilan, dan melalui tulisan-tulisan di media massa.
Sangat wajar apabila kini tokoh Gerakan Mahasiswa ITB 1978 dan konseptor Gerakan Anti Kebodohan, 1976, Dr Rizal Ramli memprotes keras tindakan rektor UI yang memberlakukan pakta integritas kepada para mahasiswa baru agar tidak berkecimpung dalam persoalan-persoalan kebangsaan dan bersikap kritis terhadap persoalan politik yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Rizal Ramli menyayangkan sikap rektor, yang juga salah seorang komisaris perusahaan BUMN itu, memilih menjilat.
“Rektor UI bersikap menjilat kepada kekuasaan dengan menggunakan istilah Pakta Integritas, untuk pasal-pasal penghambaan dan pemberangusan hak demokratis mahasiswa,” kata Rizal yang membela dan salut kepada BEM UI yang menolak Pakta Integritas sang rektor.
Menurutnya, orang yang tanggung-tanggung dari segi profesionalitas dan leadership, memang menjadikan sikap menjilat sebagai jalan naik kelas ke atas, demi menyenangkan kekuasaan.
Di masa Sukarno (era Demokrasi Terpimpin) ketika Iwa Kusumasumantri jadi Mendikbud kampus-kampus juga menjadi sangat doktriner. Para mahasiswa hanya boleh melanjutkan studi ke negara-negara Kiri (komunis-sosialis).
Diktat-diktat kuliah dikontrol. Tidak dibolehkan mempelajari teori-teori ilmu dari Barat.
Bahkan izin melanjutkan kuliah ke luar negeri harus mendapatkan persetujuan langsung dari sang menteri secara pribadi.
Kini sikap menjilat sang rektor Universitas Indonesia ini oleh berbagai kalangan juga dianggap merupakan akibat dari ditunjuknya rektor oleh presiden.
Sehingga menjadi Duli (Debu) Paduka Tuanku.
Oleh: Arief Gunawan
Penulis adalah wartawan senior