Cerita Tetua Adat Saat Jokowi Pesan Busana Badui, Namanya Baju Kampret

Presiden Jokowi kenakan baju adat Badui saat pidato kenegaraan 2021. [Antara[

IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam empat tahun terakhir kerap menggunakan baju adat saat sidang Tahunan MPR/DPR/DPD. Tahun 2021 ini, sang Presiden mencuri perhatian dengan mengenakan baju adat Badui dari Provinsi Banten.

Jokowi memakai baju adat Badui berwarna hitam lengkap dengan udeng kepala berwarna biru dan sandal hitam. Ia juga membawa tas rajut berwarna cokelat khas masyarakat Badui.

Tetua Adat Masyarakat Badui sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija merasa bangga karena Presiden Jokowi mengenakan pakaian dari Suku Badui.

Ia tak menyangka orang nomor satu di Indonesia itu mau memakai baju yang dipakai warga Badui.

“Sangat bangga. Bangganya karena Presiden mau memakai baju. Itu kan buat umum (dipakai warga Badui), jadi merasa bangga. Baru kali ini (Baju adat Badui dipakai Presiden),” ujar Jaro Saija saat dihubungi Suara.com, Selasa (17/8/2021).

Ia bercerita, awal mula Presiden Jokowi memesan baju adat Badui. Kata Jaro, pada Selasa (10/8/2021), Jokowi melalui ajudannya menghubungi dirinya untuk memesan baju adat untuk dipakai Presiden pada Sidang Tahunan.

“Memang saya ditelpon dari ajudan atau pengawalnya, katanya mau pesan pakaian (baju adat Badui) satu,” ungkapnya.

Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat baju yang dipesan Jokowi. Bahkan dua hari setelahnya, baju tersebut sudah selesai dibuat. Sehingga pada Kamis (12/8/2021), ajudan Jokowi yang mengambil baju tersebut di kediamannnya di Desa Kanekes.

“Saya ditelpon hari Selasa. Kemudian Kamis langsung diambil di rumah saya,” ucap dia.

Jaro Saija mengungkapkan, tak ada yang khusus dari baju adat yang dipesan Jokowi. Kata dia, baju yang dipakai Jokowi umumnya dipakai masyakarat Badui, khususnya Badui Luar.

Baca Juga  Eks Jubir Gus Dur: TKA China Tidak Asing Lagi, Jadi Bebas Datang ke NKRI Kapan Saja

Adapun baju adat Badui yang dipesan Jokowi biasa disebut dengan baju kampret atau kelelawar.

“Kalau di Badui namanya baju kampret,” katanya.

Harga Murah Rp 200 Ribuan

Terkait kisaran harga baju, Jaro Saija tak menjelaskan secara spesifik. Sebab baju tersebut katanya sangat sederhana. Ia hanya mengatakan, bahwa di pasaran harga satu potong sekitar Rp 200-an.

“Sebetulnya nggak bakal mahal kan itu sederhana. Kami mah merasakan bangga bukan hanya karena harga itu, karena dipakai beliau (Jokowi). Itu sederhana. Tapi beliau mau mengenakan pakaian adat Badui. Harga mah sederhana sih, sekitar satu potongnya Rp 200 ribuan. Satu potong pasarannya Rp 200 ribuan itu yang beliau itu. Tapi dia mau pakai seperti orang Badui umumnya, kami sangat bangga,” ujarnya lagi.

Tak hanya itu, Saija mengaku bangga karena yang dilakukan Jokowi dapat memberikan contoh yang baik mencintai adat istiadat warisan leluluhur bangsa Indonesia.

Ia juga berharap masyarakat Badui ke depannya tentram, sejahtera, aman dan makmur.

“Harapan-harapannya kami ke depannya yang penting yang lainnya, satu komunitas kami aman tentram sejahtera subur makmur gemah ripah loh jinawi,” kata dia.

Makna Baju Badui yang Dikenakan Jokowi

Sekretariat Pribadi Presiden Jokowi, Anggit Noegroho mengatakan, alasan Jokowi mengenakan baju adat Badui saat Sidang Tahunan bersama MPR/DPR/DPD pada Senin (16/8/2021).

Kata Anggit, desain baju adat Badui yang dipilih Jokowi karena sederhana dan nyaman saat digunakan. Makna pemilihan baju Badui menunjukan kesederhanan kemandirian dan kearifan lokal. Hal ini sesuai kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini.

Baca Juga  IDI Minta Jokowi Tegas soal PPKM: Jangan Sampai Jadi Guyonan Rakyat!

“Ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang saat sedang menghadapi pandemi Covid-19. Ada makna tentang kesederhaan, kemandirian, ramah alam dan pesan kearifan lokal,” kata Anggit.

Di mana Jokowi ingin memakai pakaian adat yang sederhana. Mengingat saat ini Indonesia masih dilanda Covid-19.

“Khusus untuk tahun ini Pak Presiden minta pakaian adat yang sederhana saja, tidak terkesan festive, mengingat kondisi negara sedang menghadapi pandemi Covid-19,” ujarnya pula.

Anggit menceritakan, bahwa Jokowi meminta dirinya menyiapkan pakaian-pakaian adat dari daerah-daerah yang belum pernah dipakai Presiden di acara kenegaraan sebelumnya.

Bahkan Jokowi sendiri yang memilih pakaian adat suku Badui dari opsi pakaian adat lainnya.

“Seperti biasa setiap tahun, Sespri diminta menyiapkan pakaian adat dari daerah-daerah. Prioritas memang dari daerah-daerah yang belum pernah ditampilkan. Khusus untuk tahun ini Pak Presiden minta pakaian adat yang sederhana saja, tidak terkesan festive, mengingat kondisi negara sedang menghadapi pandemi covid-19,” tutur Anggit.

Kata Anggit, dirinya menyiapkan pakaian adat dan dari lima daerah untuk dipakai pidato kenegaraan dan upacara 17 Agustus 2021. Sehingga yang dipilih Jokowi yakni baju adat Badui untuk pidato kenegaraan.

“Kami siapkan 8 pakaian adat dari 5 daerah. Dari situ dipilih 2 pakaian adat untuk pidato kenegaraan dan upacara 17 Agustus,” katanya lagi.

Hilangkan Stigma Negatif

Baca Juga  Lepas Ekspor dari 17 Lokasi, Jokowi: Tandanya Ekonomi RI Telah Bangkit

Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan mengatakan Jokowi tidak hanya mengapresiasi keluhuran nilai-nilai adat dan budaya suku Baduy, namun juga menangkal stigma negatif terhadap Suku Badui.

“Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan suku Badui,” kata Abetnego Tarigan.

Pihak KSP pun menganggap bahwa langkah Jokowi untuk menggunakan pakaian adat dan mengangkat kebudayaan suku Badui dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebutan “Badui” sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.

Namun penyebutan Suku Badui cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda.

Para kolonial secara gegabah mengidentifikasi suku Badui layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.

Walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Badui kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.

“Istilah Badui dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah ‘Badui’ karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” Ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Sumber: suara.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan