Oleh: Asyari Usman
Kehadiran KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) semakin berdampak serius. Baru seminggu mendeklarasikan diri, eskalasi kecurigaan dan kecemasan berlangsung sangat kencang. Setelah dikeroyok oleh para politisi yang kehabisan ide, kemarin KAMI ‘dihajar’ oleh seorang politisi ‘heavy weight’ (kelas berat) yang ikut juga turun gunung. Giliran Megawati Soekarnoputri melibas KAMI.
“Di situ kayaknya banyak banget yang kepengin jadi presiden,” kata Bu Mega menyindir KAMI.
Komentar seperti ini terasa ‘childish’. Kekanak-kanakan. Tak sepantasnya meluncur dari seorang politisi senior sekelas Bu Mega. Tapi, begitulah KAMI mengubah suasana psikologis para politsi. Rata-rata mereka terusik. Gerakan moral KAMI dilihat sebagai ancaman.
Bagi KAMI, ucapan Mega di depan para kader seniornya, Rabu (26/8/2020), merupakan tambahan imunitas dalam menghadapi banyak lagi gempuran dari kalangan yang selama ini tak pernah ‘diganggu’ oleh gerakan moral. Selama ini, mereka bisa sesuka hati melakukan apa saja untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu KAMI muncul, semua orang yang merasa sebagai pemilik Indonesia langsung mencak-mencak.
Bu Mega wajar-wajar saja mengeluarkan sindiran soal jabatan presiden. Sebab, dia pastilah sedang berpikir keras agar posisi presiden bisa, suatu hari nanti, kembali lagi ke tangan keturunan Soekarno. Bu Mega sedang berusaha agar anaknya, Puan Maharani, bisa merintis jalan menuju ke RI-1. Skenario kasar itu mudah dibaca. Tetapi tidak mudah untuk dijabarkan.
Indonesia ini tidak bisa lagi dipimpin oleh seorang selebriti. Yang setiap saat hanya mengandalkan lakon-lakon populis palsu. Rakyat dan negara tidak memerlukan itu lagi.
Yang sangat dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas. Dan tidak cukup hanya itu. Dia harus juga berkapasitas. Indonesia sedang rusak berat di semua aspek: ekonomi, sosial, politik, dan hankam. Kerusakan itu tidak main-main.
Proses rehabilitasi kerusakan memerlukan pemimpin yang visioner, karismatik, dan pantas disebut ‘ideologist’ (ideolog). Sebab, bangsa dan negara ini sedang dilanda kehancuran moral ekonomi, moral bisnis, moral politik, moral sosial, dan moral hukum. Selain itu, negara juga sedang mengalami penurunan drastis dalam sistem pertahanan dan keamanan.
KAMI hadir untuk menyadarkan rakyat tentang kerusakan multi-dimensi itu. Agar rakyat tahu apa yang harus dilakukan. Mohon maaf, hari ini kita semualah yang harus menggantikan fungsi elit pemimpin yang seharusnya memberikan ‘lead’ (arah) perjalanan bangsa. Tetapi, sayangnya, kepimpinan (leadership) itu sedang kosong. Yang banyak adalah buzzer-buzzer bayaran yang bekerja untuk meyakinkan publik bahwa negara ini dipimpin oleh orang yang hebat.
KAMI melihat adanya ancaman kekacauan internal dan ekspansionisme asing yang cederung diremehkan oleh para pemimpin. Diremehkan hanya karena ketiadaan visi dan kecendekiaan mereka. Semua mereka diasyikkan oleh tuntutan dan peluang untuk menumpuk kekayaan. Tuntutan itu besar dan peluangnya juga terbuka lebar. Inilah yang mereka urus setiap hari.
Mereka sadar bahwa mereka memiliki kuasa dan berbagai perangkat untuk memperturutkan keasyikan itu. Mereka membuat regulasi sesuai dengan keinginan rakus mereka. Dan itu semua didukung dan disukseskan oleh lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya berfungsi untuk mencegah kesewenangan.
Ketika KAMI hadir dan langsung mempersoalkan itu, pastilah muncul reaksi yang sumbang. Sebab, para elit di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan bisnis merasa gerakan KAMI akan menghadang mereka. Boleh jadi, Bu Megawati melihat KAMI seperti itu. Yakni, melihat gerakan moral KAMI sebagai penghalang kerakusan. Semoga saja tidak begitu pikiran Bu Mega.
Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani, mengatakan prasangka Bu Mega bahwa KAMI ingin mengincar jabatan presiden adalah pikiran politik rendahan. Yani membantah itu.
Harus diakui bahwa KAMI memang sangat khawatir melihat ‘leadership’ Presiden Jokowi. Sebab, kondisi morat-marit dalam pengelolaan negara saat ini seratus persen berpangkal di tangan Presiden. Tetapi, tidak berarti KAMI harus merebut posisi presiden sebagaimana disimpulkan secara sempit dan kekanak-kanakan oleh Bu Megawati.
Ada kemungkinan Bu Mega belum paham betul tentang misi KAMI. Sesuai namanya, KAMI hanya ingin menyelamatkan Indonesia. Termasuklah “menyelamatkan” Presiden Jokowi agar tidak dikejar-kejar oleh sekian banyak kebijakan blunder yang dia terapkan.
Jadi, KAMI tidak bermaksud membuat Bu Mega cemas sepanjang beliau juga ingin menyelamatkan bangsa dan negara. Bukan menyelamatkan rencana pribadi.(*)
27 Agustus 2020
(Penulis wartawan senior
)