IDTODAY NEWS – Mengenang sejarah pahit Indonesia SCTV menayangkan Film Pengkhinatan G30S/PKI pada hari Minggu (27/9/2020).

Film ini dimasa Pemerintahan Soeharto menjadi tontonan wajib dari sekolah hingga masyakat selama 13 tahun.

Tanggal 30 September 1965 akan dikenang sebagai hari kelam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Ya, pada 30 September 1965 malam, sejumlah jenderal TNI dibunuh dan mayatnya dibuang di Lubang Buaya.

Penculikan dan pembunuhan pada malam itu dikenal dengan gerakan 30 September atau G30SPKI

Untuk mengingatkan akan peristiwa itu, Pemerintah Orde Baru kemudian memproduksi Film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI.

Film ini mengisahkan upaya percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Film G30SPKI dirilis perdana pada 1984 hingga kemudian dihentikan kewajiban penayangannya pada 1998.

Film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PFN) ini tayang di bioskop dan wajib ditayangkan di TVRI setiap 30 September malam.

Mengutip Intisari, film ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan dokumenter.

Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun ada juga beberapa bagian (sangat sedikit) berupa dokumentasi.

Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer.

Adapun jalan cerita film ini didasarkan pada buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI yang ditulis oleh sejarawan militer, Nugroho Notosusanto.

Dikerjakan dalam dua tahun, proses produksi film G30S menghabiskan biaya sebesar Rp 800 juta.

Angka tersebut terbilang terbesar untuk produksi film di masa itu.

Namun, Pasca-Orde Baru tumbang, kebenaran akan isi cerita film G30S menuai perdebatan.

Bagaimana suasana pemutaran film G30S di tahun 1984 yang merupakan masa awal pemutaran film?

Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, menyampaikan pengalamannya saat menonton film G30S di tahun 1984.

Dikutip dari pemberitaan Intisari 20 September 2017, berikut penuturan Imelda Bachtiar:

Menonton film ini pada 1984

Ramai pemberitaan akan diputarnya kembali film Penghianatan G30S/PKI membuat saya kembali mengingat apa yang saya alami ketika film ini baru saja diproduksi dan wajib ditonton seluruh siswa sekolah umum se-Indonesia.

Saya beruntung menjadi salah satu dari jutaan anak dan pelajar Indonesia yang dikenai wajib nonton bareng (nobar) di bioskop. Sehingga saya bisa menceritakannya kembali pengalaman 33 tahun lalu yang ternyata relevan sampai sekarang.

Tak lama setelah film itu rilis, saya menjalani program wajib-tonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI di sebuah bioskop umum di Rawamangun, Jakarta Timur. Kami duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Bioskop itu berkapasitas 200-an orang. Dalam suasana gelap-pekat, tanpa penjelasan lebih dulu dari guru-guru, kami semua dibuat tercekat atas suguhan di layar.

Beberapa teman saya menangis. Bagaimana tidak menangis? Bukan film horor, tetapi film yang berdurasi sekitar 3 jam itu menyuguhkan scene mengerikan seperti pembacokan, penyiksaan, dan darah.

Baca Juga  10 Hari Ditahan, Habib Rizieq Isi Kegiatan dengan Berdakwah hingga Menulis Disertasi untuk Raih Gelar Doktor

Awalnya, saya menilai kami menangis dan histeris karena kami masih kecil. Tetapi ternyata, sampai usia kuliah hanya momen itulah yang saya (dan mungkin teman-teman saya saat itu) ingat tentang kejadian bersejarah Tragedi 1965.

Setelah itu setiap tahun film itu diputar di televisi. Untungnya Ayah dan Ibu saya cukup bijak. Selalu ada acara lain bila malam itu tiba.

Atau, kalau pun menonton, hanya sambil lalu. Semakin dewasa, saya lalu semakin yakin. Film itu adalah propaganda anti-PKI.

Penyebabnya, karena di zaman Orde Baru sangat sering cuplikan film itu menyertai berita tentang peristiwa bersejarah itu, tanpa ada keterangan tambahan bahwa ini cuplikan film.

Mana yang benar, dan mana yang cuma adegan film, campur aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orangtua ketika itu adalah, “Apakah betul itu kejadian sebenarnya?”

Dan Ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya, hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.”

Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman) tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia, buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film itu.

Jokowi Inginkan Film G30S Kekinian

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberikan perhatian pada film G30S.

Hal itu disampaikan Jokowi saat publik tengah ramai soal imbauan menonton film G30 S yang salah satunya dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Baca Juga  Ironi Pengemudi Kabur Usai Tabrak Mobil Hanafi Rais di Tol Cipali

Pernyataan Jokowi dimuat dalam pemberitaan Kompas.com pada 18 September 2017 silam.

Saat itu, Jokowi menekankan bahwa menonton film apalagi mengenai sejarah itu penting.

Tetapi untuk anak-anak milenial yang sekarang, menurut Jokowi , seharusnya dibuatkan lagi film yang disesuaikan dengan gaya mereka.

Saat itu, Jokowi menilai versi baru dari film yang disutradarai oleh Arifin C Noer itu perlu dibikin supaya anak-anak generasi baru mengerti bahaya ideologi dari Uni Soviet itu.

Dengan begitu, anak-anak muda bisa paham soal PKI.

“Biar ngerti mereka bahaya komunisme. Biar mereka tahu juga mengenai PKI,” kata Jokowi saat itu, saat ramai topik nonton bareng film G30S/PKI.

Dengan begitu, para anak muda ini akan dengan mudah memahami bahayanya komunisme.

“Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru, agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial,” kata Presiden Jokowi usai meresmikan Jembatan Gantung Mangunsuko, di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/9/2017) siang, seperti dikutip setkab.go.id.

Sayangnya, hingga saat ini tidak ada perkembangan terkait keinginan Jokowi itu.

Istri sang sutradara Arifin C Noer, yakni Jajang C Noer, sempat menanggapi ide itu. Dia bakal mendukung bila ada pembuatan film G30S/PKI versi baru. Namun film versi anyar nantinya harus sesuai dengan film yang lama.

Sumber: tribunnews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan