IDTODAY NEWS – Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya tengah mendapat sorotan tajam. Setelah muncul kasus dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh salah satu Komisioner KPU Kota Surabaya terhadap PPK, kinerja lembaga penyelenggara pemilu itu dipertanyakan usai masuknya sejumlah pejabat publik aktif dalam daftar calon sementara (DCS) calon anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Salah satu yang menyorot kinerja KPU Surabaya adalah DPC Poros Sahabat Nusantara (POSNu) Kota Surabaya, terkait proses pelaksanaan Pemilu 2024.
Terutama pasca penetapan Daftar Calon Pemilih Sementara (DCS) anggota DPRD Kota Surabaya, Sabtu lalu (19/8).
Sebab DPC POSNu Kota Surabaya menemukan nama pejabat publik yang masih aktif yang maju menjadi calon legislatif dan tercatat dalam DCS.
“Sejak keluarnya pengumuman KPU Kota Surabaya Nomor 2785/PL.01.4-Pu/3578/2023 Tentang DCS Anggota DPRD Kota Surabaya dalam Pemilihan Umum Tahun 2024, terdapat nama pejabat publik yang masih aktif masuk kedalam daftar nama DCS Anggota DPRD Kota Surabaya,” kata Peneliti Bidang Demokrasi dan Kepemiluan DPC POSNu Kota Surabaya, M Nauval Farros, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Sabtu (26/8).
Farros mengungkapkan pejabat publik itu adalah H Mohammad Faridz Afif yang menjabat anggota Badan Pengawas (Bawas) PD Rumah Potong Hewan (RPH) Surabaya, periode 2 Agustus 2022 sampai 02 Agustus 2025, sesuai Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/378/436.1.2/2022.
“Bagaimana KPU menyikapi regulasi pejabat publik yang nyaleg? UU No 7 Tahun 2017 pasal 240 mensyaratkan mundur dari jabatannya,” tegas Farros.
Farros kembali menyebutkan, dalam prosesi Persyaratan Administrasi Bakal Calon Pasal 11 ayat 1 PKPU menjelaskan, untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara atau lainnya yang anggaran dana bersumber dari keuangan Negara.
“Meskipun Caleg tersebut telah mengundurkan diri, sesuai Pasal 44 ayat 2, surat pengunduran diri yang diterbitkan oleh pejabat berwenang dilampirkan saat pengajuan diri sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg),” jelasnya.
Lebih lanjut Farros menuturkan, ketentuan mundur dari jabatan publik, merupakan bagian dari menjaga netralitas dalam pemilu. Di mana netralitas pemerintah sebagai pembuat dan eksekusi kebijakan menjadi titik yang ideal ketika dihadapkan pada suatu kondisi.
“Negara memiliki fungsi untuk mengekspresikan kehendak rakyat dan menjalankan kehendak itu. Fungsi pertama yaitu politik, sementara esensi yang kedua adalah administrasi,” terangnya.
Menurut Farros seharusnya KPU Kota Surabaya tahu betul adanya peraturan tersebut. Kemudian menerapkannya.
“Kalau tidak maka patut dipertanyakan,” pungkasnya.
Sumber : Rmol