Tinggi Ongkos Terbang Jokowi

Joko Widodo/Foto : Puspa Perwitasari/ANTARA

IDTODAY NEWS – Pesawat Boeing Business Jet 2 itu akhirnya kembali mengudara. Senin, 12 Juli 2021, siang, pesawat berkode A-001 itu telah siap menjalani uji terbang.

Pesawat dijadwalkan berangkat dari Bandar Udara Soekarno-Hatta menuju Bandara Pelabuhan Ratu. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah menyebut, setelah uji terbang tersebut, BBJ-2 sudah bisa beroperasi kembali secara normal pada 17 Juli lalu.

Selama dua bulan, pesawat tumpangan Presiden Joko Widodo tersebut harus ‘beristirahat’ untuk menjalani perawatan besar alias C check. Pemeliharaan rutin itu, kata Indan, terjadwal pada 23 Mei hingga 12 Juli 2021. Setelah diservis, tampak perubahan besar pada badan pesawat Boeing B737-8U3 itu. Livery (desain eksterior) pesawat bersalin rupa dari sebelumnya berwarna biru-putih menjadi merah-putih.

“Proses pengecatannya dilaksanakan di GMF (PT Garuda Maintanance Facility Aero Asia Tbk),” tutur Indan kepada detikX melalui pesan singkat pekan lalu. Ini, tambah Indan, merupakan perawatan besar kedua untuk pesawat kepresidenan. Yang pertama, servis dilakukan pada 2017. Namun, pada servis besar pertama itu, tidak terjadi perubahan corak warna alias livery.

Perubahan warna baru terjadi pada 2021 setelah GMF menerima usulan desain terbaru pesawat dari pemerintah. VP Corporate Secretary & Legal GMF Rian Fajar Isnaeni mengatakan usulan itu datang bertepatan dengan jadwal perawatan rutin BBJ-2. Atas usulan itu, para ahli aviasi di GMF mulai mengkaji implementasi desain dan struktur pesawat dengan warna baru tersebut. Setelah disetujui, barulah proses pengecatan dilakukan. Waktu pengerjaannya sekitar 30 hari.

“Semua pekerjaan tersebut dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku dengan mengacu pada aturan dari regulator serta manufaktur,” kata Rian kepada detikX pekan lalu.

Perubahan warna baru BBJ-2 inilah yang akhirnya menjadi polemik. Pemerintah dinilai tidak sensitif terhadap kondisi krisis saat ini. Pengamat penerbangan Alvin Lie mengkritisi pengecatan ulang BBJ-2 itu karena dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Mestinya, kata Alvin, pengecatan pesawat kepresidenan bisa ditunda karena bukan sesuatu yang mendesak. Terlebih dana yang dibutuhkan untuk pengecatan pesawat ini tidaklah kecil.

“GMF biasanya mengenakan biaya Rp 1,4 miliar-Rp 2,1 miliar kepada maskapai untuk pesawat sejenis (BBJ-2) ini,” ungkap Alvin melalui telepon.

Di luar pengecatan ulang, sepanjang semester pertama 2021 ini, pemerintah juga sudah menganggarkan banyak dana untuk pemeliharaan pesawat kepresidenan. Dana itu diambil dari kas Kementerian Sekretariat Negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

Berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan, sedikitnya dana Rp 2,6 miliar sudah dikeluarkan pemerintah untuk urusan pesawat kepresidenan. Pertama dilakukan pada 4 Januari 2021 dengan penandatanganan kontrak tender untuk pemeliharaan kebersihan hanggar dan ruang tunggu VVIP pesawat kepresidenan di Bandara Halim Perdanakusuma. Nilainya Rp 2,1 miliar. Pengadaan tender diumumkan sejak 1 Desember 2020. Kemudian, pada 5 Januari untuk penandatanganan kontrak tender perawatan kelistrikan dan mekanis hanggar senilai Rp 502,5 juta. Pembuatan tendernya dimulai 17 Desember 2020.

Baca Juga  Jokowi Soroti Tingginya Angka Kematian, Ini Penjelasan Satgas COVID-19 Jatim

Tahun sebelumnya, anggaran yang digelontorkan untuk urusan pesawat kepresidenan bahkan jauh lebih besar. Data LPSE Kemenkeu menunjukkan, dalam rentang waktu sebulan pada Januari 2020, anggaran senilai Rp 3,2 miliar harus digelontorkan pemerintah untuk pemeliharaan kendaraan terbang Jokowi ini. Rinciannya, perawatan kelistrikan dan mekanis hanggar Rp 1,1 miliar dengan penyelesaian tender tertanggal 14 Januari 2020. Lalu pemeliharaan kebersihan ruang tunggu VVIP senilai Rp 2,1 miliar tertanggal 10 Januari 2020.

Dua pos anggaran tersebut secara konsisten dikeluarkan pemerintah semenjak pembelian pesawat kepresidenan pada 2014. Khusus biaya kebersihan hanggar, nilainya terus membengkak ketimbang saat pemerintah masih menyewa pesawat untuk kunjungan dinas presiden. Dinukil dari data LPSE Kemenkeu, 2013, ketika Indonesia masih menyewa pesawat kepresidenan dari PT Garuda Indonesia Tbk, pemeliharaan kebersihan hanggar hanya Rp 593,2 juta. Namun, setelah Indonesia memiliki pesawat kepresidenan sendiri pada 2014, ongkosnya menjadi Rp 1,3 miliar.

Data itu juga menunjukkan bahwa ongkos kebersihan hanggar pesawat kepresidenan terus meningkat sekitar satu hingga dua tahun sekali. Peningkatannya berkisar Rp 100-200 juta. Pada 2015, biaya kebersihan hanggar tercatat Rp 1,7 miliar. Dua tahun berikutnya, ongkosnya bertambah menjadi Rp 1,8 miliar. Kemudian pada 2020 dan 2021, kembali naik menjadi Rp 2,1 miliar. Sedangkan ongkos perawatan kelistrikan dan mekanis hanggar biayanya fluktuatif, yakni Rp 500-650 juta per tahun.

Di luar dua pos anggaran itu, pesawat kepresidenan juga menelan biaya lain, termasuk katering, satelit komunikasi, avtur, dan ground handling. Masih dari data LPSE Kemenkeu, ongkos satelit komunikasi pesawat kepresidenan konsisten meningkat selama periode 2015-2017. Pada 2015, ongkos satelit pesawat kepresidenan masih berkisar Rp 914 juta. Nilai itu kemudian meningkat setahun berikutnya menjadi Rp 1,1 miliar. Lalu bertambah lagi pada 2017 menjadi Rp 1,3 miliar.

Sebaliknya, biaya ground handling pesawat kepresidenan mengalami sedikit penurunan pada periode 2015-2016. Tercatat dari sumber data yang sama bahwa ongkos ground handling pada 2015 sempat mencapai Rp 1,5 miliar. Namun, setahun berikutnya, turun menjadi Rp 1,1 miliar. Sementara itu, biaya katering yang dapat dilihat melalui website lelang pengadaan Kemenkeu hanya untuk anggaran 2017 senilai Rp 1,2 miliar.

Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019, yang salinannya diperoleh detikX, ongkos pemeliharaan pesawat kepresidenan menjadi salah satu dalih Kemensetneg untuk meminta tambahan anggaran. Dokumen itu menyebut belanja modal Kemensetneg pada 2018-2019 meningkat sekitar 1,8 persen dari sebelumnya Rp 1,61 triliun menjadi Rp 1,64 triliun. Dua di antara tiga alasannya adalah untuk tambahan belanja pemeliharaan pesawat kepresidenan dan pengadaan mesin bagi BBJ-2.

Baca Juga  Pimpinan MPR Minta Pemerintah Perluas Cakupan Penerima Bansos

Dari dokumen itu pula diketahui bahwa biaya avtur yang dikeluarkan pemerintah untuk pesawat kepresidenan berkisar Rp 1,8 miliar pada 2018. Selain itu, diketahui, hingga 2020, pemerintah masih memiliki utang untuk biaya pemeliharaan helikopter Super Puma AS-332 L2 senilai Rp 20,4 miliar. Lalu utang biaya pengoperasian dan perawatan pesawat BAE RJ-85 untuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin senilai Rp 11,25 miliar.

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia memiliki setidaknya empat kendaraan terbang yang kerap digunakan untuk keperluan khusus presiden dan wakilnya. Satu pesawat jenis Boeing Business Jet 2 digunakan Jokowi. Satu pesawat lain berjenis British Aerospace RJ-85 digunakan Ma’ruf Amin. Dua lainnya merupakan helikopter bertipe AS-332 Super Puma L2 untuk keperluan pengamanan presiden dan wakilnya.

Tidak diketahui secara pasti berapa total biaya yang dibutuhkan untuk perawatan dan pengoperasian empat kendaraan terbang tersebut. Namun, berdasarkan pemberitaan pada 2018, nilai kontrak GMF dengan pemerintah untuk biaya pemeliharaan BBJ-2 mencapai Rp 20 miliar. Penandatanganan kontrak dilakukan sejak 2014 dan terus diperpanjang setiap tahun. Mantan Kepala Biro Umum Kemensetneg Piping Supriatna menyebut kisaran biaya yang sama juga dianggarkan pemerintah untuk pesawat BAE RJ-85. Khusus BAE RJ-85, perawatannya diserahkan kepada PT Pelita Air.

“Untuk nilai tergantung pada berapa kerusakan dan kegiatannya seberapa jauh, yang memang sesuai dengan hal-hal tersebut, yang menentukan besaran anggarannya dari tahun ke tahun,” tutur Piping Supriatna pada Selasa, 6 Februari 2018 sebagaimana dinukil dari CNNIndonesia.com.

Sebetulnya, mahalnya biaya perawatan pesawat kepresidenan ini sudah diperingatkan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2011. Waktu itu, Fitra memberikan gambaran terkait pemborosan yang bakal terjadi jika pemerintah membeli pesawat kepresidenan sendiri dengan asumsi penggunaan lima tahun pada periode 2005-2009. Datanya diambil Fitra dari tanggapan Menteri Sekretaris Negara pada saat rapat kerja dengan DPR Komisi II pada 31 Mei 2010. Berdasarkan data itu, biaya memiliki pesawat kepresidenan disebut bakal memakan biaya USD 42,17 juta lebih banyak dibandingkan menyewa.

Fitra memerinci, jika membeli pesawat, ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk pesawat kepresidenan dalam lima tahun berkisar USD 131,63 juta. Detailnya, pembelian pesawat USD 85,4 juta, kegiatan operasional dan perawatan USD 36,53 juta, lalu depresiasi aset USD 9,76 juta. Sementara itu, jika menggunakan pesawat carter, dana yang dibutuhkan pemerintah selama lima tahun hanya senilai USD 89,52 juta. Ongkos yang dikeluarkan hanya untuk sewa selama lima tahun sebesar USD 81,38 juta dan perkiraan penambahan harga sewa senilai USD 8,14 juta.

Dalam catatan itu pula, Fitra menyebut, jika pemerintah membeli pesawat, lima tahun ke depan setelah pesawat dibeli, Indonesia masih akan memiliki aset senilai USD 75,64 juta. Nilai aset itu memang bakal memberikan surplus sekitar USD 33,46 juta setelah dikurangi dengan pemborosan anggaran yang USD 42,1 juta. Namun surplus anggaran yang diambil dari nilai aset itu, disebut Fitra, sebagai sesat logika. Pasalnya, dengan memiliki pesawat, negara akan terus dikenai biaya perawatan kendati pesawat tidak digunakan. Nilai perawatannya boleh jadi akan terus membengkak setiap tahunnya mengingat usia pesawat yang semakin tua.

Baca Juga  Tak Heran PAN Merapat ke Jokowi, Aziz: Dekat dengan Istana Lezat dibanding Dekat dengan Rakyat

Sedangkan jika menyewa pesawat, negara tidak akan dikenai biaya perawatan. Indonesia bisa jauh lebih berhemat jika presiden mengurangi jumlah kunjungan kerjanya. Sebab, mahal atau tidaknya sewa pesawat akan sangat tergantung dengan seberapa banyak presiden melakukan kunjungan kerja. Semakin sedikit frekuensi terbang presiden, semakin murah biaya sewanya.

“Selain itu, pembelian pesawat yang berasal dari utang akan menjadi beban rakyat Indonesia, yang harus membayar pokok utang dan bunga utang. Sementara dengan sewa pesawat, rakyat Indonesia tidak dibebani oleh utang ataupun biaya perawatan pesawat ini,” begitu catatan Fitra dalam kajiannya pada 2011.

Tetapi pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan membeli pesawat sendiri. Biaya yang dikeluarkan pemerintah waktu itu senilai USD 91,2 juta atau sekitar Rp 820 miliar. Dengan pembelian itu, pemerintah diperkirakan bakal membutuhkan biaya perawatan senilai USD 36,533 juta dan biaya depresiasi aset sebesar USD 10,43 juta setelah lima tahun. Secara total, pembelian pesawat, termasuk perawatan dan depresiasi harga selama lima tahun, menelan biaya sekitar USD 136,17 juta. Sementara itu, biaya sewa pesawat selama lima tahun hanya bakal menghabiskan ongkos sekitar USD 89,78 juta.

Jika dibandingkan dengan sewa, pembelian pesawat memang menelan biaya lebih mahal sebesar USD 48,64 juta. Namun, mantan Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Lambock V Nathans mengatakan mahalnya biaya pembelian pesawat itu dapat tertutupi oleh nilai kepemilikan aset negara jika presiden sudah membeli pesawat sendiri. Dalam penghitungan Lambock, lima tahun setelah pembelian pesawat, nilai aset pesawat akan berada di kisaran USD 80,78 juta. Sedangkan jika pemerintah terus menyewa pesawat, aset senilai jutaan dolar itu tidak pernah menjadi milik negara. Logikanya, kata dia, dengan membeli pesawat, Indonesia justru akan berhemat sekitar USD 32,136 juta dalam lima tahun setelah pembelian.

Tetapi toh faktanya, enam tahun setelah pembelian pesawat itu, Jokowi malah kembali menyewa pesawat. Februari 2020, Jokowi menyewa pesawat Boeing 777-300ER dari Garuda Indonesia untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Alasannya, ongkos terbang ke AS dengan pesawat kepresidenan jauh lebih mahal dibandingkan sewa. “Apabila menggunakan pesawat kepresidenan sekarang itu harus transit tiga kali berdasarkan pengalaman yang dulu. Setiap transit harus mengisi bahan bakar dan dihitung biayanya, akhirnya menjadi lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan pesawat yang selama ini (dimiliki negara),” tukas Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jumat, 28 Februari 2021.

Sumber: detik.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan