TUJUH Jenderal TNI Ini Diculik hingga Dibantai oleh PKI, Begini Proses Penemuan Jasad Mereka

Mengenang 7 Jenderal TNI yang Diculik hingga Dibantai oleh PKI ,(Foto: IST)

IDTODAY NEWS – Pada tanggal 30 September 2019 mendatang, bangsa Indonesia mengingat kembali tragedi berdarah yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia (PKI).

Dalam tragedi kelam tersebut, ada 10 nama yang menjadi korban termasuk tujuh jenderal TNI.

Dilansir dari Tribun Jabar dalam artikel ‘Mengulas Sejarah Korban Kebiadaban G30S/PKI, Inilah Sosok 10 Pahlawan Revolusi’, berikut tujuh jenderal TNI yang menjadi korban pemberontakan PKI atau G30S/PKI.

  1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Beliau merupakan komandan TNI AD yang lahir pada tahun 19 Juni 1922 di Purworejo.

Ia menjadi sasaran PKI lantaran sangat menentang keberadaan faham komunis di tanah air.

Jenderal TNI Ahmad Yani sempat berdebat sengit saat rumahnya dikepung tentara antek PKI.

Namun, perdebatan itu justru membuat sang jenderal bersimbah darah karena ditembak oleh para tentara tersebut

Jasadnya pun dibawa dan dikubur di Lubang Buaya

  1. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto

Letnan Jenderal Anumerta Suprapto adalah salah satu pahlawan nasional yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920.

Belia juga diculik dari rumahnya dan dibantai di Lubang Buaya.

Sebelum akhirnya tewas di tangan PKI, beliau pernah meredam beberapa pemberontakan PKI di berbagai wilayah seperti Semarang dan Medan.

  1. Letnan Jenderal Haryono

Letnan Jenderal TNI Anumerta atau Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono) lahir di Surabaya, 20 Januari 1924.

Letjend yang mengerti 3 bahasa asing ini juga diculik pada saat hari kejadian.

Kemudian dibantai di Lubang Buaya.

  1. Letnan Jenderal Siswondo Parman

Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia.

Lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918.

Beliau merupakan perwira intelijen yang dekat dengan PKI serta mengetahui kegiatan rahasia mereka.

Namun saat ditawari bergabung dengan PKI, S Parman menolak.

Karena itulah beliau meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta.

Otak pembantaiannya yakni kakaknya sendiri Ir. Sakirman yang merupakan petinggi PKI saat itu.

  1. Mayor Jenderal Pandjaitan

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19 Juni 1925.

Beliau dan bersama para pemuda anak bangsa lain yang dulunya merintis pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI saat ini.

Saat itu beliau menggunakan seragam militer lengkap ketika tahu bahwa sekelompok anggota OKI datang ke rumahnya dan telah membunuh pelayan serta ajudannya.

Segera setelah beliau menantang para pemberontak itu, peluru langsung menghujam tubuhnya dan mayatnya dibawa ke Lubang Buaya.

  1. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, 23 Agustus 1922.

Beliaujuga diculik di rumahnya dan dibantai di Lubang Buaya.

Para penculik mengatakan Mayjen Sutoyo dipanggil oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno, tapi ternyata itu bohong.

  1. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo lahir di Sragen, 5 Februari 1923.

Tak seperti pahlawan revolusi sebelumnya, Brigjen Katamso pada hari terjadi pemberontakan sedang bertugas di Yogyakarta.

Beliau kemudian diculik, dipukuli tubuhnya dengan mortar motor.

Kemudian dimasukkan ke lubang yang sudah disiapkan anggota PKI.

Peristiwa ini terjadi di wilayah Kentungan.

Selain tujuh jenderal TNI di atas, PKI juga menghabisi sejumlah anggota TNI dan Polri lain seperti AIP Karel Satsuit Tubu, Kapten Pierre Tendean, dan Kolonel Sugiono.

Bahkan, Putri jenderal TNI AH Nasution, Ade Irma Suryani Nasution juga harus bersimbah darah karena ditembak PKI saat malam G30S/PKI

Gugurnya tujuh jenderal TNI saat gerakan 30 September alias G30S/PKI membuat presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menjadi bersedih.

Kesedihan Presiden Soekarno atas gugurnya tujuh jenderal TNI korban G30S/PKI diungkap dalam buku bertajuk ‘Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno’, Penerbit Buku Kompas 2014.

Baca Juga  Buku Putih Ungkap Dugaan Operasi Aparat Intelijen Negara yang Menyebabkan 6 Laskar FPI Terbunuh

Maulwi yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, mengatakan kalau presiden Soekarno sangat sedih sekali atas nasib yang menimpa para jenderal TNI yang diculik.

“Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang amat disayanginya. Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka.” tulis Maulwi dalam bukunya.

Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut Gerakan 30 September.

Tindakan Bung Karno itu merupakan langkah standar karena dirinya adalah selaku Panglima Tertinggi ABRI.

“Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi yang menjabat sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan Wakil Komandan pasukan Tjakrabirawa.

Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.

Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.

Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.

“Saya sampaikan maksud kedatangan saya” kata Maulwi.

“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”

Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.

Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang didekatnya terdapat sebuah pohon besar.

Baca Juga  Jenderal Gatot Nurmantyo Tak Main-Main, Manuver PKI Memang Ngeri!

Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.

Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.

Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.

Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.

“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”

Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.

Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.

Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.

Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.

Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.

Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.

Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.

Saat itu sudah pukul 03.00.

“Rombongan saya pulang untuk Salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.

“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. Jadi, tidak benar sama sekali, berita yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G30S itu. Dan, tidak pernah ada perintah Presiden kepada kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik.” (Putra Dewangga Candra Seta)

Sumber: tribunnews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan